Sabtu, 29 Oktober 2016

Pop Manis Tapi Kritis a la Distorsi Akustik

Tidak banyak band, di kota ini, yang bermain di ranah pop tapi mempunyai dedikasi tinggi terhadap perubahan dunia. Distorsi Akustik adalah salah satu yang menarik perhatian ketika musik rock yang dikemas dengan balutan pop berisikan muatan tekstual yang tidak sembarangan seperti dalam EP Pu7i Utomo yang baru saja mereka rilis beberapa waktu kemarin. 7 komposisi easy listening dengan konten lirik yang puitis filosofis tapi satir dan frontal. Bisa kalian dengarkan pada lagu berjudul "Man who Called Eve" yang bermuatan kritik tajam terhadap marjinalisasi atas nama agama dan norma terhadap kaum LGBT. Dan pada lagu berjudul "Euphoria Surga" bisa kalian temukan lirik kritis cerdas setajam silet baja terhadap para fundamentalis agama. Untuk para penggemar U2, Sigur Ros dan Coldplay, secara musikalitas adalah jaminan bahwa kalian akan segera jatuh cinta dengan rilisan yang satu ini. Kualitas rekaman yang bagus, packaging rilisan yang tidak main-main, serta seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu konten muatan lirik kritis satir yang filosofis, menjadikan EP album tersebut sangat direkomendasikan untuk disimak. Berikut vadalah interview Kaum Kera zine dengan mereka, silahkan disimak semoga menginspirasi.


1. Playlist musik beberapa waktu terakhir didominasi oleh lagu-lagu dari sebuah CD extended play album berjudul Pu7i Utomo, dan bagaimana kabar Distorsi Akustik?

Beberapa waktu yang lalu baru saja menyelesaikan tur di tiga kota untuk mempromosikan EP Pu7i Utomo dan kembali pada aktifitas keseharian, mengurus keluarga. Berjibaku dengan pekerjaan kami masing - masing. Sempat bermain di Subali fest  dan beberapa pertunjukan, datang ke gigs, menonton pertunjukan band lokal serta tidak lupa merekam beberapa materi lawas untuk kami rangkum dalam rilisan berikutnya. Sepertinya semuanya akan baik - baik saja bila kita menempatkan segala sesuatu sesuai porsinya, mengurusi band, bekerja dan waktu untuk keluarga. Oh iya, kabar kami baik, sehat dan semoga begitu juga dengan dirimu, mas.

2. Mungkin banyak di luar sana yang belum begitu mengetahui tentang Distorsi Akustik, bisa berbagi deskripsi tentang Distorsi Akustik dalam beberapa kalimat?
Nama Distorsi Akustik kami ambil dari suara distorsi (over drive) yang bersinergi, melangkah selaras, dengan suara akustik (clean) dalam ruang bunyi gitar. Sebuah keseimbangan layaknya hitam dan putih, bidang lingkaran kecil yang kontras pada simbol Yin Yang. Banyak yang mungkin lupa menyadari bahwa keadilan erat kaitannya dengan keseimbangan. Dan kemanusian, butuh perhatian khusus pada hal itu : keadilan, keseimbangan. Lirik kami lebih sering berbicara tentang kemanusiaan, dengan balutan pop yang banyak orang bilang : manis. Analoginya, tidak semua orang mampu menelan makanan yang keras, pedas, dan menyengat. Beberapa menginginkan sesuatu yang manis walaupun sama - sama membuat sakit di perut.

Sering kali dalam fragmen keseharian, menemukan banyak hal yang terlanjur menjadi tradisi, padahal bukan hal yang benar. Kebanyakan lirik yang kami tulis, adalah tentang hal-hal tersebut. Iya, lirik kami kritis, bukan sok kritis. Kritis, ada laku hidupnya. Pertanggung-jawaban dalam bentuk sikap hidup sehari-hari. Kami bangga bisa menghidupi lirik yang sudah kami tulis, dimulai dengan penyikapan terhadap hal-hal kecil yang kami temui dalam keseharian.

3. Setiap karya pasti menemukan kendala dalam proses kreatifnya, apa kendala yang cukup pelik yang terhadapi ketika menjalani proses kreatif penciptaan Pu7i Utomo?

Benar, tapi kami memang sudah bersepakat untuk membiasakan diri terhadap semua kendala setiap akan memulai penggarapan sebuah rekaman. Bukankah banyak pembelajaran tentang hal baru yang bisa kita dapatkan ketika bertemu dengan berbagai kendala? Mulai dari keterbatasan finansial sehingga kami musti masuk studio recording saat studio tersebut ada discon time. Berganti - ganti personil, dan kamipun kehilangan gitaris kami terdahulu, Puji Utomo, yang terlebih dahulu berpulang. Dan yang paling merepotkan adalah saat data rekaman yang kami cicil dari tahun 2008, berisi materi 13 lagu, hilang dikarenakan studio rekaman tersebut gulung tikar, membuat kami harus mengulang proses recording dan penciptaan lagu dari awal. Dari semua data yang hilang tersebut hanya lagu "Man Who Called Eve" saja yang terselamatkan.

Tapi syukurlah, akhirnya semua kendala tersebut bisa kami lewati dan EP Pu7i Utomo berhasil kami rilis dengan swadaya beberapa waktu yang lalu, pendistribusiannya pun kami lakukan sendiri. Sangat berterima kasih terhadap teman-teman yang sudah sudi untuk membeli, juga teman-teman penjual rekaman yang banyak membantu dalam hal distribusi serta teman-teman media yang telah meluangkan waktunya mendokumentasikan ulasan tentang rilisan tersebut. Mohon doanya semoga rilisan ke depan lebih baik lagi.

4. Apa maksud pemberian titel Pu7ie Utomo? Ada apa dengan angka 7?
 

Gitaris kami sebelumnya, meninggal karena mengalami kecelakaan, almarhum bernama Puji Utomo. Mini album ini sebenarnya kami persembahkan sebagai penghargaan dan pengingat tentang Almarhum. Selain itu, ada muatan filosofi kearifan lokal yang juga mendasari pemberian titel EP Pu7i Utomo, dalam konteks filosofi Jawa, hari itu ada 7, dan 7 (Pitu) dalam filsafat kearifan jawa berarti PITUTUR, PITUDUH, PITULUNGAN, PITUNGKAS. Sama halnya seperti penciptaan dunia. Seperti yang tertulis di Al kitab maupun Al Q’uran. Pun di rilisan mini album kedua nanti, akan ada 5 track di sana. Sama halnya jumlah hari pasaran di penanggalan Jawa : Wage, Pon, Pahing, Kliwon, dan Legi. Semua hal tersebut sebenarnya mempunyai pesan kearifan yang nilai keluhurannya tinggi dan sepertinya bakal tidak cukup halaman di zine ini jika kita mendiskusikannya secara detail.

Bukan berarti pula bahwa filosofi kearifan lokal dari daerah lain tidak menarik. Bagi kami, tiap kearifan lokal, dari daerah manapun, mempunyai muatan filosofi yang sebenarnya baik dan mampu membuat seorang manusia yang memperpecayainya,  menjadi lebih bijak menyikapi segala carut marut dunia yang serba ribut dalam arus modernitas seperti sekarang ini. Kenapa kami lebih banyak menggunakan referensi kearifan lokal Jawa, karena kami tumbuh besar dalam lingkup kearifan lokal Jawa.






5. A Man Who Called Eve, track yang langsung mencuri perhatian juga konsep video yang sungguh menarik, bisa menceritakan segala sesuatu tentang lagu ini?
 

Lagu ini kami dedikasikan untuk semua individu yang berani jujur dalam memilih jalan hidupnya, walaupun dianggap keluar sama sekali dari kategori yang masyarakat umum mendefinisikannya sebagai : normal. Bagi kami kebenaran itu mempunyai dua parameter :
1. Tidak merugikan manusia lainnya.
2. Mempunyai manfaat bagi manusia lainnya.

Dan ketika parameter pertama telah terpenuhi tapi orang-orang sekitar tetap memandangnya sebagai kesalahan, maka harus ada yang bisa menjelaskan bahwa hal tersebut bukan sebuah hal yang salah. Seperti halnya kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender) yang kebanyakan orang memandang mereka sebagai penyakit masyarakat dan harus diberantas. Bagimana bisa mereka dipandang sebagai penyakit jika mereka bahkan tidak melakukan tindakan apapun yang merugikan manusia yang lainnya? Jika alasannya adalah penyakit menular melalui aktivitas seksual, bukti sudah menyatakan bahwa bukan hanya kaum LGBT yang membawa penyakit, semua orang bisa menjadi sumber penyakit melalui aktivitas sexual, hal itu tergantung dari pola hidup masing-masing orang, kebersihan sebagai contohnya. Mau "senormal" apapun manusia, jika pada dasarnya dia memang jorok, penyakit tentu saja segera menjangkit. Tidak bisa serta merta kita melakukan generalisasi bahwa kejorokan hanyalah milik kaum LGBT, itu picik namanya. Dan jika alasannya adalah penyakit mental, berarti negeri ini benar-benar ngotot untuk ketinggalan karena sudah sejak lama klaim prilaku LGBT sebagai penyakit, telah dicabut dari ranah disiplin ilmu psikologi.

sebenarnya bangsa ini mempunyai permasalahan yang lebih penting, dan permasalahan penting itu adalah hal kemanusiaan. Dalam sebuah negeri yang penuh pluralitas seperti Indonesia, toleransi adalah suatu hal yang harus di jaga dan di upayakan. Karena jika tidak, bahaya besar sudah menanti di depan, dan bangsa ini mungkin harus bersiap menunggu keruntuhannya.

6. Euphoria Surga, dari lirik yang terbaca langsung terkesima dengan muatan lirik kritis tajam terhadap para fundamentalis agama. Tolong berbagi sedikit pandangan Distorsi Akustik terkait lirik dalam lagu ini.
 

Bagi kami, seharusnya agama itu bekerja di wilayah-wilayah yang memperbaiki dan menjaga keharmonisan hubungan antar manusia. Ketika agama malah dijadikan pembenaran untuk membinasakan manusia yang lainnya, maka kami akan melakukan kritisi keras tentang hal tersebut. Lagu Euphoria Surga sejatinya bercerita tentang hal tersebut, kritik keras kami terhadap para fundamentalis agama yang berani mendahului Tuhan melakukan klaim kapling surga yang sebenarnya bukan hak manusia untuk menentukannya.

Sudah berapa banyak nyawa melayang yang disebabkan konflik dan perang karena klaim kebenaran versi manusia yang berdasarkan agama? Jika kita mendiamkannya, anak cucu kita kelak akan hidup dalam dunia yang seperti itu, dunia yang penuh dengan distoleransi dan kebencian. Kami salah satu yang memilih untuk tidak diam saja. Kami tentu saja juga beragama, tapi kami menolak menjadi bagian dari para fundamentalis yang beragama hanya demi kepentingan dominasi atau fasisme. Agama, tidak seharusnya menjadi fasis.

7. Menjalani asam garam berkesenian di Semarang sekian lama, bagaimana pendapat kalian tentang lingkungan berkomunitas di kota ini?
 

Semarang itu mempunyai daya apresiasi terhadap karya yang sebenarnya besar. Karya-karya dalam berbagai bentukpun banyak yang dihasilkan, sebenarnya kota ini sangat produktif. Kualitas juga mumpuni. Mungkin kota ini memang membutuhkan media-media dengan kualitas yang baik, seperti zine ini misalnya. Ketika membuat media sendiri itu sudah menjadi budaya, kami kira segala karya-karya yang dihasilkan oleh berbagai komunitas di kota ini akan semakin menyebar dan dikenal orang. Kita hanya perlu untuk menyisihkan enerji berada dalam sebuah lingkaran komunikasi yang sehat dan menciptakan iklim saling mendukung diantara para pegiat komunitas di kota ini.

8. Beberapa buku yang dibaca belakangan ini dan mungkin bisa menjadi rekomendasi?
 

Ada beberapa yang baru saja terbaca, berikut diantaranya yang menurut kami perlu untuk direkomendasikan :
1. Joko Muryanto - Industri Musik Nggak Asik
Sebuah buku bagus yang menceritakan bahwa industri musik mainstream sekarang ini sedang menuju tenggelam karena tidak bisa mengakomodasi kepentingan dari para musisi-musisi yang mereka rekrut.

