Rabu, 11 Mei 2016

Resensi Buku : Nyanyian Akar Rumput "Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul"

Nyanyian Akar Rumput
"Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul"


Dalam pengantar buku setebal 244 halaman ini, Almarhum Munir Said Thaib menjabarkan yang walaupun secara singkat, cukup memberi penjelasan tentang pentingnya sosok Wiji Thukul dan beratnya kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya penculikan-penculikan aktivis oleh militer di Indonesia era kejatuhan Soeharto. Bagi yang terlibat langsung dalam hiruk pikuk aksi massa demi menjatuhkan Soeharto kala itu, sosok Wiji Thukul sendiri memang sudah krusial dan ikonik. Perjuangan melawan Soeharto adalah protes terhadap pengekangan kebebasan hak bersuara dan berekspresi, ketidak-adilan dan korupsi yang terjadi hampir di seluruh sektor aparat negara, serta kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara dengan aparat militernya secara sistematis. Munir mengawali kalimat dalam pengantar buku ini, "Hanya ada satu kata : Lawan!" Sebuah jargon yang lebih dikenal banyak orang ketimbang orang yang melahirkan jargon tersebut : Wiji Thukul sendiri.

Mencermati perjalanan Wiji Thukul sendiri adalah aksi menyimak sebuah perjalanan laku samsara yang tak berkesudahan. Saya sendiri tidak berani, bahkan sekedar membayangkan, bagaimana rumitnya sebuah hidup yang kesehariannya penuh dengan kungkungan bahaya seperti yang beliau jalani. Kemiskinan dan represi adalah warna yang harus dilalui sehari-hari. Seluruh negeri yang hidup dalam ketidak-pastian, berjuang menyambung hidup hari ini dan hari esok adalah urusan nanti, karena situasi saat itu memang memaksa untuk berpola pikir seperti itu. Perjuangan berat untuk menyediakan makanan di atas meja demi keluarga, ditambah tuntutan kebutuhan lain sehari-hari dan semua itu dilalui bahkan di bawah ancaman bahaya. Wiji Thukul sangat berhasil mendokumentasikan semua gambaran tersebut dalam kumpulan puisi-puisinya. Buku ini, bagi yang mencermati, seperti layaknya buku harian yang mendokumentasikan gambaran-gambaran masa itu dan sangat penting bagi generasi sekarang yang ingin tahu di negeri seperti apa para pendahulunya dulu menjalani hidup.

Selain produsen puisi-puisi yang membakar, Wiji Thukul sendiri dalam pandangan saya adalah sosok yang sangat filosofis. "Penyair haruslah berjiwa bebas dan aktif, bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya." Dalam pengantar buku yang ditulisnya sendiri, kalimat tersebut mengawali. Sebagai sosok yang berjibaku langsung dengan kerasnya hidup kaum akar rumput masa itu, saya yakin sosok Wiji Thukul selalu penuh pertanyaan akan konsep kebenaran. Ada satu puisi dalam buku ini yang menggambarkan tentang bagaimana karena rasa lapar, manusia terpaksa memakan kucing. Hewan domestik yang di negeri ini, selain haram dalam hukum salah satu agama, memang tidak lazim menjadi bahan pangan. Tetapi rasa lapar memang bisa merubah manusia, apalagi bagi mereka yang marah karena tertindas negara sendiri. Kelaparan adalah hal yang berbahaya bukan hanya bagi nyawa, tapi juga jiwa. Kalian akan menyadarinya ketika menyaksikan sendiri betapa aneh dan tidak biasa tingkah dan pikiran tubuh yang kurang dari lima puluh persen berat badan minim yang seharusnya. Dan keberanian untuk menantang kelaparan, adalah kepahlawanan tersendiri. Wiji Thukul mampu memotret hal-hal tersebut dalam kumpulan puisinya. Jangan berharap sesuatu yang indah dalam isi puisinya, karena fakta yang menyeramkan tentang sejarah negeri ini dibuka dengan lugas di sana.

Almarhum Soeharto adalah musuh besar Wiji Thukul, siapa yang akan menyangkal hal itu? Jika Wiji Thukul tidak dianggap musuh besar, tidak mungkin Soeharto akan bersusah payah menculik dan menghilangkannya. Seorang anak tukang becak, penggiat seni dengan tubuh kurus kering, kerja serabutan dan hidup berpindah-pindah karena seringnya penggusuran oleh pihak aparat, ternyata puisi-puisinya sungguh penuh dengan provokasi. "...Kami rumput butuh tanah. Dengar! Ayo gabung ke kami biar jadi mimpi buruk presiden!" Potongan tersebut dari puisinya yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput", berisi sepenuhnya provokasi kepada mereka semua yang miskin dan tertindas oleh pemerintahan Soeharto, untuk bersatu dan melawannya. Sekedar mengingatkan, pada masa tersebut orang akan berpikir seribu kali bahkan untuk membuat karya seni dalam bentuk apapun, yang bersifat anti Soeharto. Jenderal yang selalu tampil di depan publik dengan senyum hangat kebapakkan tersebut, mampu menghilangkan nyawa seseorang semudah membalikkan tangan. Tapi bagi Wiji Thukul, mungkin penderitaan sudah hampir ujung kepala. Makan pun belum, rumah sudah digusur pula. Dan melawan Soeharto yang dianggap biang yang menyebabkan penderitaan, adalah kepahlawanan tersendiri bagi Wiji Thukul. Dia yang berani memilih jalan tersebut, dalam segala keterbatasannya, dan dalam kapasitasnya baik sebagai seorang aktivis ataupun seniman, terus terang membuat kagum dan terinspirasi.

"... jika kamu menghamba pada ketakutan kita akan memperpanjang barisan perbudakan." Baris terakhir dari puisi berjudul "Ucapkan Kata-Katamu" tersebut saya temukan dihalaman dua tujuh. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bagi saya puisi Wiji Thukul selain tentang dokumentasi, adalah tentang provokasi. Provokasi bisa diartikan sebagai sebuah ajakan untuk melakukan sesuatu, dan sesuatu itu bagi Wiji Thukul adalah perlawanan. Kaum jelata di masa kekuasaan orde baru, adalah kaum yang dimarjinalkan, sengaja dipinggirkan sekaligus dikontrol oleh negara supaya tidak bergolak dengan teror-teror, baik secara fisik ataupun mental. Hal tersebut memunculkan rasa takut, karena teror-teror tersebut bukanlah gertak isapan jempol semata, tapi benar-benar terjadi dalam hidup keseharian. Kaum jelata kala itu, seiring mata memandang, memang hanya maut yang tampak depan mata : mayat bertato yang dibuang di pinggir selokan, bocah kurus kering mengais makanan sisa di tempat sampah, maling beras yang tubuhnya hangus dibakar massa, wajah Soeharto yang tersenyum di televisi dan koran, tanda pangkat militer, pisau komando, bunyi desing peluru, alat-alat berat penggusur rumah pinggiran. Bagi Wiji Thukul, penderitaan yang sudah sampai ubun kepala dan hanya terima-terima saja, adalah ketidak-benaran. Manusia tidak pantas diperlakukan seperti itu, dan Wiji Thukul memperlakukan apapun dalam kapasitasnya, sebagai perlawanan atas hal tersebut.

Permasalahan buruh di Indonesia selalu menjadi permasalahan krusial dari awal bahkan semenjak zaman kolonial hingga sekarang. Dalam sebuah negeri yang kapiltalistik barbar seperti masa orde baru, nasib buruh sungguh dilematis. Di sisi lain mereka membutuhkan korporasi untuk bisa menyambung hidup, tapi di sisi lain mereka kerap di eksploitasi dengan semena-mena. Buruh, apalagi masa itu, sering disamakan dengan mesin produksi. Upah tentu saja ditentukan oleh tingkat produktifitas mereka. Itulah mengapa buruh selalu terpinggirkan dalam dunia industri dan nasibnya selalu memprihatinkan dari masa ke masa. Kondisi tersebut diperparah dengan alasan Soeharto bahwa stabitilitas negara adalah segala-galanya. Tindakan represif yang terkadang berujung korban nyawa, sering terjadi pada para aktivis buruh yang berusaha lantang memperjuangkan hak-haknya. Wiji Thukul tanpa takut mengambil peran dalam aksi-aksi tersebut. Dalam buku ini, kumpulan puisi-puisinya sekaligus mendokumentasikan dan memberikan provokasi bagi para buruh untuk tidak diam saja pada keadaan waktu itu. Pasti akan segera teringat jargon legendaris dari sang Wiji Thukul yang telah disebutkan di awal tulisan ini : "Hanya ada satu kata : Lawan!"

Sebuah aksi perlawanan, sudah hampir pasti menuai konsekuensi. Wiji Thukul sadar akan hal itu. Menjelang buku berakhir, dalam bab yang berjudul "Para Jenderal Marah-Marah", perasaan tentang bagaimana rasanya menjadi buron dituangkan dengan sangat jelas di sana. "... Aku sekarang buron. Tapi jadi buron pemerintah yang lalim bukanlah cacat, pun jika aku dijebloskan ke dalam penjaranya." Sepenggal potongan puisi yang berjudul sama dengan judul bab tersebut masih menyiratkan semangat. Bab terakhir yang menggambarkan suasana hati Wiji Thukul ketika berpindah-pindah tempat demi menghindari intel militer yang senantiasa mengincar dan menunggu saat untuk menyergapnya. Dari rumah ke rumah, dari truk ke truk, dari kota ke kota. Masih sempat juga menulis betapa indahnya bintang-bintang ketika tidur rebahan di atas bak truk yang membawanya entah kemana, atau nikmatnya sepiring nasi dengan sambal kecap yang disuguhkan teman persinggahan dalam pelarian. Mungkin benar kata almarhum Pramoedya Ananta Toer seperti yang ditulisnya dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, bahwa dalam keadaan genting, seseorang malah bisa menikmati kebahagiaan walaupun sekecil apapun bentuknya. Saya mencoba menyelaminya, membayangkan samsara seperti apa yang ditempuh penulis puisi yang sekaligus pembangkang ini.

Semenjak dua puluh tujuh Juli 1996 sampai sekarang, Wiji Thukul masih dinyatakan hilang. Dua tahun setelahnya, tepatnya bulan Mei 1998, mungkin Wiji Thukul tidak menyaksikan bagaimana tirani yang dilawannya dengan sepenuh hati akhirnya tumbang. Tidak pula, mungkin, ketika musuh besarnya sang jenderal besar yang gemar tersenyum tersebut, Soeharto, akhirnya meninggalkan dunia. Banyak yang masih mempercayai bahwa Wiji Thukul sejatinya masih hidup, banyak pula yang meyakini bahwa dia sesungguhnya telah gugur dibunuh militer. Terlepas pro dan kontra tentang itu, Wiji Thukul sudah menjadi monumen bagi banyak orang yang memilih tidak diam saja ketika negara dengan berbagai aparaturnya mulai berbuat ulah. Sekali lagi, puisi Wiji Thukul sepenuhnya berisi dokumentasi dan provokasi. Dan itulah kenapa buku seperti ini akhirnya menjadi penting, karena provokasi itu bisa saja menjadi inspirasi.  ~ Manusia Kera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar