Jumat, 24 Juni 2016

SOLO GRIND FEST: AJANG PERTEMUAN PENGGILA MUSIK CEPAT

Tulisan dan foto oleh : Afriyandi Wibisono


Kota Solo sebagai salah satu destinasi wisata dan budaya di Jawa Tengah, kini juga menjadi kota yang aktif dalam perhelatan budaya. Salah satu diantaranya adalah festival musik berskala nasional, Rock In Solo. Tak berhenti sampai sana, pergerakan ranah musik dan kultur kolektif disana makin menyeruak dan variatif. Solo, ketika kita barang sejenak berani mengakui, merupakan kota yang memang lebih aktif dibanding kota tempat tinggal kita saat ini, Semarang. Salah satu contoh yang bisa kita amati adalah berbagai kegiatan di ranah musik independen di kota tersebut. Mulai dari pelaku hingga penikmat, mereka bersama-sama membangun lingkungan yang kondusif, produktif serta saling mendukung.

Beberapa waktu lalu, Solo membaptiskan diri menjadi salah satu kota penghelat ajang musik cepat setelah Jakarta dan Bandung. Solo Grind Fest untuk pertama kalinya digelar di Kota Bengawan pada Minggu (29/5) lalu. Melalui kolektif Winsome Incorporated, ajang silaturahmi para dedengkot Grindcore dari berbagai kota ini sukses digelar. Acara ini bisa dibilang sebagai yang paling heboh dengan line up yang heboh pula. Bagaimana tidak? ‘Grindcore Allstar’ yang berasal dari sepanjang Pulau Jawa dan Bali ditampilkan pada malam tersebut. Sejumlah nama seperti Deadly weapon, Trigger Attack, Terapi Urine, Terror Of Dynamite Attack, dan juga Disfare menjadi sorotan utama pagelaran tersebut.

Tak ketinggalan rombongan  'Timur"  yakni Tsabat, Moria, Balas Dendam, Humanure, serta unit grindcore Speedy Gonzales turut tampil juga pada malam hari itu. Serta jangan lupakan wajah-wajah grindcore Ibukota yakni Wicked Flesh dan Jigsaw yang pada malam sebelumnya turut menggelar tour gigs-nya di Semarang. Solo pun turut mengirim perwakilan dalam acara tersebut, mereka adalah Warthole, Wahn, The Sign Of Doom, Dash, Twelve Pass, serta Grind Juana asal Sukoharjo. Walau salah satu panampil yakni Corrupshit asal Kudus batal main, panggung Solo Grind Fest rasanya sudah cukup sesak oleh line up fantastis untuk sebuah acara perdana.

Berlangsung di dalam kompleks Institut Seni Indonesia, Surakarta, acara yang seharusnya berlangsung sejak pukul 4 sore, terpaksa mundur beberapa jam dikarenakan kondisi cuaca di Solo saat itu diguyur hujan deras (acara ini digelar di ruangan terbuka / outdoor venue). Sangat disayangkan karena terjebak hujan, saya harus melewatkan beberapa penampil yang baru dimulai sekitar pukul 6 sore. Namun bisa saya pastikan mereka bermain cepat.

Dan penampilan yang pertama kali saya lihat setibanya di panggung Solo Grind Fest adalah Moria, kuartet grindcore asal Malang yang membabat habis distorsi yang cukup tajam pada malam itu. Sound yang cukup ampuh dan gahar menjadi primadona helatan Solo Grind Fest saat itu. Terbayang bagaimana dengan Sound sekuat itu dibakar melalui distorsi-distorsi tempo cepat dari band-band Grindcore andalan Nusantara. Selesai dengan Moria yang turut berkolaborasi dengan Candra Riot (Speedy Gonzales), giliran grup musik Tsabat dari kediri yang beraksi. Luar biasa cepat, tak kalah cepat dan buas dari Humanure. Band asal Surabaya yang turut menghujam telinga penonton Solo Grind Fest pada malam itu.



Berikutnya ada Balas Dendam, trio Grindcore yang digawangi oleh Lutfi, Anto, dan Jamesh. Ketiga personilnya berasal dari kota Malang yang wajahnya cukup terkenal di kalangan komunitas underground khususnya Hardcore/Punk. Balas Dendam, sukses membuat beberapa orang termasuk saya untuk menyimak riff-riff buas yang berhasil membius  untuk saling menubrukan badan di arena moshpit. Penampilan Balas Dendam sendiri menurut saya adalah penampilan yang paling memukau diantara band yang telah tampil sebelumnya, lantaran disaat mulai menjamurnya aliran-aliran grindcore yang variatif dan segar, Balas Dendam menampilkan performa maksimal dengan musik purba yang mengingatkan saya pada era awal Rotten Sound. Fantastis !