2. Jack Nelson Pallmeyer - Is Religions Killing Us
Sebuah buku kritis yang berusaha menyadarkan bahwa dalam setiap referensi kitab suci agama samawi memang terdapat dalil-dalil yang membenarkan untuk bersikap "anti-liyan" dan pengikutnya cenderung menafsirkannya secara literal. Buku ini, ketika dipahami, mungkin bisa membuat kita lebih bijak ketika menfasirkan banyak hal dalam kitab suci yang sering kali memakai gaya bahasa metaforis.

9. Lagu yang terakhir dinyayikan ketika sendirian?
 

Nirvana - Something in The Way

Kurt Cobain adalah sosok jenius musik yang mungkin tidak akan disamai oleh sosok manapun dalam 50 tahun ke depan. Dan lagu ini adalah salah lagu cerdas bercerita tentang kesendirian yang dikemas dengan kualitas balada yang juga mumpuni. Linoleum karya dari grup punkrock slengekan, Nofx, mungkin pantas sebagai komparasinya walaupun dalam nuansa lagu yang berbeda.

10. Ok, thanks atas waktu dan kesediaan waktunya demi berbagi dengan Kaum Kera zine. Silahkan menyampaikan sesuatu apapun itu untuk mengakhiri interview ini.
 

Ketika kalian sependapat bahwa setiap manusia seharusnya mendapatkan hak kemerdekaan asasinya tanpa melupakan kewajiban, maka mari bergandeng tangan bersama merebut kembali segala yang sudah tercuri dari kemerdekaan kita selama hidup di negeri yang katanya merdeka ini. Menjadi bagian dari generasi muda, jangan hanya main aman diam saja. Hasilkan sebuah karya yang bisa mewakili dirimu sendiri. Salam. 

 

Rabu, 21 September 2016

“DIONTROG DAN DIRIUNG OLEH FRONT PEMBELA ISLAM”

Oleh : Azmy Rancu
aturfrekuensi@gmail.com

Pengalaman ini adalah pengalaman yang paling mendebarkan sekaligus konyol yang pernah saya alami dalam hidup ini. Mendebarkan karena ini pertama kalinya saya berhadapan langsung dengan sesuatu yang selama ini saya tentang dari belakang. Ya, saya berhadapan dengan 5 orang anggota FPI, Yaa FPI (Front Pembela Islam) Ormas Fasis dengan label Agama yang lebih cocok dibilang ormas preman-preman berjubah kiyai, yaa begitulah kenyataannya bagi saya yang pernah berhadapan langsung dengan mereka wkwkwk.

Jadi ceritanya saya menuliskan opini reaktif di sosmed sekaligus protes saya terhadap FPI secara tersirat dan khususnya tersurat pada 2 orang anggota mereka yang terang-terangan membuat postingan di Facebook yang berisi ancaman pembunuhan dan penolakan kedatangan Bupati Purwakarta (Dedi Mulyadi) yang pada saat pertengahan bulan Juli akan datang ke daerah saya dan berita itu disorot banyak media nasional, Rancah Ciamis. Singkat cerita, gara-gara tulisan itu saya “diontrog” atau didatangi ke rumah lalu diajak bicara baik-baik di Masjid Agung Rancah. Awalnya saya menolak untuk datang, tapi bapak saya berpikiran lain, beliau menyuruh saya untuk berani bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan dan tenanglah katanya nanti Bapak nyusul dengan Bissmillah pergilah saya ke Masjid pada saat itu kira-kira pukul 18.25 WIB .

Setelah sampai di Masjid saya disambut oleh riungan melingkar yang belum lengkap karena sudah disediakan tempat untuk saya duduk, dihadapan saya pada saat itu nampaklah 5 orang, dengan 4 diantaranya sosok berpakaian jubah layaknya Kiyai. Salah satunya adalah orang yang mengancam membunuh Bupati tadi layaknya orang  tingkat keimanan angkasa saja dan satu diantara mereka berbaju biasa yang ternyata adalah kuasa hukum FPI, dan dialog pun dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan bertubi-tubi yang mereka lontarkan ke saya, kebanyakan dari pertanyaan itu sungguh konyol ditelinga saya seperti :

“BENER ENTE YANG NULIS POSTINGAN INI ? ENTE DIBAYAR OLEH SIAPA ?!!!”

Sungguh konyol mengingat tulisan saya dibuat atas dasar pandangan dan  keinginan sendiri tanpa unsur apapun dari luar apalagi ada yang bayar. Saya jamin tidak akan ada yang sudi setidaknya belum wkwk dan sebenarnya pertanyaan itu harusnya saya lontarkan balik kepada mereka, “FPI dibayar oleh siapa ? Dan "Ente dibayar oleh siapa? Nanya saya dibayar oleh siapa ?”  Seandainya saya berani.

“ENTE  IKUTAN PAGUYUBAN PASUNDAN HAH ?!!!”

Apa hubungannya sih? Kasihan Paguyuban Pasundan Ciamis dituduh terlibat karena saya yang sama sekali tidak mengenal apalagi jadi anggotanya. Dan seterusnya salah satu dari mereka yang adalah pengancam Dedi Mulyadi melontarkan pernyataan-pernyataan yang sungguh konyol kepalang diantaranya :

“KARENA POSTINGAN DAN TULISAN ENTE DI SOSMED ITU, ENTE BISA DIHUKUM DIJERAT OLEH PASAL IT DAN PERLAKUAN TIDAK MENYENANGKAN !”

Oke-oke.. wait, tulisan saya yang begituan saja bisa kena pasal lalu dihukum, nah kalau yang bikin postingan tulisan ancaman pembunuhan terhadap seseorang apalagi Bupati kaya kamu hey gimana yahh ? Heelloowww Hellloww hayooh mabok siah !

“YEUH ENTE TAU GA ? BAPAK SAYA ADALAH KETURUNAN RADEN KIAN SANTANG DAN IBU SAYA ADALAH KETURUNAN RARA SANTANG ?

Walaupun notabene kedua nama tadi adalah tokoh ulama tapi keturunan siliwangi juga dan padahal di postingannya secara gamblang si kehed FPI ini menulis “WAHAI DEDI MULYADI SI RAJA MUSYRIK
 YANG MENGAKU-NGAKU KETURUNAN SILIWANGI DAN SUAMI DARI NYI RORO KIDUL ?” WTF ? Siapa yang sebenarnya mengaku-ngaku keturunan siapa haduhh ?!!!

Dan akhirnya Adzan Isya’ berkumandang dialog berakhir dengan damai dan islah (padahal saya dendam asli) saya hanya bisa bersikap diam dan meng-iyakan apapun yang mereka katakan karena takut dengan ancaman Hukuman juga pasal-pasal tadi. Karena sikap saya itu, pada saat pulang saya dimarahi Bapak karena katanya saya tidak bisa mempertahankan pendirian. Maklumlah, saya berani datang sendiri dan berhadapan dengan 5 orang saja sudah bagus kan? Saya bukan manusia super loh.

Karena kasus ini, teman saya mengenalkan saya dengan seorang temannya lagi di Ciamis yang temannya itu (aduh lieur) sebut saja Anggrek lah, karena Mawar untuk perempuan, pernah juga mengalami kasus yang sama dengan saya tapi lebih parah karena Anggrek sampai pada tahap diancam akan dibunuh karena beliau menulis postingan tentang Anggota FPI Ciamis yang melakukan sweeping orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Padahal si kehed anggota FPI itu juga ada yang melihat tidak berpuasa juga. Bahkan konon katanya tanpa bukti yang jelas si anggota FPI yang melakukan sweeping itu sedang dalam keadaan mabuk “teler”. Saya sempat berbincang dengan Anggrek. Menurut Anggrek ada banyak teori konspirasi tentang siapa pembentuk FPI sebenarnya, ada yang bilang FPI itu sayap Golkar ada juga yang lebih parah bahwa FPI itu bentukan Illuminati hahaha dan ada yang bilang juga FPI itu bentukan militer dll.

Mungkin teman-teman bertanya (kalo engga juga gak apa sih) seperti apakah postingan/tulisan yang menyebabkan saya disered FPI daerah saya ? berikut tulisannya yang menurut banyak teman terlalu tendensius hahaha silahkan dibaca :

Rancah adalah salah satu kecamatan di Utara Kabupaten Ciamis, tidak ada yang spesial dari daerah ini kecuali alamnya yang masih asri, suasana tenang, aman, tentram dan tentu masyaraktnya yang dikenal ramah juga religius menghasilkan corak kehidupan yang indah bersahaja dan mungkin hal-hal itulah yang membuat orang-orang yang datang ke Rancah senang tinggal berlama-lama atau bahkan menetap disini, maka tidak salah atau bahkan tepat sekali jika banyak yang menyanjung tanah kelahiran kedua Orang Tua Saya ini dengan slogan "Rancah Betah" yaa itulah kalimat sakral yang kerap diucapkan pejabat dan Ulama-Ulama setempat diselipkan di pidato dan ceramah-ceramahnya, bagai makanan sehari-hari.

Rancah dalam seminggu terakhir ini agak sedikit dihebohkan dengan berita bahwa daerahnya akan kedatangan orang nomor satu di Kabupaten Purwakarta ya siapa tidak kenal Bapak Dedi Mulyadi, pemimpin nyentrik dengan ciri khas pakaian pangsi dan iket yang selalu ia pakai kemana-mana dan yang paling penting adalah fanatismenya pada budaya khususnya budaya Sunda bisa dilihat dari program-program yang sifatnya melestarikan budaya Sunda selama kepemimpinannya di Purwakarta hingga saat ini membuat Kang Dedi amat Populer di Indonesia khususnya Jawa Barat bahkan karenanya konon di Rancah ke-populerannya melampaui Bupati Ciamis itu sendiri, beliau diundang di acara pentas kebudayaan sunda yang diadakan masyarakat setempat tepatnya di Desa Dadiharja Kecamatan Rancah yang rencananya diadakan Sabtu malam, 16 Juli 2016. Masyarakat Kabupaten Ciamis patut bersenang hati khususnya Kecamatan Rancah bisa kedatangan orang populer semacam beliau terlepas dari sumbangsih atau dampak yang akan ditimbulkan nantinya saya yakin masyarakat Rancah akan menyambut dengan ke-ramah-tamahannya sehingga "Rancah Betah" itu bisa dirasakan oleh Bupati Purwakarta dan membawa cerita dan kesan bagus apalagi pasti akan banyak media nasional yang menyorot hal ini.

Tapi ternyata semua itu telah jelas-jelas dinodai oleh ulah dua orang oknum ulama, padahal saya sendiri sebagai warga setempat baru tau loh dari banyak Alim Ulama setempat yang saya hormati ternyata ada beliau berdua yang mengaku ulama berpengaruh di Kecamatan Rancah katanya, tapi kok rasa-rasanya secuilpun saya tidak terkena "pengaruhnya" itu dan salah satu dari beliau berdua mengaku sebagai pimpinan sebuah padepokan yang namanya mengandung kode angka 212 identik dengan tulisan di dada dan kampak milik pendekar silat fiksi (Wiro Sableng), dengan ke"sableng"annya beliau berdua mengancam dengan terang-terangan lewat postingan di akun facebook masing-masing bahwa akan membunuh Pak Dedi Mulyadi jika bersikukuh menginjakan kakinya di Rancah, alasannya adalah Dedi Mulyadi dianggap sebagai sosok kelewat musyrik yang suka membangun patung di tiap perempatan di Purwakarta tapi yang saya heran kenapa di postingannya ulama ini tetap mencantumkan kata "Tanah Galuh" diambil dari nama kerajaan "Galuh" yang telah lama runtuh dan notebenenya adalah Kerajaan Hindu yang menyembah patung atau benda mati yang dalam Agama saya disebut "Musyrik" tapi ah sudahlah terlalu jauh ... inti dari tulisan saya ini adalah janganlah merusak nama baik Rancah yang akan ditimbulkan nantinya apalagi mengatasnamakan umat islam dengan ulah seperti itu dan sungguh amit-amit bila ancaman mereka benar-benar terjadi akan memalukan masyarakat Kabupaten Ciamis khususnya Rancah bahkan semua orang menjadi dipermalukan bahkan jika sadar dirinya sendiri pun dibikin malu begitu tidak mencerminkan alim ulama melainkan tukang teror murni alias teroris.

