Kamis, 12 Mei 2016

Ngobrol Ngalor Ngidul bersama Riska Farasonalia

Salah satu yang lumayan terlibat  aktif dalam pergerakan perempuan di Semarang, juga aktif bermusik dengan beberapa music project-nya, sedikit banyak publik Semarang cukup mengenal sosoknya melalui karya-karya seni dan berbagai aksi aktivisme-nya. Dia juga salah satu yang menyediakan diri untuk membantu mengelola Kaum Kera Infoshop. Sebenarnya sudah lama ingin mengadakan sesi wawancara dengannya untuk dimuat di Kaum Kera Zine, dan baru sekarang tersampaikan. Silahkan simak obrolan kami berikut ini, semoga menginspirasi.



1. Musim hujan hampir berakhir dan Semarang memang semakin panas. Bagaimana kabarnya mbak Riska?

Kabar baik. Selain agak sibuk mengelola distribusi produk brand art project saya, Riska!Riska! juga sedang membantu distribusi rilisan E.P. Dead Alley "Minima Moralia". Oh iya, saya juga salah satu volunteer yang ikut mengelola Kaum Kera Infoshop. Jika ada teman-teman, siapapun kalian, yang membutuhkan ruang alternatif untuk pameran karya, bedah buku, klab membaca, diskusi, workshop, screening film atau kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya, kami akan sangat senang sekali jika bisa membantu.

2. Mbak Riska adalah salah satu pendatang dari kota lain yang akhirnya memilih untuk berkegiatan di kota ini, Semarang. Bisa bercerita sedikit tentang segala apapun mengenai kota tersebut, mbak?

Semarang adalah kota pesisir dengan cuaca yang cenderung panas, tapi bagian kota atas yang dekat dengan pegunungan, berhawa lumayan sejuk. Kota ini adalah kota yang lumayan dinamis dengan hiruk-pikuk berbagai budaya anak muda. Ramai pula karya-karya dalam berbagai bentuk yang dihasilkan. Yang akhirnya menjadi keprihatinan tersendiri adalah, karya-karya dari kota ini, kebanyakan, kurang berhasil menggapai apresiasi dari lingkup audiens yang lebih luas.

Akhirnya saya mencoba menganalisa, sebenarnya ada permasalahan apa dengan kota ini. Kemudian saya sampai pada kesimpulan, ini sifatnya kesimpulan pribadi, bahwa para pelaku komunitas di kota ini jarang ada kemauan atau insiasi untuk saling berjejaring. Padahal berjejaring, biasanya, akan menghasilkan kebiasaan untuk saling mendukung diantara pelakunya. Apalagi, menurut apa yang saya lihat, suhu kompetisi di kota ini sangat kencang. Sayapun kemudian menyetujui perkataan seorang teman, bahwa apapun yang dibangun atas dasar kompetisi, akan menemukan keruntuhannya. Solusinya? Membudayakan apa yang dulu orang-orang bilang kebersamaan. Hal tersebut pelan-pelan akan menjadi budaya terbentuknya lingkaran-lingkaran support community system. Dengan membiasakan diri, kita akhirnya akan terbudayakan untuk saling mendukung dan mengapresiasi karya-karya yang teman kita hasilkan.

Oh iya, satu hal yang juga sangat penting adalah, media. Kota ini butuh dan perlu untuk memperbanyak kuantitas dan kualitas media independen-nya, entah itu dalam bentuk fisik maupun digital. Salah satu sebab kenapa karya-karya dari kota ini jarang mendapat perhatian adalah karena kurangnya media-media lokal yang sebenarnya sangat berpotensi membuat sebuah karya bisa terdongkrak porsi atensinya.

3. Apa yang menyebabkan jarangnya kesadaran untuk berjejaring antar penggiat komunitas di sini kalau menurut mbak Riska?

Sekali lagi, itu kesimpulan saya pribadi. Jadi bisa saja, kesimpulan saya salah. Tapi begini, saya melihat pola pergerakan komunitas di kota lain, dan yang saya lihat adalah kesadaran untuk bekerja-sama demi mendukung karya-karya tersebut hingga naik ke permukaan. Dan yang terjadi kemudian, orang-orang yang mengapresiasi karya-karya tersebut akan tertarik juga untuk mengapresiasi karya-karya lain dari kota yang sama. Demikianlah support community system tersebut terbentuk. Walaupun tentu saja, pasti akan ada juga benturan-benturan dan berbagai adu argumen demi matangnya sebuah cara penerapan yang baik. Itulah proses, seperti apapun, kita pasti harus menjalaninya karena tidak ada yang serba serta-merta.

Dengan melihat pola yang diterapkan dari kota lain, sebenarnya kita bisa mengambil banyak pelajaran. Walaupun kita tidak menafikkan bahwa memang setiap kota itu medannya beda, tapi paling tidak, kita bisa menemukan pola umum gerakan komunitas yang diterapkan di berbagai kota. Kemudian pelajaran-pelajaran tersebut bisa kita mulai untuk dicoba diterapkan di kota kita, tentunya dengan penyesuaian atas kondisi dan situasi.

Kemudian kembali kepada pertanyaan tentang jarangnya kesadaran untuk berjejaring antar penggiat komunitas di kota ini? Saya pikir salah satu kendala utamanya adalah jarangnya forum diskusi atau apapun itu demi mendukung komunikasi yang sehat dan terbuka di antara mereka. Iya, masalah komunikasi saya pikir adalah permasalahan utama tentang hal tersebut. Ketika budaya komunikasi tersebut sudah ada, saya pikir permasalahan-permasalahan yang kita bahas sebelumnya, sudah lama selesai di Semarang. Tapi tidak tahu ketika ada beberapa orang yang sudah merasa puas dengan pencapaian yang ada sekarang dan kemudian memandang segala hal itu baik-baik saja dan cukup sampai di situ. Saya pikir tidak, ketika kita berani untuk membandingkan diri dengan pencapaian kota-kota yang lain seperti Yogyakarta, Surakarta, Bandung dan Jakarta. Kita harus berani, barang sejenak, untuk mengakui bahwa kita ketinggalan dan kita harus mulai melakukan sesuatu apapun  itu demi mengejarnya.

4. Dan permasalahan media. Menurut mbak Riska apa yang menjadi kendala?

Media alternatif di kota ini minim. Saya tidak tahu kenapa, tapi yang jelas saya melihat bahkan kesadaran untuk membuat media sendiri di kota ini masih jarang. Apakah karena pelaku komunitasnya juga terlalu berharap dengan media arus utama atau kemalasan untuk menulis, saya kurang tahu sebabnya. Tapi fakta, media alternatif di kota ini, sangat minim.

Saya sendiri salut dengan teman-teman yang tetap berinisatif untuk membuat media sendiri demi pergerakan mereka. Semarang on Fire, Pranala Music, Buletin Hysteria dan bahkan Kaum Kera zine ini, saya pikir media-media alternatif yang sekarang ini ada pun harus tetap sering memperovokasikan tentang pentingnya membuat media sendiri. Media itu mampu mendongkrak porsi atensi karena bisa mempengaruhi massa.



5. Ok, melompat ke lain topik. Mbak Riska adalah drummer dari sebuah band fastcore bernama Dead Alley. Beberapa waktu yang lalu sempat pula tour untuk promosi mini album yang dirilis, Minima Moralia. Bisa bercerita sedikit tentang band ini?

Dead Alley adalah sebuah band yang di dominasi oleh perempuan. Ada beberapa personel laki-laki di dalamnya dan bukan berarti peran mereka tidak penting. Feminisme adalah isu dominan yang paling sering kami suarakan. Tanpa adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka perubahan dunia juga akan berjalan timpang. Kesetaraan itu erat kaitannya dengan keseimbangan, bukan tentang menang dan kalah.

Perempuan pun berhak untuk menentukan hidupnya akan seperti apa, seperti halnya para lelaki juga mempunyai hak yang sama tentang hal itu. Pola pikir yang seharusnya ditanamkan adalah bahwa perempuan itu berhak untuk mandiri, berhak untuk tidak tergantung kepada laki-laki. Para feminis ataupun pejuang pergerakan perempuan lainnya harus mulai menolak segala budaya patriarkal yang mendukung pemikiran-pemikiran yang menghambat akan perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut.

Dead Alley baru saja menyelesaikan tour ke beberapa kota untuk mempromosikan E.P. Minima Moralia yang baru saja dirilis beberapa waktu yang lalu. Senang sekali bisa berkenalan dengan kawan-kawan baru di kota lain. Selain feminisme kami juga membahas isu-isu lain demi menyebarkan ide-ide yang kami pikir berguna untuk sebuah dunia yang lebih baik. Dalam waktu dekat ini kami akan merekam album penuh kedua kami.