Ah sial, saya lupa dengan urutan line up dan band-band yang tampil, namun saya ingat ada unit Disfare yang tampil setelahnya. Trio Grind/Power Violence yang baru saja merilis debut album ini tanpa basa-basi langsung menghajar Solo Grind Fest secara maksimal. Semua penonton ikut terbakar, moshing tak terelakan dan Disfare makin membabi buta. Mereka adalah penampil terbaik kedua setelah Balas Dendam. Setelah habis terbakar, kini giliran Wicked Flesh dan Jigsaw tampil. Dua band asal Ibukota ini tampil begitu cepat dan beringas. Wicked Flesh, trio noise grind asal Ibukota ini juga baru saja merilis album bertajuk Synonimous melalui label rekaman asal Solo, Unleash Records. Ketiganya turut menghantar kebisingan dengan penampilan yang apik. Berikutnya adalah grindcore kawakan, Jigsaw. Seperti namanya, band ini menggerinda panggung Solo Grind Fest pada malam itu secara brutal.

Penampilan yang ditunggu berikutnya adalah unit gerinda asal Kediri, Speedy Gonzales. Salah satu unit yang disegani dalam helatan Solo Grind Fest. Siapa yang tak kenal mereka? Ya, mungkin tidak terlalu terkenal. Namun nama Resting Hell ada di balik band tersebut. Label rekaman milik sang drummer, Ghofur, ini merupakan label dari ratusan band grindcore baik Indonesia maupun Internasional. Hampir semua penampil di Solo Grind Fest adalah band yang menjalin kerja sama dengan Resting Hell sebagai pihak yang merilis karya rilisan mereka. Tatkala, suasana hangat dan pertemanan yang erat pada malam hari itu sungguh terasa bahkan jauh sebelumnya. Di luar itu, Speedy Gonzales menjadi penampil terbaik ketiga dengan musik dan blast-beat yang cepat. Membawakan materi dari album Konspirasi Tikus Neraka. Tak cukup di situ, mereka juga membawakan cover version lagu lawas milik band punk, Ramones, berjudul Blitzkrieg Bop versi cepat!



Malam semakin larut, masih ada lima line up yang menanti. Diantaranya adalah unit penggerinda dari Pulau Dewata, Trigger Attack. Tak lama, line up berikutnya tampil. Mereka adalah Terapi Urine. Komplotan grindcore ‘slengean’ dari Bandung ini turut menggerinda dengan performa yang sangat menghibur para audiens Solo Grind Fest. Kuintet beringas yang baru merilis album split bersama Piston dan Jangar pada helatan Record Store Day lalu ini tampil mengenakan workshirt macam Slipknot namun berwarna pink. Apa yang ada dipikiran band ini ? Ya begitulah mereka, mengusung konsep parodi dalam penampilan dan lagu tanpa menghilangkan hakikat grindcore pada umumnya. Terapi Urine sukses menjadi sorotan ratusan orang yang hadir malam itu



Wahn dan Warthole kemudian tampil, namun atmosfir sudah surut sejak Disfare turun dari panggung. Banyak dari penonton yang tampak lelah bahkan bosan, mereka lebih memilih untuk duduk-duduk, bersantai sambil bercengkrama dengan kawanannya. Pula dikarenakan banyak penonton yang berasal dari luar kota dan terlalu lelah untuk kembali ke moshpit. Memang, acara ini adalah kali pertamanya digelar dan terdapat banyak kekurangan baik dari pihak penyelenggara maupun para penampil terutama dalam hal disiplin waktu. Konten acara yang ‘cuma’ menampilkan musik pun terkesan hanya sebagai festival hura-hura semata selain ajang pertemuan para penggiat grindcore Tanah Air.



Terror Of Dynamite Attack kemudian naik ke panggung. Duo grinder, Mix dan Doni, adalah penampil terbaik berikutnya yang benar-benar memainkan grindcore tanpa rem. Setelahnya, Solo Grind Fest kedatangan penampil terjauh mereka. Mereka adalah Trigger Attack, unit grindcore asal Bali yang khusus didatangkan untuk menjamu para penonton yang sudah mulai lelah menunggu. Trio yang beberapa waktu lalu singgah di Semarang untuk promo album An Human Exist Collapse, juga tergabung dalam proyek album kompilasi terbarunya sebagai tribut legenda grindcore Indonesia, Extreme Decay. Trigger Attack menyumbangkan lagu berjudul Amoral bersama ke-33 band grindcore lainnya seperti Speedy Gonzales, Bersimbah Darah, Rajasinga, dan lainnya. Penampilan Trigger Attack pun cukup mengembalikan atmosfir yang redup beberapa saat lalu.




Tibalah akhirnya di penghujung acara, setelah hampir setengah hari berada di pagelaran Solo Grind Fest kini para penonton disuguhi penampilan utama yang tak kalah menggebu. Deadly Weapon, grinder asal Yogyakarta ini didaulat sebagai penutup rangkaian festival Solo Grind Fest yang pertama. Band yang telah memiliki debut album penuh bertajuk Disillusional Blurs rilisan Rottrevore Records ini tampil beringas dengan dentuman blast-beat yang membabi buta. Alunan distorsi yang makin kuat membangkitkan kembali atmosfir kegaduhan Solo Grind Fest. Pecah! Dan sejauh yang terlihat, Solo Grind Fest berhasil menciptakan ruang bagi para penikmat musik. Khususnya di ranah musik Grindcore dengan mengumpulkan para penggiat aktifnya untuk berpesta, mengila, berbagi kesenangan bersama para penikmat nada-nada bising tersebut meski banyak sekali hal yang luput dari pihak penyelenggara. Semoga dapat bertemu kembali dengan konsep dan metode organisir acara yang lebih matang. Salam! ~ Afriyandi Wibisono

Jumat, 17 Juni 2016

Radical Corps "Sebuah Perjalanan Loyalitas Sederhana tapi Sarat Makna dan Inspirasi"

Semasa remaja, ketika darah muda haus akan identitas dan pengakuan, thrash metal adalah salah satu referensi yang menyelamatkan. Saya pribadi menjalani masa-masa tersebut sesuai layaknya hingar bingar sebuah perjalanan masa muda. Sebuah perjalanan di mana kita menikmati hingar bingar walaupun sebenarnya tidak tahu arah yang akan dituju. Waktu itu, ketika muda, kita tidak takut untuk sekedar tersesat. Waktu itu, kita sepenuhnya yakin dengan jalan apapun yang akan kita lalui.

Thrash Metal adalah salah satu genre yang ikut mewarnai perjalanan musikal saya yang notabene sejak remaja tanggung memang suka bermain musik ataupun mengapresiasi karya dalam bentuk musik. Dan ketika membicarakan Thrash Metal, apalagi dalam lingkup ranah Semarang, sangatlah salah jika kita tidak menyebut satu nama band : Radical Corps. Sebuah kolektif band yang sangat bertanggung jawab sebagai salah satu yang krusial. Dan ketika masa remaja memang akrab dengan idolasi, saya salah satu yang antusias berada di bibir panggung untuk senantiasa mengapresiasi gemuruh yang mereka sajikan. Gemuruh yang mereka sajikan, sarat dengan kritisi. Mereka bukan sekedar musisi, melainkan juga sekumpulan individu gelisah yang menjadikan apapun yang mereka bisa dalam kapasitas mereka sebagai media laku kritiknya.    

Sebenarnya sebuah karya seni, ketika diciptakan dengan tidak sekedarnya sekaligus sarat dengan makna, bisa mengembalikan arti sebenarnya dari kata "Seni" itu sendiri. Ketika sebuah karya seni diperlakukan dengan cara tersebut,  maka seni bisa saja berarti sebagai sebuah tindakan yang politis, upaya sadar untuk memfasilitasi dan berpartisipasi dalam perubahan sosial secara aktif. Dengan cara penciptaan karya  yang demikian, sebuah karya seni bahkan bisa memberikan keseimbangan dinamis antara pemahaman dalam dan ekspresi yang keluar. Dan Radical Corps dengan Rudy Murdock sebagai motornya, saya pikir adalah salah satu band yang memperlakukan proses kreatifnya dengan cara yang demikian.

Masih segar dalam ingatan ketika sekian tahun lalu terlibat dalam sebuah obrolan dengan beliau tentang salah satu lagu monumental mereka yang berjudul (Hopes) of Papua, beliau dengan berapi-api memaparkan kebobrokan manajemen lingkungan hidup dan kesenjangan kesejahteraan yang terjadi di sana. Menurut Rudy Murdock sendiri, hal tersebut adalah sebuah ketidak-benaran dan harus ada yang melakukan sesuatu, entah apapun itu, sebagai kritisi. Saya yang waktu itu masih culun remaja, segera tersadar, bahwa ternyata sebuah band bisa saja menjadi media untuk menyuarakan sesuatu. Dan untuk kemudiannya, aktifitas bermusik saya pribadi tidak pernah sama lagi. Saya terinspirasi untuk mulai memperlakukan musik dan lirik dengan fungsi dan proses kreatif yang semacam. Musik sebagai media aksi kritis.