Selasa, 16 Agustus 2016

Ngalor-Ngidul Bersama Mila

Seorang zine maker kritis dan cenderung ceplas-ceplos ketika sedang terlibat dalam sebuah diskusi. Dua zine yang pernah dibuatnya, lumayan berpengaruh bagi para zine maker lainnya, yaitu  : Pussy Wagon zine dan Kumis Kucing zine. Perempuan yang aktif di kolektif Betina dan terlibat pula sebagai partisipan di sebuah kolektif anarko feminis otonom, Needle and Bitch ini sekarang sedang menyelesaikankuliah S2-nya di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Beruntunglah ketika berkunjung disana, dia masih bisa menyempatkan datang untuk bertemu dan menjawab interview ini, Oke, Silahkan disimak.


 
Artwork oleh : Annisa Rizkiana Rahmasari
Foto : Dokumen pribadi

1. dari Bandung ke Yogyalarta, dari Pussy Wagon zine ke Kumis Kucing zine? Dan bagaimana kabar?

Kabar sekarang baik, sebenarnya tidaik terlalu sehat, banyak aktivitas, banyak stressnya. Haha. Untungnya stress bagi saya adalah stimulan, bukan downer. Badan boleh lelah, tapi jiwa tetap antusias dengan banyak hal-hal dan teman-teman baru yang ditemui. Dari A ke B, ke C ke D, sebut saja transfornasi.

2. Transformasi pasti mempunyai pasti berkaitan erat dengan perubahan, Bisa lebih jelaskan tentang hal itu?

Saya percaya, tiap orang punya kapasitas untuk berubah, baik itu di pengaruhi faktor eksternal maupun internal. Bagi saya, keduanya berpengaruh hampir sama imbang. Sebelum ada transformasi, sebelumnya saya butuh refleksi. Refleksi tentang pengalaman, kebutuhan, tujuan- tujuan, posisi, peran, dan hal lainnya. Pada satu fase, refleksi ini menghasilkan proses-proses yang mendorong saya menuju fase berikutnya.

Proses ini saya sebut sebagai fase revolusioner, karena harapan yang ingin dicapai adalah perspektif progresif. Bagi saya, yang terpenting dari bertransformasi bukanlah hasil akhir, melainkan  proses - proses itu sendiri. Dan pada fase berikutnya ini, ya, saya telah berubah. Meskipun bagi standar personal masih belum mencapai apa yang saya inginkan.

3. Pussy Wagon dan Kumis Kucing Zine. Kami  pengapresiasi zine-zine tersebut. Bisa menceritakan proses kreatif yang terlalui ketika menyusun kedua zine tersebut?

Saya lebih suka terbitan fisik, yang bisa dipegang, dibawa-bawa, atau disimpan di suatu tempat untuk di koleksi. Setiap terbitan pasti punya "keinginan" untuk dibaca oleh orang lain selain pembuatnya. Tapi zine punya nilai lebih, yaitu subyektifitas. Kita bisa bercerita dan bicara tentang pengalaman-pengalaman, sudut pandang, opini, atribut-atribut kita-alias narsis  yang sebenarnya ingin kita sampaikan dan bagi ke orang lain. Kita bisa membuat zine kita sendiri tanpa ada struktur dan aturan baku jurnalisme formal, kecuali jika kita telah menemukan gaya pribadi kita dalam mengolah zine. Kita bisa bikin dengan cara sendiri, dan dalam konteks ini, zine memperlakukan diri sebagai media, bukan target penonton. Media untuk infiiltrasi ide dan isu-isu. Sebagai pelaku, kita punya otoritas sama untuk menentukan urgensi sebuah ide atau isu.

Pussy Wagon adalah zine pertama saya. Dibikin secara spontan tanpa konsep yang dirumuskan matang, dibikin di atas kertas A4, dan berupa fotokopian saja. Karena sangat spontan dan lepas apa adanya, termasuk cara menulis yang tidak baku serta lebih ke cara bicara saya sehari-hari, beberapa orang yang fetish kerapian mungkin akan meliat zine ini asal-asalan. So What? Haha Cukup tebal karena banyak hal yang saya bagi di situ, mulai dari opini tentang seksualitas dan gender, interview yang aneh, review buku dengan konten BDSM, review film horror B-class classic, catatan jalan-jalan dan bahkan review musik yang sok tau. Memang sebagian besar masih berkorelasi kuat degan skena Harcore Punk, tapi saya pikir konten Pussy Wagon zine cukup variatif. Untuk teknik tata letaknya, saya pakai metode guning tempel alias cut n' paste dan coretan-coretan spidol sebagai penghias halaman yang diberi seperlunya-atau semaunya, haha, Saya juga bikin sendiri flyer, promosi untuk website atau teman-teman dengan skill mengambar dan visual yang pas-pas-an, tapi saya anggap lucu dan cute.

Kumis Kucing adalah sebuah zine tentang kucing. Iya, bener. Keseluruhan isi zine memang tentang kucing. Ide awal zine ini sebenarnya datang dari seorang teman baik saya di Bandung yang seorang pecinta kucing, Sheni. Jadi bisa dibilang kalo saya sekedar eksekutor untuk pebuatan zine ini, yaitu tata letak. Saya sangat antusias karena saya sendiri memang seorang pecinta kucing. Merasa tidak punya enerji lagi untuk mengumpulkan materi gunting tempel manual, saya mencoba gunting tempel via software Corel Draw. Ini hal yang benar-benar baru bagi saya. Tapi tidak butuh waktu lama, cukup singkat dan saya merasa mampu mendesain tata letak zine tersebut melalui coreldraw dengan hasil final menyerupai gunting tempel manual. Beberapa teman penggiat kolase malah mengira bahwa zine tersebut masih menggunakan konsep cut n/ paste manual. Haha Anda tertipu (padahal sebenarnya saya memang amatir sih) Untuk bagian konten zine saya bertahan dengan format foto-kopian karena lebih murah. Saya bereksperimen dengan cover luar zine ini. Saya pakai kertas entah apa namanya, pokoknya tebal dan warna warni yang kemudian ditempelin potongan gambar kucing di mesin cuci ala the Washing Machine-nya Sonic Youth-semacam spin off gitu. Potongan gambar ini ditempel dengan selotip kertas mini dibagian tengah cover. Saya pribadi sangat suka dengan tampilan zine ini, sangat edgy.

Yah saking sukanya saya dengan proses kreatif membuat zine, seorang teman pernah bilang mungkin jika saya tidak terlalu tertarik dengan isu-isu yang di coba dibawa zine tersebut, saya akan tetap mau-mau saja membuatnya semata karena saya suka bikin zine. Itu aja. Semacam pembuat zine Palu Gada (apa lu mau, gue ada) Hahaha, percayalah, itu tidak benar.



4. Media arus utama memang kadang membosankan. Dan media alternatif adalah salah satu tandingan yang diperlukan untuk menghancurkan kebosanan tersebut. Salah seorang teman bercerita bahwa media yang berbeda adalah media yang paling bisa diserap. Media yang berani tampil beda dan menembus senua batasan-batasan. Ketika segala media arus utama sudah kotor dan curang, salah satu cara untuk melawannya adalah membikin zine kita sendiri. Bagaimana menurut mbak Mila?

Menurut saya yang perlu di perhatikan adalah posisi media alternatif itu sendiri. Apakah dia mengkonfrontasi media arus utama itu sendiri dan melakukan konfrontasi terbuka melalui jalur yang mereka pilih dalam ide atau isunya, atau sekedar ingin memulai sebuah media tapi dengan pola gerak yang semacam dengan media arus utama. Jika yang diambil adalah pilihan pertama, maka media tersebut telah mnunjukkan posisi dan keberpihakan dengan tegas, yaitu oposisi. Jika yang diambil adalah pilihan yang kedua , maka media bisa berubah wujud jadi apa saja, dan keberpihakannya tidak terlalu jelas.

5. Beberapa zine yang sudah beredar dan menurut kamu perlu untuk di rekomendasikan?

Zine Ruang Bebas baca dari Palembang yang dibuat sebagai zine benefit untuk pembuatan untuk sebuah perpustakaan di daerah minim infrastruktur dan pergulatan edukasi di daerah (aku lupa persisnya tapi sekitaran) kaki gunung Dempo, Sumatera Selatan. Bukan tentang konten, tapi lebih ke isu, concern kenapa zine itu dibuat, bagaimana zine itu melibatkan partisipasi banyak teman dari berbagai kota datang.



7. Apa pentingnya pembangunan sebuah basis ekonomi bagi sebuah kolektif? Dan kenapa harus meminimalisir ketergantungan terhadap sumber dana dari organisasi funding seperti yang dipraktekkan NGO?

Mungkin kita bisa mulai dari contoh sederhana saja ya. Katakanlah jika kita sebagai individu tidak mandiri secara ekonomi, misalnya masih bergantung pada YAB (Yayasan Ayah Bunda) alias orang tua atau keluarga, akan selalu ada relasi kuasa antara kita yang diberi uang dengan orang tua/keluarga yang memberi uang. Pihak yang punya kuasa karena telah memberi uang akan menentukan pilihan-pilihan kepada kita yang bisa saja pilihan-pilihan tersebut bukanlah pilihan yang kita inginkan ataupun memenuhi aspirasi hidup kita. 
Jika kita terus memenuhi pilihan tersebut, kita akan semakin terjauhkan dari apa yang sebenarnya kita inginkan dari hidup kita. Poinnya adalah kontrol terhadap hidup kita yang datang dari pihak di luar diri kita. Bukan bermaksud menggeneralisir, tapi ini contoh umum saja, karena sebenarnya tidak semua keluarga mempraktekkan bentuk relasi kuasa macam ini. Selalu ada pengecualian untuk apapun, bukan?

Pembangunan basis ekonomi mandiri bagi sebuah kolektif akan mengkondisikan kemandirian politik. Artinya, dengan kemandirian ekonomi, kolektif tersebut tidak perlu melakukan aktivitas yang ditentukan oleh siapapun (jika pihak-pihak itu berbentuk lembaga donor/funding) kecuali berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan isu/concern yang berdasar pada landasan dan prinsip kolektif itu sendiri. Sehingga sebuah kolektif tidak perlu menegosiasikan atau mempertanggungjawabkan agenda-agenda yang mereka buat kepada pihak manapun kecuali kepada kolektif itu sendiri. Begitulah....hehehe.

Bagi saya, ketergantungan terhadap sumber dana dari organisasi funding bukan lagi untuk diminimalisir, tetapi justru dihilangkan. Pertama, dengan menggunakan dana mandiri, sebuah kolektif dapat menentukan agenda dan aktivitas apa saja yang dibutuhkan, kapan dan di mana itu akan dilakukan, dan siapa saja yang dapat terlibat di dalamnya. Intinya adalah kekuasaan penuh ada di tangan kolektif. Kedua, gerak-gerak NGO/lembaga funding akan melemahkan semangat kemandirian dan etos DIY (Do it Yourself) dalam praktek nyata kita dengan membentuk pemikiran bahwa otonomi itu sulit dan mustahil untuk dicapai. Kita bisa lihat dari bagaimana ketergantungan NGO terhadap lembaga donor. Mereka tidak bisa menjalankan program tanpa kucuran dana lembaga donor yang sebenarnya sarat dengan kepentingan-kepentingan dari lembaga tersebut (misalnya: data-data tentang perilaku dan kondisi sosial masyarakat di suatu tempat, pemetaan konflik sosial atau sumberdaya alam yang mengarah pada industri ekstraktif, dan lain-lain) yang jika dirunut hingga ke struktur yang paling atas, kepentingan siapa sebenarnya yang ada di belakangnya? Korporasi. 

Pada level yang lebih jauh lagi, berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi saya, beberapa NGO yang "dikejar" program-program ini akan kemudian main klaim terhadap aktivitas komunitas lain untuk dimasukkan dalam program mereka sebagai bentuk pemenuhan tanggung jawab terhadap donor. Kalau sudah begini, kontrol yang ada di tangan donor akan membuat para pekerja NGO menjadi "pencari program". Saking kepepet mencari program, terkadang para pekerja NGO akan membuat program yang sebenarnya tidak esensial dan "diada-adain aja", karena "yang penting ada program".

Level yang lebih parah lagi adalah terjadinya kooptasi terhadap aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan ruang dan gerakan otonom sejak lama, seperti yang terjadi baru-baru ini saja di Jakarta Biennale yang memasukkan Really Really Free Market (RRFM) dalam salah satu agenda acaranya, yang sesungguhnya sangat jauh dari esensi RRFM itu sendiri. Pada akhirnya RRFM di acara tersebut hanya menjadi barang dagangan bagi kelas menengah-borjuis filantropis urban ibukota yang menganggap inisiatif macam itu adalah bentuk filantropi yang "unyu" dan "alternatif banget".

Itu belum termasuk keterlibatan para seniman utama di dalamnya yang sudah di-setting dan difasilitasi sedemikian rupa untuk menjalankan program berkedok aktivisme sosial (namun sebenarnya tidak menyentuh akar masalah sosial itu sendiri). Lucu sekali bagi saya, karena seniman-seniman macam ini kemudian akan menjadi "seniman orderan" atau bisa juga disebut "seniman palugada" alias "apa yang lu mau gua ada". Lambat laun pun sosok-sosok yang sebenarnya potensial ini akan kehilangan perspektif dan kesadaran kritisnya. Di situlah kadang saya merasa sedih :'(

Tapi tidak apa, setiap individu memiliki pencapaiannya masing-masing. Mari kita beri panggung bagi yang kepingin naik kelas.

8. Needle and Bitch sangat memperhatikan isu kesetaraan gender. Dari pandangan kamu pribadi, bisa menjelaskan pentingnya isu tersebut?

Berdasarkan apa yang saya lihat dan alami sendiri, isu kesetaraan gender sering dianggap isu "kelas dua" dalam dunia aktivisme yang mau tidak mau harus diakui masih sangat macho. Tapi mari kita mulai dengan diktum terkenal Aristoteles yang begini bunyinya: "Tidak ada pertukaran tanpa kesetaraan. Tidak ada kesetaraan tanpa keseukuran." 

Apa yang membangun diri perempuan, laki-laki, atau gender apapun sebagai manusia sehingga mereka bisa memiliki keseukuran dan karenanya mereka dapat menjadi setara? Bagi saya jawabannya adalah kerja. Bagi saya tidak ada "pekerjaan laki-laki" atau "pekerjaan perempuan", seperti halnya tidak ada "kerja fisik" atau "kerja otak". Kerja itu ya kerja, tersusun dari waktu kerja yang dicurahkan untuk produksi sesuatu. 

Jadi kesetaraan gender itu nyata dan harus dicapai karena sebenarnya punya dasar filosofi yang kuat. Tanpa kesetaraan gender, tanpa semua gender berdiri dengan setara, maka perubahan yang diagung-agungkan bernama revolusi itu niscaya tidak akan terwujud. 

9. Saya dengar kamu sedang terlibat dalam sebuah klub baca sebuah buku. Bisa menceritakan sedikit tentang hal tersebut?

Iya bener memang. Saya dan beberapa teman di Jogja (sebenarnya cuma 5 ekor saja sih...) menginisiasi kelas baca Kapital (Iya, Kapital-nya Karl Marx) yang kami sebut Kelas Kajian kapital (KKK), yang anggotanya memiliki berbagai macam latar belakang, tapi punya satu kesamaan: sama-sama pemabuk. Haha.

Pada dasarnya bentuk kelas baca ini ya sama saja dengan pengajian. Bedanya dengan pengajian pada umumnya yang sekedar membaca, kami tidak hanya membaca tapi juga mencoba menginterpretasikan teks di dalamnya dengan detil dan komprehensif. Jadi ini memang kajian tekstual. Kami memang membaca teks dalam Kapital secara langsung dan menghapuskan semua buku-buku interpretasi atas Kapital, yang ditulis oleh siapapun itu, dari kelas ini. 

Berbeda dengan kelas Kapital atau Marxis lainnya yang sering mencomot bagian-bagian tertentu dari Kapital untuk direlevansikan dengan situasi politik tertentu, misalnya akumulasi primitif dalam konflik agraria. Atau filsafat marxisme yang dijadikan materi kaderisasi (baca: indoktrinasi) organ-organ kiri mahasiswa demi terbentuknya wadah gerakan. Kelas ini bukanlah platform politik. Melainkan upaya untuk membaca kembali secara menyeluruh sumber utama, the origin of it all, yaitu Kapital itu sendiri sebagai ilmu pengetahuan, yang berpijak pada keberanian untuk berpikir dengan diri sendiri. Bukan dengan siapapun yang dianggap memiliki otoritas atas pemahamannya tentang marxisme. Karena, apalah arti syariat tanpa makrifat? Hehehe.

Dan ini sangat terbantu dengan keberadaan koordinator (meskipun dengan sangat rendah hati dia menolak sebutan itu hahah) kelas kami yang saya anggap sangat berkapasitas dalam pembacaan Kapital ini, mengingat dia telah membaca Kapital hingga selesai sebelumnya dan memperdalam antropologi marxisme secara akademis sekaligus seorang aktivis agraria dan perjuangan akar rumput.

Bagi saya pribadi, membaca Kapital merupakan goncangan iman yang membawa saya pada level kesadaran baru tentang fase masyarakat yang kita hidupi saat ini. Anggap saja sebuah pencerahan.

10. Beberapa kali berkunjung ke Semarang. Apa pendapat pribadi kamu mengenai kota ini? Kritik dan saran mungkin?

Ah, cuma berkunjung beberapa kali kok. Semarang itu datar dan kurang hidup, maka hidupkanlah! Kritik dan saran, ah, saya cuma berkunjung, bukan penduduk. Tidak ada di lapangan situ. Takutnya kritiknya tidak valid dan kurang terukur, malah nanti dibilang sotoy. Kalau saran, ya itu tadi, hidupkanlah kota Semarang dengan apapun. Konflik, tesis dan anti-tesis, negasi atas negasi, apapun. Tapi jangan baper! Katanya open minded. 
Intinya, biar semuanya bisa banyak belajar saja sih. Tambah saran lagi sih palingan, biasakan komunikasi yang terbuka dan sehat. Tapi sekali lagi, jangan baper! Kan tujuannya untuk memperkuat, bukan menghancurkan teman.  

11. Ok, thanks berat atas waktunya Ming. Kami tunggu zine-zine berikutnya dari kamu. Any last words for readers?

Sama-sama. Oke ditunggu aja zine-zine berikutnya dari saya (semoga saja ada...hehehe). Last words for readers: dare to learn something new and therefore to think for yourself!


Senin, 15 Agustus 2016

Sejenak Bersama Efi Sri Handayani

Menyenangkan sekali ketika melihat seorang kawan perempuan yang aktif sekali berkarya. Dan beberapa waktu lalu ketika menghadiri Sewon Screening di kampus ISI Yogyakarta, saya berkenalan dengan seorang sutradara muda yang filmnya lumayan menarik perhatian saya, Efi Sri Handayani. Jebolan Institut Kesenian Jakarta yang juga terlibat sebagai koordinator acara dalam penyelenggaraan Belok Kiri Fest beberapa waktu yang lalu, ternyata juga adalah seorang kutu buku serta aktif mendukung aksi warga Kendeng dalam perjuangannya menolak pendirian Pabrik Semen serta penambangan Karst di Pegunungan Kendeng Utara. Akhirnya rampung juga interview yang kami lakukan via fasilitas chat Facebook ini, setelah beberapa kali pending karena kesibukan dan hal-hal lainnya. Silahkan disimak, semoga menginspirasi.



1. Halo Efi, bagaimana kabar keseharian akhir-akhir ini?

Kabar baik dan sedikit sibuk dengan beberapa kegiatan.

2. Kamu adalah salah satu yang terlibat dalam helatan Belok Kiri Fest dan Simposium '65 beberapa waktu yang lalu. Dalam pandangan kamu pribadi, menurutmu apa urgensi dari kedua helatan tersebut untuk digelar?

Menurutku, urgensi saat ini adalah bagaimana negara bertanggung-jawab atas kejahatan pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, narasi sejarah yang harus terus dibicarakan dengan mengungkap fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Ini penting bagi generasi muda untuk tahu sejarah bangsanya sendiri supaya tragedi serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari.

3. Helatan Belok Kiri Fest sempat mengalami kendala masalah perijinan dari pihak Kepolisian walaupun akhirnya tetap bisa berjalan dengan memindahkan tempat acara. Bisa menceritakan sedikit kronologi masalah kendala tersebut?

Empat hari sebelumnya, banner kegiatan sudah dipasang dari tanggal 22 Februari di depan TIM (Taman Ismail Marjuki), diturunkan oleh pengelola TIM keesokan harinya. Alasannya, surat izin kegiatan yang telah mendapat cap dari pihak polsek setempat, dinilai tidak cukup. Surat izin itu harus disertai surat balasan dari polsek.

Selama proses perizinan, dari tanggal 18 hingga 26 Februari, komite pelaksana dipersulit dalam urusan birokrasinya. Hingga H-1, Belok Kiri Fest tetap tak diberi izin penyelenggaraan di TIM. Saat itu pula penyelenggara disuruh membongkar display yang telah dipasang di Galeri Cipta II. Kabarnya, pihak polisi dan keamanan TIM akan membongkar paksa jika itu tidak dilakukan panitia.

4. Jagal "The Act of Killing" karya Joshua Oppenheimer adalah salah satu film yang kamu sebut-sebut saat berpidato di pembukaan Belok Kiri Fest. Dan dalam sebuah interview, Joshua sendiri mengatakan bahwa film tersebut adalah ajakan bagi semua pelaku dunia film di Indonesia untuk membuat karya yang semacam. Bagaimana pendapatmu pribadi mengenai film tersebut? Sebagai seorang yang juga pelaku dunia film, adakah rencana untuk membuat karya film yang serupa?

Film jagal secara gamblang dengan berani membeberkan fakta sejarah tragedi 1965. Bagaimana para pelaku dengan keji menceritakan peristiwa pembantaian itu. Film tersebut membuka banyak mata yang selama ini sengaja ditutupi oleh pemerintah orde baru.

Sebagai seorang sutradara, saya juga ingin membuat film dengan tema 65. Tapi bentuknya mungkin bukan dokumenter, saya ingin membuat film drama tentang anak-anak yang orang tua nya menjadi korban. Saya ingin menitik-beratkan pada bagaimana kehilangan itu, yang dialami oleh seorang anak, dan bagaimana kepulangan hanya sebatas mimpi bagi mereka para tapol 65.

5. Beberapa waktu yang lalu keputusan Pengadilan Rakyat Internasional yang digelar di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa pemerintah Indonesia bersalah atas berbagai kejahatan HAM yang terjadi di masa lampau. Akan tetapi pemerintah mengacuhkan putusan tersebut dan menolak untuk menindak-lanjutinya. Bagaimana pendapat kamu tentang hal tersebut?

Orde baru itu memang mempersulit hidup orang banyak ya. Bahkan yang dipersulit bukan hanya generasi terdahulu, tapi generasi muda hari ini juga kena dampaknya. Mereka begitu takut menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu, karena jika dibongkar, pelaku-pelaku kejahatan HAM akan terancam. Stabilitas kekuasaan akan terganggu. Saya cuma heran, kenapa manusia tidak bisa hanya memakai nuraninya saja.

6. Saya lihat kamu punya perhatian khusus akan isu penolakan terhadap operasi pabrik semen dan penambangan karst di pegunungan Kendeng Utara. Apa yang mendasari perhatian tersebut?

Saya melihat ketulusan warga Kendeng, khususnya ibu-ibu petani. Mereka selalu mengatakan ibu bumi harus dijaga kelestariannya untuk masa depan anak cucu, jangan hanya memikirkan perutnya sendiri. Bahkan sempat juga ngobrol dengan salah satu kartini kendeng, ibu Sukinah, sambil menangis beliau bercerita ketika melihat tanah dirusak, yang dirasakannya adalah tubuhnya sendiri dan tubuh leluhur-leluhurnya.

Ketulusan seorang ibu kepada anaknya memang tak ternilai. Hal itu yang sebetulnya cukup menampar saya. Sebagai seorang anak yang pernah dilahirkan dari rahim seorang ibu, saya merasa harus berbuat sesuatu, meskipun itu hal kecil.

7. Dari beberapa kali postingan di media sosial, kamu terlihat aktif mengawal aksi warga Kendeng di depan Istana Negara. Bisa menceritakan sedikit tentang detail aksi tersebut hingga hari ini?

Aksi dimulai sejak 26 Juli dan hingga hari ini masih bertahan mendirikan tenda di depan istana dengan tuntutan bisa bertemu presiden Joko Widodo yang pada aksi sebelumnya dimana ibu-ibu mengecor kaki mereka dengan semen. Saat itu utusan presiden, Teten Masduki dan Pratikno hadir sebagai wakil presiden dan berjanji akan mempertemukan ibu-ibu dengan presiden Jokowi. Akan tetapi, hingga hari ini (Tanggal 31 Juli 2016) janji tidak ditepati. Kemudian aksi pasang tenda juga mengajak siapapun untuk membaca AMDAL palsu yang dibuat oleh PT. Semen Indonesia. Siapapun, warga yang ikut aksi ini juga sangat terbuka jika ada aparat, pemerintah, akademisi dan masyarakat yang ingin melihat AMDAL versi semen itu.

8. Menurutmu pribadi, apa yang menyebabkan pihak pemerintah sendiri agak berat untuk memenuhi permintaan tuntutan warga Kendeng?

Kita hidup di sebuah negara yang para pemimpinnya terlalu punya banyak kepentingan.









 9. Saya salah satu penikmat karya kamu. Sebuah film, yang jika kamu ingat, kita pernah berdiskusi tentangnya, "Laki-Laki Virtual". Bagaimana proses kreatif pembuatan film tersebut? Pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan melalui cerita dari "Laki-Laki Virtual"?

Proses development ceritanya cukup lama, kurang lebih satu semester. Kira-kira sampai film itu selesai, memakan waktu hampir satu tahun. Sebetulnya tidak ada pesan apapun dalam film ini. "Laki-Laki Virtual" selain sebagai tugas akhir kuliah saya, di sisi lain yang lebih personal, film ini menjadi semacam healing buat saya. Manusia, terkadang butuh tamparan keras untuk menyadari tentang apa yang terjadi dan bagaimana ia harus menghadapi itu.

Kalau boleh mengutip satu puisi Sapardi, “yang fana adalah waktu, kita abadi”. Karakter laki-laki virtual berasal dari waktu dan tempat lampau, sementara perempuannya hidup di masa ini. Sebesar apapun keinginan untuk bersama laki-laki dalam video VHS itu, perempuan tidak akan bisa mendapatkan hal tersebut. Waktu memang nyata, apapun yang di dalamnya pernah ada dan hidup, tapi menghadirkannya kembali? Sudahlah, nanti keburu ada UFO jatuh.

10. Ada rencana terdekat untuk penggarapan karya dalam bentuk film lagi?

Ada, saat ini saya sedang riset untuk development cerita film fiksi dengan tema tragedi '65. Sembari mengumpulkan footage untuk project dokumenter tentang para Kartini Kendeng.

11. Buku atau literatur apapun yang terakhir di baca?

Saya sedang membaca memoar pulau buru karya pak Hersri Setiawan, salah satu seniman Lekra yang pernah menjadi tapol pulau Buru. Saya banyak terinspirasi dari buku itu untuk pembuatan film saya tentang tragedi '65.

12. Ok Efi, thanks banget sudah meluangkan waktu untuk menjawab dan berbagi bersama Kaum Kera zine. Sangat ditunggu aksi dan karya-karya berikutnya. Silahkan menyampaikan sesuatu apapun itu, untuk mengakhiri wawancara ini.

Saya kasih quotes saja ya. adalah salah satu quotes favorit dari film Cinema Paradiso : “life isn’t like in the movie. life is… much harder.” Sukses ya untuk Kaum Kera Zine. Sampai jumpa, salam congyang!

Jumat, 12 Agustus 2016

Mengurai Cerita dan Keluh Kesah Bersama Adin Hysteria

Ada banyak hal yang mendasari sesuatu yang dinamakan kegigihan. Salah satunya, mungkin, adalah rasa cinta. Rasa cinta biasanya berujung pada keinginan untuk perbaikan yang sifatnya menerus pada hal yang dicintai itu sendiri. Dan tidak banyak saya menemui seseorang yang mempunyai kepedulian terhadap kota seperti yang dimiliki pemuda yang satu ini, Adin. Dia adalah sosok yang paling bertanggung jawab di sebuah organisasi kolektif berbasis seni bernama Hysteria. Salah satu kolektif yang sangat aktif di berbagai kegiatan komunitas seni budaya di kota ini, Semarang. Berikut adalah wawancara yang saya lakukan dengan beliau melalui fasilitas chat jejaring sosial Facebook, silahkan disimak, semoga menginspirasi.



1. Pergerakan komunitas anak muda di Semarang, dalam berbagai bentuk, memang tidak pernah sepi dinamikanya. Dan bagaimana kabarmu mas Adin?

Dinamika kultur anak muda di Semarang aku pikir naik turun, ada kalanya kultur tertentu sangat massif dan lainnya tenggelam. Tidak mati-mati amat, mungkin sekedar hibernasi sejenak lalu kelak naik lagi. Demikian silih berganti. Semarang punya potensi besar? Ya iyalah, kota ini kan ibukota Jawa Tengah dan berbagai perguruan tinggi tersebar di berbagai tempat. Kalau sepi justru aneh.

Cuma ya itu tadi, kita nggak pernah benar-benar bisa mengukur persis apa tren yang naik, dan apa yang turun, serta apa yang diam-diam stabil. Karena masih jarang tradisi riset di ranah kultur anak muda, apalagi terkait sub kultur. Kebiasaan kita menduga-duga, meraba-raba, dan berasumsi. Meskipun asumsi dan dugaan itu bukannya meleset ya, tapi susah untuk melihat obyektivitasnya dari penilaian-penilaian tersebut. Aku? Juga sama sih. Kadang depresi, kadang berkobar-kobar. Fluktuatiflah, standar. Haha.

2. Riset memang sebaiknya menjadi tradisi ketika ingin merumuskan sebuah masalah, apalagi ketika ingin menyelidiki sebuah permasalahan yang menyangkut budaya. Bisa berbagi sedikit tentang sebuah teknik riset yang ideal menurut mas Adin?

Kalau teknik riset  ideal mungkin yang kayak di kampus-kampus kali ya? Hehe. Tapi kami biasanya tidak pakai metode seketat itu. Minimal melakukan pemetaan terlebih dahulu, analisa permasalahan, baru kita bisa ngomong lebih lanjut tentang apa yang perlu dilakukan, dan yang tidak perlu dilakukan. Riset hanya bagian awal, setidaknya basis data itu penting kalo mau meyakinkan banyak pihak

3. Mas Adin adalah direktur dari Hysteria. Salah satu kolektif yang aktif di berbagai kegiatan komunitas di kota ini. Bisa berbagi sedikit mengenai Hysteria, mas?

Hyteria aktif sejak 11 September 2004. Ada karena dirasa kurangnya media atau wadah yang menampung ekspresi kami di dunia sastra. Dari sastra dan dunia seni teater, aku bertemu dengan banyak seniman lainnya hingga akhirnya tahun 2007 kami mulai mengorganisir acara-acara kesenian. Mulai dari diskusi, pertunjukan, membuat art project dan lain-lain. Tahun 2011 kami mulai membaca ulang perjalanan kami dalam konteks Semarang. Hysteria berasal dari komunitas, kami rata-rata orang yang tak suka dikekang dengan AD/ART, dan aneka tata cara, baik di UKM, Persma, ataupun organisasi sejenis di dalam kampus. Makanya Hysteria ada, karena malas dengan basa-basi birokrasi. Sebuah kepongahan yang akhirnya berimbas ke kami saat Hysteria mulai sedikit serius membentuk platform baru. Kami yang enggan 'didisiplinkan' akhirnya mau tidak mau harus belajar organisasi lebih sungguh-sungguh. Mulai dari membuat badan hukum hingga mengurus pajak bulanan! Hal yang sangat jauh dari yang apa kami bayangkan sebelumnya. Tapi benar-benar kami sadari bahwa perubahan platform itu semata-mata karena kebutuhan.

Sudah aku sebut di awal, bahwa Hysteria bermula dari komunitas. Kami tahu persoalan-persoalan komunitas dan sejak itu kami membuat program yang berorientasi pada pengembangan komunitas. Mulai dari workshop zine, pengorganisasian, bikin event, brainstorming, hingga eksekusi program jika diperlukan. Kami tak pernah memaksa sebuah komunitas harus seperti Hysteria. Tetapi biasanya, program memang disesuaikan dengan kebutuhan. Jika kebutuhannya sebagai paguyuban ya ayo, kalo kebutuhannya sebagai yayasan atau perkumpulan berbadan hukum ya ayo juga. Jadi sangat fleksibel. Mimpinya, semakin banyak komunitas yang saling kuat dan menguatkan, maka akan tumbuh semakin banyak. Makanya, banyak kami inisiasi program-program pemetaan dan juga lintas disiplin.

Tahun 2012-2013 adalah masa-masa kritis karena rata-rata anggotanya sudah lulus kuliah. Kami mulai menimbang lagi kenapa mesti bertahan di kota brengsek ini, hahaha. Saat itu nyaris tak ada alasan yang cukup bisa dipertahankan kenapa Hysteria harus tetap ada. Funding susah, sponsor lokal repot, apresiasi minim, tenar juga nggak, pemberitaan media nasional apalagi. Hal yang membesarkan hati adalah ucapan dari seniman senior Titarubi yang mengatakan, bahwa jika kamu sudah memilih jalur ini dan kamu tahu tidak bisa hidup dari sana, ya kamu harus paham resikonya. Kerja ikut orang lain, being realistic, tapi karena sudah punya komitmen ya kamu harus meluangkan waktu dan uang untuk apa yang kamu yakini. Itu yang pertama.

Yang kedua, kami sadar hidup di Semarang, apapun yang terjadi pada kota, mau peduli apa tidak, akan berimbas pada kita juga. Misalnya sampah, macet, alih fungsi lahan dan lain sebagainya. Mau tak mau hal tersebut ya balik ke kita. Nah apa kontribusi kita? Bisaku cuma seni-senian, ya sudah kita pake itu. Makanya menjadi relevan dan kontekstual itu penting banget bagiku. Jadi menata iman dulu karena kalo basisnya materi doang, sudah berapa banyak kita saksikan inisiatif seperti ini di Semarang tumbang?

Sejak itulah Hysteria lebih intensif dengan isu kota hingga membentuk platform baru bernama Pekakota yang konsentrasinya di bagian riset dan ngomongin kota lebih umum. Sebenarnya hal ini masih mempunyai relevansi dengan visi kami tentang pengembangan komunitas. Dalam event terakhir kami, Penta K Labs, kami ingin menjadi hubungan dan ruang dialog antara kampus, komunitas, kampung, kota dan kita. Karena 5 elemen ini sukanya jalan sendiri-sendiri. Nah, inilah yang mewarnai perjalanan Hysteria hingga sekarang dan membentuk corak ideologinya sendiri.

4. Banyak teman-teman kolektif lain yang gigih dengan kemandirian, menolak format kolektif yang basis ekonominya berdasarkan suplai dana dari lembaga funding. Kebanyakan dari mereka memilih menata basis ekonomi mandiri dengan memproduksi karya-karya mereka sendiri. Bisa berbagi pendapat mas Adin tentang hal tersebut?

Itu juga tidak ada masalah sih, kami juga tidak tergantung pada funding sepenuhnya. Dana dari sponsorsip atau funding bagi kami adalah stimulus saja. Justru sangat menarik jika komunitas bisa menghidupi sendiri programnya dengan basis kegiatan ekonomi yang lebih riil seperti Tobucil, Batu Api, Kineruku dan banyak komunal lain juga melakukan itu. Celah-celah Langit di Bandung yang dikelola Iman Soleh malah punya kos-kosan sendiri. Ada banyak cara untuk survive sebenarnya dan tidak harus bergantung pada funding. Jika ada komunal-komunal yang bergerak seperti itu, menurutku lebih baik.





5. Pandangan ideal pribadi mas Adin tentang konsep kolektif?

Prinsip kolektivisme itu bagus, tapi agak susah dalam kasus Hysteria. Patronase di beberapa lembaga di Indonesia susah dihindari. Lembaga atau komunal yang baik, tentu saja yang bisa memenuhi syarat-syarat kesetaraan dan lain-lain sehingga anggota saling kontrol satu sama lain. Itu mungkin terjadi, tapi tidak semudah diucapkan. Hysteria sendiri tidak seideal itu, harus aku akui. 

6. Saya salah satu yang menyaksikan kegigihan mas Adin dari sejak merintis Grobak Hysteria hingga sekarang, sebenarnya apa yang mendasari kegigihan tersebut?

Aku rasa beragam. Setengahnya kewarasan, setengahnya kegilaan. Campuran keduanya, haha. Hysteria tidak mungkin bisa bertahan semata-mata alasan rasional, pun juga sebaliknya. Oh iya, tentu saja juga karena kepedulian dan cinta, karena aku suka seni, dan banyak hal lainnya.

7. Buletin Hysteria edisi terakhir sangat menarik dengan kemasan cetak yang tidak main-main serta list kontributor yang tulisannya sangat menarik. Menilik di waktu yang lalu ketika Buletin Hysteria masih dengan format foto-kopian hitam putih dan kebetulan saya salah satu yang mencermati proses pergantian format Buletin Hysteria dari waktu-ke waktu. Bagaimana mas Adin sendiri memaknai sesuatu yang dinamakan zine?

Sebagai format, zine menurutku sangat menarik karena kita bisa bikin apapun dengan term zine. Term lain misalnya tabloid, majalah dan lain-lain dengan editorial yang sudah dibayangkan, menurutku lebih kaku. Hysteria dari edisi ke edisi terbit sesuai kebutuhan dan keadaan. Kadang isinya curhat, kadang isinya kronik kegiatan, kadang cukup serius mengulas persoalan budaya maupun filsafat. Tidak ada format yang pasti. Nah, itulah keuntungan kita menggunakan term zine.

Tapi pada intinya, adalah penting bagi kami sebuah kelompok, mempunyai medianya sendiri. Tak hanya memproduksi pengetahuan, tetapi juga mendistribusikannya ke mana-mana. Kita memiliki kontrol atas apa yang kita ingin sampaikan. Meski terkadang persepsi publik bisa sangat berbeda apalagi jika dibandingkan dengan media-media arus utama. Bagi kami, yang terpenting adalah membangun kemandirian juga dalam hal informasi. Apalagi dalam kasus Hysteria, tak selalu apa yang kami kerjakan termediasi dengan baik oleh media-media arus utama. Kita sadari kekurangan itu makanya Hysteria kontinyu terbit dan tidak terbebani dengan hal-hal yang kaku.

Ada yang bilang sekarang terbitan kami lebih baik. Saya malah tidak setuju soal lebih baik, karena 'lebih' itu menunjukkkan tingkatan. Padahal ini bukan tingkatan dan kami tidak berniat membuat terbitan yang ambisius. Pas ada dana saja makanya dicetak demikian rupa, kalau nggak punya ya kami fotokopi lagi atau bahkan dalam format pdf dan itu tidak mengurangi sedikitpun kebanggaan dan kesungguhan kami menerbitkan Hysteria.

Kadang aku merasa Propaganda Hysteria itu ya sama halnya seperti buku harian kami. Karenanya kami mudah mengingat kejadian masa lampau dan berefleksi. Setidaknya jika suatu saat kami gagal seperti yang lain-lain, orang bisa belajar dari catatan kami. Sedih sekali di Semarang, jangankan keberhasilan, kegagalan saja susah dipelajari karena minimnya tradisi menulis. Setidaknya menulis atau merekamlah untuk kebutuhan kita terlebih dulu. Prinsip-prinsip itulah yang kami adopsi dari semangat zine. Bahwa apa yang kami bikin tidak seideal zine maker lain, bukanlah sebuah masalah karena bukan standar kaku itu yang kami inginkan.




8. Sebentar lagi merayakan ulang tahun dan apakah rencana Hysteria sebagai bentuk selebrasinya? Membuat semacam zine fest, mungkin? 

Belum ada, kadang-kadang program diciptakan secara spontan saja. Rencana awal tumpengan doang, tapi semisal ada teman-teman mau bikin sesuatu dengan zine, kami akan sangat senang hati mendukung. Hysteria memulai koleksi zine dalam jumlah banyak itu sejak tahun 2009. Saat itu aku berburu ke beberapa kota hingga kita punya database sekitar (kurang/lebih) 600 zine dan dipamerkan dalam Stonen Mini Fest bertajuk 'Jalur Alternatif'.

Setelah itu jarang update lagi. Sedih sebenarnya dari banyaknya teman yang gabung di Hysteria nggak ada yang concern soal arsip zine, walaupun sebenarnya nggak bisa dipaksa juga sih. Kerjaan arsip kan di Semarang mah kayak sakit mental saja. Hobi yang sama sekali nggak keren. Aku berharap ada bibit-bibit baru yang bisa bersinergi dengan kami soal media alternatif seperti ini, itu harapan di ulang tahun kami ke 12 ini.

9. Semarang, ada beberapa yang menyebutnya sebagai "kuburan seni" dan sebagai salah satu yang juga berkesenian, bagaimana pendapat mas Adin?

Ya nggak apa, hahaha. Memang kenyataannya serba susah bertahan di sini. Meskipun bukan berarti nggak bisa juga sih. Kita sama-sama tahulah politik komunitas di Semarang bekerja seperti apa. Fragmentasi di mana-mana wajar, tapi sayang, kita masih jarang bisa meredam subyektivitas. Kadang-kadag konflik itu juga malah jadi kontra-produktif karena berhenti sebagai rasan-rasan, bukan ekspresi artistik maupun kegiatan yang saling bersaing lebih sehat.

Sudah tak terhitung Hysteria menginisasi program-program untuk memecah kebuntuan katup informasi itu, dan juga mencoba menjelas-jelaskan tujuannya. Tapi ya begitulah prasangka dan asumsi bekerja tanpa logika sampai akhirnya kami capek sendiri. Mau memperjuangkan progam baik di akar rumput maupun di level birokrat supaya terjadi percepatan perubahan juga rasa-rasanya susah banget. Aku bertemu dengan banyak orang mulai dari yang di dalam sistem, terlibat sistem, menentang sistem dan banyak hal lainnya, tapi gerakan-gerakan itu sifatnya sporadis. Jadi susah untuk melakukan hal yang sifatnya massif.

Anyway, aku sendiri sudah nggak terlalu memikirkan itu sih. Jatiwangi Art Factory, Teater Satu Lampung, adalah contoh-contoh komunal yang menarik karena mereka tumbuh dan survive di lahan yang sama sekali miskin infrastruktur. Aku pikir kelompok-kelompok komunitas bisa belajar dari mereka. Kalau mau perubahan yang massif, ya kita ngomongnya struktur, infrastruktur dan suprastruktur juga. Itu lebih komprehensif. Pertanyaannya, apa ada yang mau? Biasanya pada nggak mau sih, paling jadi omongan nasi kucing doang. Ya sudah, kita melakukannya dalam skala-skala yang masih mungkin saja.

Satu lagi, yang 'menyelamatkan' kami, yakni jaringan yang kami rintis bertahun dari berbagai kota. Itulah pemasok energi tak habis habis. Juga teman teman yang serba terbatas, sedikit namun loyal. Itu yang selama ini membuat program kami tak pernah sepi.

10. Selain tentu saja komunikasi yang aktif, bisa menceritakan sedikit resep-resep mas Adin dalam membangun jejaring yang akhirnya bisa menjadi kuat dan solid hingga sekarang?

Sering main sih. Kebetulan saya orangnya analog. Punya Iphone kayak dumb phone, nggak paham. Makanya saya lebih sering berkunjung ke teman-teman baik di Jogja, Bandung, Jakarta, Surakarta, kota kota pesisir dan lain-lain. Sisanya ya memanfaatkan media sosial. Oh iya, penting juga untuk update isu dan pengetahuan jadi kalau ketemu orang tetep bisa nyambung, konsistensi dan sikap yang ramah membuat orang respek sekaligus nyaman. Itulah yang membuat di banyak pergaulan, kami baik baik saja, terutama dengan jaringan luar kota. Kalau Semarang aku nggak tahu ya, terlalu banyak 'politik lokal' hahaha.

Aku selalu bilang ke teman teman di Hysteria, kalau ada tamu, harus diperlakukan sebaik-baiknya. Jika ada komplain orang main nggak 'diuwongke' pasti aku tegur. Karena Hysteria mulai dari awal, modal utama kami ya keramahan. Jika ada yang merasa tidak diterima pas main di Hysteria, aku pasti jadi orang yang pertama akan protes. Kecuali, emang tamunya yang nggak beres, baru deh bisa diperlakukan sesuai sikapnya. Biasanya orang-orang Semarang kalau ke luar kota kadang juga minder, nggak berani kenalan dan lain-lain, itu yang juga saya benci. Makanya kalau ke luar kota pasti aku paksa mereka kenalan, pun jika dicuekin, ya harus diterima saja. Dijalin terus hubungan itu entah mereka terima atau tidak, pasti masih ada orang-orang baik yang bisa diajak berteman.

11. Menurut mas Adin, apa yang urgen harus diupayakan oleh para pegiat komunitas di kota ini demi menciptakan kehidupan berkomunitas yang sehat, aktif dan apresiatif serta progressif?

Jujur, aku sudah tak punya tips deh. Kebanyakan, teori dan kiat-kiat malah makin bikin pusing saja. Aku kira orang-orang juga sudah tahu persoalannya di mana, tinggal mereka mau jujur dan fair apa tidak. Lalu mengesampingkan ego untuk beberapa hal yang memang jadi kebutuhan bersama. Kayak kami ini, mana ada sekarang akun sosmed atas nama kota yang share acara kami? Nggak ada. Itu tidak fair. Kalau ada acara saja pasti kami share dan arsip posternya, tapi acara kami tidak pernah lagi dishare mereka.

Aku nggak bakal mengutuk 'boikot' ini lagi sih. Sudah capek dengan aksi kekanakan seperti ini. Jadi ya diraba sendiri deh kira-kira bagaimana membuat hal ini kondusif. Ini aku buka supaya generasi di bawahku terutama, tahu bahwa Semarang memang kadang tidak masuk akal para pelakunya dan itu semua kadang membuat para perintis ini capek lalu berhenti. Nah celakanya, kadang orang-orang yang 'menyerah' ini akhirnya juga memandang sinis dan nyinyir usaha generasi di bawahnya. Jadinya saling menjatuhkan, bukannya saling sokong. Alih-alih mencari rumusan bersama dan memperbaiki strategi komunikasi yang melelahkan, sekarang aku lebih fokus bekerja dengan teman-teman yang mau saja dan masih bisa berpikir sehat. Sisanya kita serahkan pada waktu, toh kelak orang akan menilai apa yang kita lakukan hari ini.


12. Saya dengar ada rencana untuk membukukan puisi-puisi yang mas Adin buat. Bisa bercerita sedikit tentang rencana tersebut?

Iya, ada. Itu puisi-puisi yang aku pilih ulang sejak dianggit tahun 2004 lalu hingga sekarang. Tahun depan rencananya dan ingin mengajak teman-teman dari visual atau musik untuk kolaborasi bersama. Rencananya berjudul 'Lobang Pertama'. Garis besar idenya adalah jarak antara idealitas dan realita, tegangan, hal-hal yang tak tergapai, hutang, maut, dan yang semacam itu. Nyaris benang merah puisi-puisiku berisi  hal-hal yang sifatnya depresif. Berkebalikan dengan seluruh aktivitas yang kami lakukan di Hysteria.

Jadi ini seperti paradoks dari upaya-upaya massif keterlibatanku di Hysteria untuk membangun program sih. Jadi nanti teks ini adalah menjadi pengantar untuk masuk ide yang lebih general. Aku nggak ingin menjadi pusat, tetapi sebagai pemantik dari kerja kolaborasi dengan teman-teman lainnya untuk memikirkan tema yang sama. Kira-kira gambaran singkatnya seperti itu. Lagian bertahun aktif di kesenian nyaris menjadi pelayan orang, bolehlah kali ini memberi kesempatan merayakan diri sendiri meski sejenak hehe. Tapi sekali lagi, ini tidak tentang diriku yang cerewet, tetapi sebagai pemantik untuk memikirkan persoalan-persoalan filosofis lainnya melalui puisi dan karya seni lainnya.

13. Beberapa buku yang dibaca belakangan ini?

Aku sedang baca bukunya Jane Jacobs, bagus tuh soal pandangan-pandangan beliau tentang kota. Tentu saja juga buku-buku antropologi, karena memang lagi studi itu.

14. Lagu yang terakhir kali dinyanyikan ketika sendirian?

Belakangan lagi suka dengerin Oh Wonder, kadang-kadang Moderat. Aku tidak begitu hapal lagu lagu, tapi suka mendengarkan dan cepat bosan, haha. Kalau terakhir menjelang tidur, Apparat bagus tuh yang 'You Dont Know Me' sedih banget mendengarnya :D

15. Ok mas Adin, terima kasih banyak untuk waktu dan kesediaannya berbagi dengan Kaum Kera zine. Sangat ditunggu kiprah dan karya-karya selanjutnya dan silahkan menyampaikan sesuatu apapun itu untuk mengakhiri wawancara ini. 

Penting untuk mengingat bahwa kita melakukan sesuatu demi diri kita dulu. Bikin nyaman sama diri kita, baru pikir orang lain. Mungkin terdengar seperti self defense, tapi bagaimana membangun kedirian terlebih dahulu itu sangat penting. Satu hal lagi, biasanya yang kami tekankan di Hysteria yakni semboyan 'Kalau bisa dikerjakan sendirian kenapa dilakukan berombongan, karena kami bukan gerombolan'. Itu penting supaya teman teman biasa membuat program mandiri seperti sistem sel, itu juga yang membuat program kami beragam dan tidak habis-habis, karena nyaris tiap orang bisa memegang minimal satu project secara mandiri. Kalau pas programnya besar, semua ditarik untuk jadi kerja tim.

Tentu saja tidak harus seperti kami, karena sekali lagi yang perlu diingat, bikinlah sesuatu sesuai kemauan, kebutuhan dan tentu saja kemampuan. Tidak usah ngoyoworo untuk membuktikan sesuatu. Pembuktian-pembuktian itu hanya menyiksa diri sendiri, kerjakan saja karena kita ingin mengerjakan dan dilakukan semampunya. Terima kasih atas kesempatan yang sudah diberikan, jika ada yang tersinggung, tidak dimaafkan juga tak apa, hehe.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Panjang Lebar Bersama Afriyandi Wibisono

Masih jarang saya menemukan anak muda yang mempunyai semangat besar untuk menulis. Kebisaan menulis, disertai ketertarikan besar membangun media, sudah pasti memberi kontribusi besar terhadap komunitas, apapun itu bentuk komunitasnya. Menulis, akhirnya melahirkan eksekusi final berupa karya tulis, dan karya tulis akhirnya memberi kontribusi besar terhadap gerakan literasi. Gerakan literasi adalah yang hal penting ketika zaman mulai berjalan dalam koridor yang penuh dengan kebohongan. Ketika seseorang terliterasi dengan baik, maka seseorang akan lebih peka ketika ada sesuatu yang bersifat tidak beres terjadi di sekitar mereka. Dan kemudian saya berkenalan dengan seorang teman baru, Afriyandi Wibisono, salah seorang yang terlibat aktif dalam salah satu kanal media independen krusial di kota ini, Semarang on Fire. Dia salah satu yang juga aktif menulis dan mempunyai kemauan besar untuk mengasah kemampuannya dalam bidang jurnalistik. Sebenarnya sudah lama ingin melakukan sesi interview dengannya, dan akhirnya baru sekarang tersampaikan. Berikut obrolan kami, silahkan disimak, semoga menginspirasi.


1. Dari Semarang bawah ke Semarang atas masih macet karena arus balik mudik Lebaran. Bagaimana kabar kamu mas Afri?

Kabar baik, sangat baik. Beberapa minggu menjelang lebaran cukup disibukan dengan rutinitas kantor. Yang lainnya seperti biasa; membuat jurnal, resensi, dan artikel-artikel yang saya muat ke dalam web Semarang On Fire. Datang ke sebuah gigs, mengamati laju skena dan berbagai macam proses kreatif yang berjalan di kota Semarang melalui konteks kultural, sudah menjadi kecintaan tersendiri. Oh iya, saat ini saya juga disibukan dengan aktivitas perniagaan record distribution bernama Vitus. Lumayan, untuk menambah uang jajan.

2. Komunitas musik di Semarang, generasi silih berganti. Banyak yang lama pergi dan tidak kembali, beberapa ada yang tetap bertahan dan menemani yang muda datang dengan enerji yang juga mumpuni. Bisa berpendapat sedikit mengenai komunitas musik di kota ini, mas? 

Ini adalah hal yang telah lama merebut atensi saya. Setelah beberapa tahun lalu pindah menetap di Semarang, perkembangan kultur khususnya di ranah musik menjadi rubrik yang rutin saya ikuti. Saya terlanjur jatuh cinta dengan segala yang terjadi di Semarang, dan dalam hal musik di sini saya melihatnya sebagai suatu hal yang sangat potensial dimiliki oleh Ibukota Jawa Tengah, yang tentu memiliki talenta berpotensi lainnya di luar kota.

Melihat dinamika yang terjadi pada komunitas musik di Semarang, semenjak mulai mengenalnya hingga saat ini, banyak hal yang sangat disayangkan. Disamping memiliki potensi, melalui pengamatan yang saya lakukan dengan melihat faktor secara ekonomi, saya menyimpulkan secara pribadi bahwa yang terjadi pada banyak kasus di komunitas ini adalah munculnya talenta-talenta berbakat lalu sinarnya lenyap yang disebabkan oleh kesibukan tiap personil.

Singkatnya, tingkat apresiasi dan minat pada konteks sub-kultur di Semarang yang sangat rendah mengakibatkan para pelaku musik dari lintas genre ini kehilangan gairah untuk bertahan di jalur musik tersebut karena keterpaksaan mereka mencukupi kebutuhan hidup atau dengan kata lain memiliki pekerjaan formal sebagai penopang utamanya. Kebutuhan hidup tersebut mungkin tidak akan terpenuhi ketika para musisi ini hanya manggung dan membuat album musik. Sampai sana saya cemas, bagaimana dengan yang akan terjadi pada talenta-talenta baru berikutnya ? Syukur, masih ada beberapa yang memiliki enerji untuk dibagikan. Para pelaku ini yang mulai saya amati dari proses penggarapan materi dan attitude yang dimiliki. Harapannya adalah mereka-mereka ini yang akan berkiprah membawa nama Semarang khususnya di ranah musik.

3. Apakah jalur bermusik independen tidak bisa menjadi basis ekonomi alternatif kalau menurut mas Afri? Mengingat sebenarnya banyak kegiatan yang terkait dengan ranah budaya anak muda yang satu ini. Gig, rilisan, produksi merchandise, dan bahkan media sebagai contohnya.

Sebenarnya bisa, jika kita melihat dari kota-kota yang pergerakan skenanya lebih cepat. Namun saya sendiri belum begitu yakin tentang menciptakan basis ekonomi alternatif sekaligus kreatif untuk ranah musik Semarang. Alasannya, seperti yang telah saya jelaskan tadi. Bahwa tingkat apresiasi yang belum mumpuni menyebabkan beberapa pelaku musik harus berani merugi atas produksi karya yang mereka ciptakan, meski sebenarnya itu juga salah satu resiko menjalani karir di jalur independen.

Yang sejauh ini saya lihat dari tiap komunitas musik di Semarang adalah, pada aktivitas produksi rilisan dan merchandise baru sebatas menampilkan eksistensi bermusik mereka sekaligus menancapkan tombak diskografi untuk skenanya. Selebihnya adalah bagaimana cara mengembalikan modal produksi atau jika lebih disimpan untuk modal produksi selanjutnya. Belum ada keuntungan yang bisa dicapai (apabila dalam konteks perbincangan ini mengarah pada apa yang bisa dihasilkan selain untuk perputaran produksi) pada tahap ini, semua akan kembali pada budaya dan dampak yang diberikan dari para pelaku seni khususnya musik untuk menciptakan lingkungan yang apresiatif.

Untuk itu terciptalah aktivitas-aktivitas lain yang berkaitan pada ranah budaya tersebut untuk membantu para pelaku musik di Semarang mendapat atensi publik, atau minimal terdengar pada komunitas sub-kultur lainnya yaitu melalui media dan gerakan literasi seperti Kaum Kera ini. Menurut saya pribadi, kondisi Semarang saat ini sedang merangkak untuk kembali menciptakan lingkungan yang cocok sebagai tempat tumbuh kembang bagi para pelaku musik, agar diterima oleh masyarakat. Barulah gerakan untuk menciptakan basis ekonomi alternatif bisa terlaksana.

4. Selain melalui jalur media dan gerakan literasi, menurut mas Afri, apa yang seharusnya dilakukan oleh para penggiat komunitas di kota ini untuk menciptakan budaya dan lingkungan yang apresiatif? Ketika sebenarnya banyak juga yang mengakui bahwa sebenarnya karya-karya dari kota ini mempunyai kualitas yang juga mumpuni.

Betul, banyak cara yang bisa dilakukan selain menggunakan media dan literasi. Cara yang paling tradisional adalah memperluas jaringan, memperlebar komunikasi dengan publik melalui akun-akun media sosial. Kemudahan komunikasi di era globalisasi saat ini turut membantu para pelaku musik untuk mempromosikan karyanya, disamping memiliki resiko yang lebih besar terkait hal yang merugikan. Namun untuk sebuah langkah awal, mengenalkan materi pada publik secara masif dapat meningkatkan rasa penasaran publik terhadap potensi yang pelaku musik ini miliki, maka atensi dan antusias publik terhadap pergerakan ini akan semakin besar.

Tentunya cara ini harus dibarengi dengan edukasi agar dikemudian hari kita tidak menemui kasus-kasus seperti pembajakan misalnya. Mengedukasi publik tentang bagaimana jalannya proses kreatif hingga menghasilkan sebuah karya yang riil tidak hanya untuk menambah pengetahuan mereka tentang pentingnya sebuah karya rilisan, namun juga mengajarkan tentang arti menghargai, dari sinilah akan tercipta lingkungan kondusif untuk berdikari di kota sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa potensi musik yang kita miliki saat ini (bisa dibilang) setara atau bahkan lebih baik dari musik-musik indie populer saat ini. Namun apabila kota atau skena yang kita diami saat ini tidak atau bahkan belum mampu mengapresiasi lebih jauh, tidak ada salahnya untuk berani melempar diri keluar lingkungan tersebut. Yang berarti para pelaku musik ini harus memiliki kanal dan jejaring yang baik antar skena di luar kota untuk mau menampungnya. Lalu apakah lantas hal ini membuat para pelaku musik tersebut diapresiasi publik ? Semua kembali pada bagaimana cara pelaku musik ini berjejaring.

5. Mas Afri adalah salah satu yang aktif di Semarang on Fire, bisa berbagi latar belakang ceritanya bisa bergabung dengan mereka? Apa tujuan mas Afri sendiri bergabung dengan Semarang on Fire?

Awal bergabung dengan Semarang On Fire cukup sederhana. Karena hobi saya sering datang ke gigs, mendokumentasi acara untuk arsip pribadi dan mempublikasikannya lewat media sosial, akhirnya saya resmi direkrut oleh Mas Garna, yang merupakan salah satu pendiri media alternatif tersebut.

Pada waktu itu (2015), Semarang On Fire baru hidup kembali setelah masa vakum di sekitaran tahun 2009, dan misinya saat hidup kembali ini adalah sebagai corong aktivitas yang berkaitan dengan seni dan pergerakan independen. Makin kesini, ideal dan misi sudah terstruktur, tidak hanya sebagai media, pula Semarang On Fire ikut bergerak mengkoordinir gigs baik dari teman-teman di dalam maupun luar kota. Sayang sekali Semarang On Fire kekurangan kontributor terutama pada lini redaksi, dan sejauh ini saya dipercaya sebagai penanggung jawab sekaligus redaktur. Cukup berat, terutama setelah 2 orang yang berada di dalam tubuh Semarang On Fire yakni Adit Mada dan Sebastian Gary mulai sibuk dengan proyek pribadi mereka, kemudian disusul dengan keberangkatan Mas Garna ke Amerika, saya harus membagi waktu untuk menyempatkan diri terjun ke dalam pergerakan skena. Sangat menyenangkan!

Tidak ada tujuan khusus. Apa yang saya lakukan selama ini terutama di Semarang On Fire adalah murni kesenangan semata. Saya senang mendokumentasikan apa yang saya suka, menulis apa yang ingin saya tulis, dan yang terpenting untuk membagi apa yang harus diketahui orang lain. Selebihnya adalah dasar dari Semarang On Fire sendiri sebagai media pengarsipan segala aktivitas skena di Semarang dan 'mengompori' anak-anak muda kreatif lainnya untuk berkarya.

6. Begitu banyak karya musik dari kota ini yang di eksekusi dalam bentuk rilisan fisik. Ada beberapa yang menurut mas Afri patut menjadi rekomendasi?