6. Dan di Semarang, apakah isu feminisme masih sangat relevan untuk di bahas?

Di manapun dan kapanpun, ketika budaya patriarki masih ada, isu feminisme tetap akan relevan untuk dibahas.

Di Semarang yang saya pikir pergerakan perempuannya kurang massif, budaya untuk menganggap kaum perempuan itu masih di bawah kaum laki-laki, masih sangat kental. Bahkan dalam ranah aktivisme di kota ini, isu feminisme saya pikir masih dianggap sebagai isu yang kurang penting untuk di bahas. Sayapun mengakui, disadari atau tidak, bahwa laki-laki ternyata sangat mendominasi. Mungkin dari itu pulalah saya berpikir bahwa kaum perempuan, di kota ini,  harus merevolusi pola pikir dan mental mereka terlebih dahulu sebelum kemudian keluar untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tentu saja diikuti dengan kegiatan berjejaring yang massif di antara perempuan-perempuan itu sendiri.

Ketika dunia sadar bahwa ternyata para perempuan bisa menentukan kontrol hidup mereka di tangan sendiri, pola pikir untuk cenderung meremehkan perempuan, akan hilang dengan sendirinya. Ketika kesetaraan itu tercapai, hubungan apapun itu bentuknya antara laki-laki dan perempuan, saya pikir akan berjalan lebih sehat. Oh iya, saya sangat muak dengan lagu-lagu guyon nggak mutu karya band-band lokal yang dengan gaya cengengesan seenaknya menjadikan perempuan sebagai obyek banyolan mereka.

7. Beberapa waktu lalu helatan Lady Fast di Yogyakarta yang akhirnya dibubarkan secara paksa oleh sebuah ormas. Sebagai salah satu yang ikut menghadiri acara tersebut, bagaimana pendapat mbak Riska?

Lady Fast adalah sebuah helatan menarik yang diadakan oleh Kolektif Betina. Selain sebagai ajang temu kangen antar individu yang aktif dalam kolektif tersebut, banyak agenda menarik dalam acara yang memang bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan. Kemasan acaranyapun sangat fun, serius tapi santai. Pembubaran paksa acara tersebut oleh salah satu ormas fasis intoleran, bagi saya pribadi sangat mengecewakan dan saya yakin teman-teman yang lainpun merasa sangat kecewa. Sekali lagi kami disadarkan bahwa perjuangan para perempuan masih mendapat banyak ganjalan di negeri ini.

Dalam acara tersebut, baru pertama kali dalam hidup saya, melihat bagaimana panggung musik dan lantai dansa didominasi oleh para perempuan. Bukan bermaksud apa-apa, tapi sering kali saya merasa tidak aman ketika berada di tengah crowd mosh pit yang memang rentan pelecehan. Dan acara seperti ini juga berfungsi sebagai perayaan sebuah ruang aman bagi para perempuan. Ruang aman dan nyaman bagi para perempuan ketika mengekspresikan karya atau juga ketika sedang mengapresiasi karya. Iya, ruang aman itu penting. Paling tidak ruang aman yang terbangun membantu menyadarkan orang-orang yang berada di dalamnya, entah itu laki-laki atau perempuan, untuk berpola pikir bahwa tidak ada gender yang lebih unggul daripada gender lainnya. Dengan kata lain, ruang aman tersebut membantu pemahaman tentang kesetaraan. Maka dari itu, setiap kita yang perduli akan gerakan perempuan, harus memulai untuk membangun ruang-ruang aman tersebut dimanapun kita berada.

Dan bagaimanapun budaya renta yang patriarkal dengan antek-anteknya semacam ormas fasis yang membubarkan helatan tersebut terus berusaha menghalangi, kami berjanji bahwa akan tetap ada helatan semacam Lady Fast untuk ke depannya.



8. Mbak Riska adalah salah satu yang terlibat dalam Kaum Kera Infoshop yang fokus dalam gerakan literasi. Bagaimana mbak Riska sendiri menjabarkan pentingnya gerakan literasi?