Banyak band metal yang mengambil pengaruh musikal dari Sepultura era Max Cavalera. Tapi kemudian, kebanyakan terjebak menjadi sekedar tipikal, sekedar mencontek ataupun berambisi menjadi sekedar cloning dari Sepultura sendiri. Dan Radical Corps adalah salah satu band metal yang mengambil pengaruh dari Sepultura juga, tapi jangan salah, mereka berhasil membangun signature musik mereka sendiri. Dan patut disadari, ketika idolasi cenderung mengarah pada fanatisme, Radical Corps memperlakukan idolasi dengan cara yang berbeda. Ketika kalian menyimak album penuh mereka yang ke-dua, Born in The Land of Hate, kalian akan segera menyadari bahwa yang memainkan lagu-lagu di album tersebut adalah Radical Corps, bukan Sepultura. Itulah pentingnya membangun signature dalam bermusik, membuat jejak karakter yang akhirnya menjadi pengingat ciri khas ketika apresiator mengapresiasi karya. Ketika ada sebuah band, yang jelas-jelas mengakui betapa terpengaruhnya musikalitas mereka atas sebuah band lain yang bahkan lebih besar, tapi kemudian mampu membangun signature musik mereka sendiri, saya selalu angkat topi. Radical Corps adalah salah satu yang berhasil akan hal tersebut.

Saya sendiri tumbuh besar dalam lingkup ruang komunitas Hardcore/Punk. Dan memang, cenderung memperlakukan pola yang lugas dalam bermusik. Tapi saya menolak untuk menjadi sekedarnya dalam hal musikalitas, dan tetap mencari pembelajaran. Beruntunglah, ternyata para personil Radical Corps sendiri bukanlah tipe yang kikir dalam hal berbagi ilmu. Satu yang mungkin menjadikan penasaran adalah, musik Radical Corps sendiri bisa dibilang sederhana, tapi ada sesuatu di sana yang membuat telinga tetap terpancing untuk mendengarkannya. Dan kemudian saya sadar, ternyata sederhana bukan berarti sekedarnya. Radical Corps tidak asal-asalan dalam memperlakukan proses kreatifnya dan mereka memang sekumpulan individu dengan pribadi sederhana yang juga menolak untuk mengejar sekedar kegagahan di atas panggung. Eksekusi final mereka terhadap karya memang sederhana, tapi sekali lagi, tidak sekedarnya, tidak asal-asalan. Hal tersebut saya tangkap ketika memperhatikan mereka dalam hal proses penciptaan karya, proses rekaman, hingga proses distribusinya, semuanya dilakukan dengan pola yang serius tanpa melupakan keharusan untuk bersenang-senang. Dan kemudian saya mendapat pembelajaran baru tentang hal yang lain dari mereka, pembelajaran untuk menjadi sederhana tapi tidak sekedarnya. Sebuah pelajaran tentang kualitas.


Skena metal di kota ini, Semarang, memang timbul tenggelam. Banyak band lama yang hilang dan tidak kembali, dan kemudian banyak pula band baru yang datang dengan enerji yang juga mumpuni. Skena metal di kota ini sudah terbentuk bahkan di pertengahan 80'an, hal tersebut saya ketahui ketika meluangkan waktu ngobrol dengan Luthfi Debronzes, vokalis band death metal veteran, Syndrome, yang juga tetap setia mengiring langkah skena metal di kota ini. Sedangkan Radical Corps adalah sebuah kolektif seminal metal yang sudah mengarungi lebih dari 24 tahun dalam rentang perjalanannya. Tanggal 1 Mei kemarin adalah penanda hari kelahiran mereka. Dan sangat menyenangkan ketika menyadari bahwa seseorang atau sesuatu apapun itu, yang pernah memberi inspirasi, ternyata tetap ada bahkan ketika kamu juga sedang melanjutkan langkah. Bukan bermaksud berlebihan, tapi bagi saya menghargai inspirasi bukanlah hal yang salah. Dan saya bangga mengenal mereka, saya bangga menarik inspirasi bermusik dari mereka. Selamat merayakan hari lahir Radical Corps. Keep on thrashing.