Wah, banyak sekali. Seperti yang sudah saya tulis di atas bahwa Semarang memiliki band/musisi potensial dengan karya yang menarik dan saya akan merekomendasikan beberapa album musik terbaru dari teman-teman di Semarang yang menurut saya wajib didengarkan:

Moiss: Subtitute (EP)
Ini adalah album kedua trio shoegaze yang terdiri dari M. Rifqi (Vokal/Gitar), Icad (Bass), dan Hari Candra pada drum. Dalam album ini, Moiss lebih berani menampilkan sound-sound yang fuzzy dibalut komposisi rock yang minimalis. Subtitute berisikan materi dengan lirik dan tema yang lebih ceria dibandingkan album sebelumnya yang terkesan gelap dan mengambang. Album ini dirilis kedalam format kaset melalui label rekaman asal Solo, Hema Records. Konon, album yang dicetak sebanyak 100 buah untuk 2 versinya sudah sold out !

Harvest: Happiness And The Effort (EP)
Album milik unit Hardcore asal Semarang, Harvest, cukup menyita perhatian saya. Jujur untuk seorang yang juga bergaul di lingkup Hardcore/Punk, saya kekurangan referensi atau jika dilihat saat ini kebanyakan musik hardcore yang dimainkan terlalu membosankan dengan komposisi instrumen dan beatdown. Namun yang satu ini, album dengan komposisi materi paling segar yang pernah saya dengar. Bisa jadi saya yang kampungan karena jarang mendengar musik seperti Comeback Kid, Stretch Armstrong, atau Have Heart, dan Harvest adalah salah satu yang memberi referensi musik semacam ini. Riff yang mewah, fill gitar yang variatif, cukup membuat saya terkesima meski lirik-lirik dalam album tersebut masih meleset disebabkan penggunaan grammar bahasa inggris yang minim.

AK//47: Verba Volant, Scripta Manent (Full-length)
Perlu saya jelaskan ?

Selain ketiga album yang saya rekomendasikan diatas, masih banyak karya yang saya suka baik berbentuk album maupun single dari band/musisi anyar di Semarang, juga rilisan-rilisan baru dan lawas yang patut diapresiasi.

7. Venue, dalam komunitas musik adalah salah satu infrastruktur penting yang cukup vital. Dan mungkin di Semarang kendala masalah venue cukup pelik. Ada beberapa venue lama yang sekarang masih bertahan, ada pula venue baru yang muncul dengan berbagai problematikanya masing-masing. Pendapat mas Afri sendiri tentang masalah venue bagi pergerakan komunitas musik di Semarang?

Yang ini menjadi salah satu perhatian saya berkaitan dengan pra-sarana. Semarang sebagai salah kota besar dengan hiruk pikuk duniawi, pasti menyediakan banyak fasilitas-fasilitas hiburan baik yang dibangun baik oleh pemerintah ataupun swasta. Menurut saya ini sangat baik, mengingat makin banyaknya alternatif space sebagai tempat penyelenggaraan acara. Dimudahkan dalam perizinan oleh aparat, sewa tempat dengan biaya murah (bahkan ada yang masih menggunakan sharing ticket), sound system yang lengkap, Semarang merupakan kota dengan infrastruktur yang memadai untuk komunitas musik khususnya di ranah independen. Namun ini yang menjadikan mental orang-orangya sedikit manja dibanding kota-kota lain tak jauh di sebelahnya.

Kendal adalah salah satu contoh kota dengan fasilitas venue yang kurang (atau bahkan tidak) variatif mengingat hanya ada beberapa tempat salah satunya GOR Bahurekso sebagai rujukan penyelenggaraan acara. Dengan sulitnya perizinan serta biaya sewa tempat yang teramat tinggi, memaksa kawan-kawan pelaku skena kota Kendal menjadi lebih disiplin dalam mengorganisir sebuah helatan secara masif dengan antusiasme penonton yang sangat ramai. Bagi saya Semarang adalah tempat ternyaman untuk mendirikan sebuah acara dengan berbagai pilihan venue. Yang jadi masalah adalah ketika kawan-kawan di Semarang belum bijaksana untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia hingga akhirnya menjadi mubazir.

8. Menurut mas Afri, bagaimana pengambilan sikap yang bijak dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang ada dalam kota ini  supaya tidak mubazir?

Menurut saya, bijak dalam memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota ini lebih mengarah ke tiap komunitas-komunitas ataupun pelaku skena agar konsisten terhadap penyelenggaraan acara baik musik atau apapun agar ruang-ruang ini tidak terbengkalai begitu saja. Sangat disayangkan apabila kota ini memiliki fasilitas yang lebih variatif namun tidak mampu menghasilkan pergerakan khususnya sebuah acara karena alasan 'tidak mampu bayar sewa tempat'. Yang saya amati, mungkin karena di kota ini kekurangan orang-orang yang mampu bekerja secara masif, sehingga beberapa orang yang berkeinginan untuk bergerak tidak mampu apabila dijalankan seorang diri.

Terlebih, selain menghindari fasilitas yang mubazir, kita dituntut untuk bisa merawat ruang-ruang alternatif yang ada saat ini agar tetap bertahan di kemudian hari. Menjaga aset-aset di dalam venue, menjaga agar suasana tetap kondusif dan menyenangkan saat menyelenggarakan acara, serta menjaga silaturahmi antar pemilik/penjaga venue tersebut supaya tidak terjadi konflik juga cara bijak untuk merawat fasilitas-fasilitas kota terutama sebuah venue acara. Mutualisme antara pelaku skena baik si penyelenggara dengan empunya venue harus terjadi dalam konteks merawat fasilitas, supaya tidak timbul permasalahan yang merugikan sebelah pihak kelak.

9. Mas Afri juga salah satu yang aktif dalam pengelolaan sebuah event. Ada konsep event yang menarik dekat-dekat ini?

Beberapa minggu terakhir saya menyelenggarakan sebuah acara dengan konsep acara yang menonjolkan pentolan-pentolan musik riff tebal. Judul acaranya Heavy Party. Waktu itu berkonjungsi dengan agenda tur teman-teman dari Medan, Syuthay, bertajuk Gaung Tandang Tour 2016. Heavy karena yang bermain disini adalah mereka yang mengusung jenis musik stoner yang pastinya kental riff berat dan tempo sedang, sehingga kita dipaksa untuk teler sambil terus menganggukan kepala, haha. Sejauh ini di Semarang, baru beberapa event saja yang benar-benar memiliki konsep yang menarik seperti Atlas Room: Gigs Geek, Pure Metal Fest, Semarang bernyanyi Bersama, dan yang menjadi rujukan saya dalam membuat sebuah acara, Ruru Radio: Radio Of Rock.

Acara-acara tersebut saya lihat berpotensi besar menjadi poros penyelenggaraan event, meski beberapa diorganisir oleh rokok. Namun kita bisa meniru dan memodifikasi konsep acara-acara tersebut untuk disesuaikan kedalam acara yang akan kita buat. Yang sering terjadi, di Semarang sendiri penyelenggaraan acara belum memikirkan konsep acara secara matang, terutama musik. Seringnya, hingga saat ini acara-acara musik hanya mengedepankan sifat hedonis ketimbang konsep matang sehingga akan berimbas pada rekam jejak pergerakan skena.

10. Terlibat dalam Semarang on Fire yang notabene adalah salah satu pilar media independen di kota ini, adakah rencana untuk menerbitkan media yang lebih personal seperti zine misalnya?

Jujur saya bukan orang yang cepat merasa puas, jika sesuatunya tidak sesuai dengan yang saya inginkan saya akan menciptakan suatu hal yang baru lagi. Sama seperti Semarang On Fire yang memiliki standar dan struktur literasi tersendiri, saya pun merasa di Semarang On Fire masih belum cukup untuk mengeksplorasi keinginan dan uneg-uneg dengan cara saya sendiri. Sebenarnya saya telah menyiapkan proyek literatur dengan konten yang benar-benar di luar disiplin Semarang On Fire, medianya masih berbentuk zine dan dicetak.

Beberapa materi telah saya tulis dan kumpulkan, namun sangat disayangkan, kesibukan saya bekerja saat ini juga menjalankan Semarang On Fire dalam menerbitkan artikel, mengorganisir acara, terlebih saat ini saya turut membantu label dan ditribusi rekaman Vitus Record, mengurungkan niat saya untuk mengolah lebih jauh proyek-proyek pribadi saya. Saya takut jika hal ini terus terjadi saya akan jenuh dan hilang seperti halnya para pelaku skena dahulu lakukan. Beruntung, saya memiliki sahabat-sahabat yang membantu saya untuk berpikir progresif, kritis, dan terus membakar gairah saya dalam melakukan sesuatu baik untuk Semarang atau apapun, salah satunya dengan yang dilakukan teman-teman kolektif Kaum Kera ini. Saya sangat berterima kasih telah banyak membantu dan mengajarkan saya banyak hal.

11. Ada rencana untuk terlibat dalam sebuah band?

Aha, sebagai anak skena yang mana lingkungannya sudah pasti di ranah musik, tentunya ingin. Melihat teman-teman saya berteriak lantang melantunkan baris-baris lirik nan provokatif, memutuskan senar gitar karena terlalu cepat melakukan sweeping chord, atau yang dengan santai melompat dari panggung, membuat saya ingin melakukan hal yang sama juga. Ah, seperti apa yang saya tulis tadi, bahwa waktu saya benar-benar habis untuk mengabdi pada skena dan bekerja, pun saya tak terlalu paham dengan musik, sound system, bahkan saya tidak pandai bermain gitar.

Namun beberapa hari lalu, teman saya Gagas (Provokata) mengajak saya untuk membuat sebuah side-project band, saya mendapat porsi untuk membuat lirik. Semoga yang ini berjalan lancar, doakan.

12. Buku-buku atau literatur apapun yang terakhir dibaca?

Ini pengakuan yang mungkin agak memalukan bagi saya. Meski berada di lingkungan literasi, jujur saya tidak terlalu tertarik pada literatur terutama buku. Disamping jarang memiliki waktu senggang, saya sendiri jarang sekali membaca, apalagi membaca buku yang tebal. Pun saya tidak memiliki referensi untuk memilih buku bacaan. Saya biasanya lebih suka mendengarkan lagu, membaca lirik-liriknya, ulasan band, dan artikel singkat.

Hingga akhirnya sempat disodori bacaan yakni dua buah karya penulis/jurnalis asal Bandung, Zaky Yamani. Buku-buku itu berjudul "Kehausan Di Ladang Air" dan "Bandar", kedua buku ini berhasil merenggut atensi saya untuk membaca terutama setelah disodori oleh teman saya, Manusia Kera. Buku yang pertama tidak terlalu tebal, isinya tegas, aktual, dan mematikan, sama seperi Grindcore. Sial, berkat bacaan yang pertama kemudian saya malah penasaran dengan karya berikutnya yang ternyata tak kalah menarik.

Setelah itu saya tergugah untuk meliterasi diri saya sedikit demi sedikit dengan membaca artikel-artikel di laman website seperti Whiteboard Journal, Jakarta Beat, dan yang selalu saya nantikan artikel terbarunya, yakni IndoProgress. Referensi web terbaik bagi orang-orang macam saya yang malas membaca naskah panjang.

13. Lagu yang terakhir kali dinyanyikan ketika sendirian?

The Misfits - Saturday Night.

14. Ok, thanks mas Afri atas kesediaan waktunya untuk berbagi dengan Kaum Kera zine. Silahkan menyampaikan apapun itu untuk mengakhiri interview ini. Salam sayang untuk kekasih hati mungkin. :)

Jangan lelah, sebab masih banyak yang harus dilakukan untuk membenahi lingkungan, khususnya segala aktivitas di ranah independen kota Semarang saat ini. Lakukan syukur jika dapat dilaksanakan secara terorganisir dan masif, namun jika tidak memungkinkan, melakukan hal kecil secara konsisten dapat berdampak besar dikemudian hari. Kita tidak tahu apakah nanti kita akan berhasil dengan semua jerih payah yang kita bangun demi menciptakan ruang lingkup yang dinamis, namun saya masih memiliki banyak harapan untuk kota ini.

Demi mewujudkan harapan-harapan tersebut kita dapat bersama-sama belajar dan mengajarkan satu sama lain agar terciptanya ranah yang aktif, edukatif dan progressif. Terakhir saya akan mengutip sebuah ucapan dari Muhamad Ramdan, salah seorang tim produksi film Epic Java pada bagian Behind The Scene yang berbunyi "Jangan menunggu semuanya sempurna. Mulai dari sekarang, agar hasilnya sempurna." Salam.