Begini, ketika kita memperhatikan sejarah bangsa di mana banyak kejahatan-kejahatan dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dan yang terjadi kemudian hanya menerima saja terhadap segala kejahatan dan ketidak-adilan tersebut, hal itu disebabkan salah satunya karena kurangnya literasi.

Ketika literasi mempunyai korelasi kuat dengan wawasan, maka seseorang yang terliterasi dengan baik tidak akan mudah terbodohi dan bahkan menjadi lebih peka untuk bereaksi ketika sebuah institusi besar semacam negara mulai dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan pribadi. Dari situ saja sudah terlihat betapa pentingnya sebuah gerakan literasi.

Literasi bisa didapatkan dimanapun dan kapanpun serta dengan cara apapun. Yang menjadi pertanyaan dasar adalah : apakah kita mau atau tidak untuk segera meliterasi diri di tengah dunia yang sudah carut marut seperti ini? Literasi erat kaitannya dengan buku atau karya berbentuk tulisan lainnya, seperti zine ini juga. Kita hanya harus menyisakan waktu dan enerji demi menumbuhkan keinginan untuk membaca. Selain menumbuhkan pemahaman akan sesuatu, aktivitas membaca juga menimbulkan dasar-dasar pengetahuan tentang menulis. Dan keinginan untuk menulis akhirnya bisa berujung menjadi sebuah karya tulis yang notabene juga mendukung gerakan literasi itu sendiri.

9. Ok, sebagai salah satu yang aktif dalam gerakan literasi, pasti mbak Riska juga membaca buku. Buku apa saja yang bisa menjadi rekomendasi?

Saya baru saja menyelesaikan dua buku yang saya dapat dari seorang teman. Kebetulan dua buku tersebut sangat membekas setelah menyelesaikan pengalaman membacanya.

1. Dari Penjara Ke Penjara karya Tan Malaka
Sebuah buku otobiografi karya Tan Malaka. Salah satu pahlawan nasional penggagas kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan akhirnya berakhir tragis di bunuh oleh tentara bangsa sendiri. Kebanyakan buku Tan yang sebelumnya saya baca, berisi pembedahan segala ide dan teorinya tentang berbagai hal seperti yang tertuang dalam Madilog ataupun Gerpolek, sementara dalam buku ini Tan Malaka lebih banyak bercerita tentang perjalanannya yang mengarungi hampir 2/3 bagian bumi. Buku ini sekaligus menyadarkan, bahwa ada tokoh dari negeri ini yang petualangan revolusinya berada pada level yang sama dengan Che Guevara. Seorang tokoh yang dibuang keluar dari negerinya dan di buru oleh intelijen beberapa negara yang merasa terancam karena sepak terjangnya. Dalam buku ini, gaya Tan Malaka bercerita, terasa sangat emosional.

2. Bilangan Fu karya Ayu Utami
Buku ini salah satu buku tebal yang membuat saya tetap betah selama membacanya. Sebuah buku cukup penting yang menyadarkan tentang siapa musuh sebenarnya dalam masyarakat post modern. Untuk sebuah buku yang mempunyai misi khusus, gaya Ayu Utami bercerita sangatlah mumpuni sehingga membuat orang yang membaca Bilangan Fu akan tergerak untuk menyelesaikannya hingga halaman terakhir. Inspirasi yang didapat setelah menyelesaikan buku ini tidak main-main karena membekali pembacanya untuk memasang kewaspadaan tentang betapa bahaya ketika tiga ideologi mengalami penerapan dalam waktu yang bersamaan dan kemudian cenderung menjadi hal yang tidak benar. Tiga ideologi tersebut, dan menurut buku ini adalah musuh-musuh terbesar dalam masyarakat post modern yaitu : Militerisme, Modernisme dan Monoteisme.

10. Lagu yang belakangan ini sering dinyayikan ketika sendirian?

Rebel Girl-nya Bikini Kill dan People Have the Power-nya Patti Smith

11. Ok mbak Riska, terima kasih atas waktunya dan sangat ditunggu karya-karya selanjutnya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan untuk menutup interview ini?

Terima kasih juga Kaum Kera atas kesediaan untuk berbagi dalam edisi ini, semoga terbit terus kedepannya. Mari sebarkan semangat untuk saling berbagi, bukan untuk saling berkompetisi. Sampai berjumpa dalam perjumpaan yang bukan maya dimanapun kita akan berjumpa. Salam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar