Selasa, 26 Juli 2016

Resensi Buku : Kehausan di Ladang Air "Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan"

Tulisan oleh : Manusia Kera





"Bayangkan kolam air raksasa yang luasnya sama dengan lapangan sepakbola standar internasional yang paling luas. Bayangkan kedalaman kolam itu duapuluh meter atau setara dengan gedung setinggi lima tingkat. Kemudian bayangkan di seluruh Kota Bandung terdapat 181 kolam air raksasa seperti itu, yang jika di totalkan volumenya nyaris 30 juta meter kubik. Lalu pertimbangkan fakta ini : 30 juta meter kubik air yang diproduksi PDAM Kota Bandung hilang setiap tahunnya. Seandainya air yang hilang ini diakibatkan oleh kebocoran pipa, Bandung pasti banjir. Lalu kemana larinya air tersebut?" (buku Kehausan di Ladang Air karya Zaky Yamani) 

Saya bukanlah seorang jurnalis formal, dan ketika menulispun juga cenderung menghindari gaya bahasa jurnalistik formal yang sering kali mengandalkan data ketika memaparkan sesuatu. Dan kemudian saya bertemu dengan buku ini : "Kehausan di Ladang Air : Pencurian Air di Kota Bandung dan Hak Warga yang Terabaikan." Sebuah buku hasil investigasi jurnalistik dari sang penulis yang memang sebenarnya adalah seorang jurnalis. Sebuah buku yang penuh dengan pemaparan data statitistik, tapi mempunyai gaya bercerita yang berhasil membuat saya betah untuk menyimaknya hingga halaman terakhir. Buku ini bercerita tentang air dan mempunyai pesan krusial tentang sebuah hal yang sebenarnya hakiki tapi kita kebanyakan, sekarang melupakannya. Air adalah salah satu hak paling asasi bagi kehidupan umat manusia dan seharusnya tidak dikuasai oleh golongan tertentu untuk kemudian diperlakukan sebagai barang dagangan untuk meraih keuntungan semata. Ketika air diperjual-belikan, akan ada pertanyaan tentang apakah hak asasi manusia memang pantas diperjual-belikan juga?

"Buku ini dipersembahkan untuk ayah dan ibu saya yang sudah menanam pompa air di halaman depan rumah kami, dan selalu membuka pintu pagar rumah kepada siapapun yang meminta air. Juga atas pelajaran yang saya terima dari keduanya, bahwa menjual air adalah pamali."

Penggalan kuotasi di atas mengawali buku setebal 162 halaman ini. Sebuah kuotasi kuat dengan background salah satu filosofi kearifan lokal yang juga memberikan pemahaman tentang air sebagai hak asasi manusia. Tanpa air, mungkin manusia tidak akan pernah bisa membangun peradaban. Gaya penulisan dalam buku ini seperti halnya kebanyakan jurnalis yang cenderung menggunakan bahasa pewartaan serta cenderung menyamarkan keberpihakan, tetap saya yakin bahwa sebenarnya Zaky Yamani berusaha mengajak para pembaca buku ini untuk ikut berpikir kritis akan isu yang terjadi. Dalam salah satu kuotasi dalam buku inipun, penulis juga mempersilakan para pembaca untuk menyimpulkan sendiri tentang klaim pemerintah kota Bandung yang menyatakan bahwa 100% penduduk kota tersebut sudah tercukupi sepenuhnya masalah kebutuhan air bersih. Buku ini juga mengajak kita untuk melakukan komparasi antara klaim tersebut dengan data-data dan fakta yang dibeberkan dalam buku ini yang menggambarkan bahwa masih banyak sekali penduduk kota Bandung yang hidupnya merana karena permasalahan air bersih yang timbul karena pembangunan bangunan-bangunan besar semacam hotel dan apartemen yang tidak terkendali, kecurangan-kecurangan yang ada dalam tubuh PDAM kota Bandung, serta konflik-konflik horizontal antar warga yang terjadi karena berebut sumber air. Dalam buku ini diceritakan, konflik-konflik horizontal tersebut sering kali berujung pada kekerasan fisik.

Pada bab II yang berjudul : "Air, Golok, dan Percekcokan Tetangga", diceritakan bagaimana para penduduk di desa Sindang Jaya menugaskan beberapa warganya untuk berjalan sepanjang 6 kilo meter ke daerah perbukitan utara kota Bandung setiap malam Selasa dan Jumat hanya untuk berburu air. Dan yang mengejutkan, mereka tidak berburu air bersih, melainkan, air comberan yang mengalir dari daerah perbukitan tersebut sambung-menyambung hingga akhirnya sampai ke selokan warga desa Sindang Jaya. Kegiatan ini terkadang menimbulkan potensi konflik karena ternyata tidak hanya penduduk desa Sindang Jaya yang juga melakukan kegiatan serupa, tapi juga penduduk desa sekitar yang mengalami permasalahan akan kebutuhan air, juga berebut membendung air selokan tersebut supaya juga mengalir ke selokan daerah mereka. Dalam bab ini diceritakan juga tentang bagaimana konflik-konflik tersebut sering kali berujung kekerasan fisik yang terkadang juga melibatkan penggunaan senjata tajam. Dan ironisnya, mereka berebut air selokan, bukan air bersih layak pakai demi memenuhi kebutuhan keseharian seperti mencuci dan mandi. Untuk ukuran kota seperti Bandung, fakta menyedihkan tersebut cukup mengejutkan.

Pada 3 bab awal buku ini, kita akan mendapatkan gambaran tentang bagaimana pedihnya kaum miskin kota yang semakin menderita karena susahnya mendapat akses air bersih. Dan hal tersebut yang memicu konflik masalah perebutan sumber-sumber air di Bandung. Yang berhasil menguasai sumber air tersebut kemudian menjualnya kepada para penduduk sekitar. Demikianlah privatisasi air terjadi di kota Bandung. Orang-orang yang memang sudah putus asa karena susahnya akses air bersih tersebut, akhirnya mau tidak mau terpaksa membeli dari pihak yang menguasai sumber air tersebut. Beban ekonomi yang sudah susah akhirnya menjadi semakin pelik karena muncul beban baru yang harus dibayar setiap harinya. Kebutuhan akan air, harus dipenuhi setiap hari.

Privatisasi air sebenarnya berhubungan erat dengan kegagalan pemerintah, dalam hal ini adalah pihak PDAM, dalam mendistribusikan akses terhadap air bersih secara merata dan murah terhadap warga kota. Berbeda dengan privatisasi sumber air dibanyak tempat yang mungkin malah mendapat dorongan dari pihak pemerintah, kejadian-kejadian di Bandung sebenarnya terjadi dengan sendirinya karena respon atas terciptanya pasar bebas yang membutuhkan air bersih. Dengan kata lain, pasar-pasar bebas dengan kebutuhan air tersebut tercipta karena pihak pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab tentang hal tersebut (distribusi air bersih) gagal menjalankan tugasnya dengan baik. Kesimpulan tersebut diperkuat dengan berbagai wawancara yang dilakukan Zaky Yamani terhadap berbagai sumber termasuk para warga, pejabat pemerintah, dan bahkan para orang-orang dalam pihak PDAM kota Bandung sendiri. Zaky juga membaca dan mengutip berbagai dokumen-dokumen yang terkait dengan persoalan air bersih untuk memperkuat kesimpulan tersebut.  

Selanjutnya pada bab Empat dan Lima, kita akan diajak untuk menelusuri salah satu akar masalah yang bersumber dari kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam tubuh PDAM kota Bandung. Serta investigasi masalah privatisasi berbagai sumber air yang melibatkan salah satu ormas kuat di Bandung. Pembangunan hotel-hotel dan apartemen yang menjadikan distribusi air bersih menjadi tidak seimbang karena pihak PDAM lebih meprioritaskan distribusi air ke bangunan-bangunan tersebut daripada ke rumah-rumah para warga biasa yang tinggal di sekitaran bangunan-bangunan tersebut. Layaknya sebuah buku kisah detektif, petualangan Zaky ketika melakukan investigasi dan pengumpulan data, sungguh menarik untuk disimak. Buku ini terus terang, akan membuat gerah pihak-pihak yang ditelanjangi kecurangannya dengan berbagai pemaparan data-data dalam buku ini. Itulah kenapa saya angkat topi atas keberanian Zaky Yamani untuk tetap menyelesaikan dan menerbitkan buku ini.

Yang menurut saya agak notable dalam bab-bab ini adalah tidak komprominya Zaky Yamani dalam menulis nama-nama pejabat ataupun ormas yang diduga terlibat masalah mafia air. Jika dalam media-media seperti halnya koran atu majalah, nama-nama dituliskan dengan inisial, dalam buku ini Zaky Yamani menuliskannya dengan terang-terangan tanpa tendeng aling-aling. Seperti halnya dugaan keterlibatan mantan walikota Bandung Nana Rosada dan wakilnya Ayi Vivananda dalam jaringan mafia air yang sangat susah diberantas. Terbangun sangat terstruktur dan demikian kompleks disertai permainan curang politis dalam tubuh PDAM kota Bandung sendiri.

Zaky Yamani mulai melakukan peliputan dan penulisan yang simultan setelah memenangkan proposal peliputan investigatif dalam kompetisi Mochtar Lubis Award. Dan memang, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah, hasil peliputan tersebut harus diterbitkan dalam bentuk buku. Sosok Zaky sendiri adalah peraih berbagai penghargaan dalam bidang jurnalistik dan tulis-menulis. Salah satunya adalah penghargaan untuk buku ini, meraih Mochtar Lubis Fellowship Award. Beliau juga mantan  ketua Aliansi Jurnalis Independen Bandung serta aktif sebagai jurnalis harian terkemuka di kota tersebut, Pikiran Rakyat. Dalam hal menulis, Zaky Yamani memang kenyang asam garam. Beberapa pihak yang nama dan institusinya disebut-sebut dalam buku ini, konon melakukan berbagai teror terhadap beliau untuk mengagalkan penerbitan buku ini. Dan keberanian Zaky Yamani untuk tetap menyelesaikan buku ini patut mendapat apresiasi dan acungan jempol. Sebuah info saya dapatkan dari seorang teman, bahwa beliau tetap gigih menyelesaikan buku ini karena terinspirasi sebuah lagu dari Swami : "Kesaksian". Memberikan kabar kepada dunia bahwa banyak di sekitar yang memang tidak baik-baik saja dan harus ada yang menyikapi hal itu dengan apapun yang bisa dilakukan, sebagai kritisi.

Apa yang dilakukan Zaky Yamani dengan buku ini, dalam pandangan saya, selain sebagai laku kritisi, juga mendorong orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Berani mengabarkan hal-hal yang berupa ketidak-benaran dan kemudian memprovokasi yang lainnya untuk juga melakukan sesuatu sebagai kritisi. Laku kritik biasanya berangkat dari kepedulian, laku kritik menyingkirkan ignoransi dalam laku hidup sehari-hari. Dan buku ini bercerita tentang hal yang sangat penting, yaitu air. Air, berputar dalam siklus alam yang sifatnya tetap, dan setiap manusia memiliki hak guna atas air karena tanpa air manusia tidak akan bisa hidup. Yang mengherankan adalah bagaimana bisa air dikuasai oleh beberapa pihak tertentu demi mengeruk keuntungan. Buku ini mengingatkan bahwa hal-hal tersebut sudah terjadi sekarang ini. Entah, mungkin esok hari di masa depan, anak cucu kita mungkin harus membeli untuk sekedar oksigen yang bersih. Buku ini menjadi penting karena mengingatkan kita tentang hal itu. Suatu hal yang seharusnya diwaspadai dan disikapi mulai sekarang.



Minggu, 17 Juli 2016

Resensi Rekaman : Harvest "Happiness and the Effort"

Tulisan oleh : Galang Aji Putro
Band photos : Hanafi Arozaq Hastoworo


Bila kita sama-sama memiliki ketertarikan musikal terhadap punk, hardcore, dan segala turunannya, apakah kita merasakan hal yang sama ketika diberi kesempatan untuk mendengarkannya? Bahkan, ketika kesempatan tersebut hanya membutuhkan sepasang telinga, barangkali kita akan melakukan gerakan kecil sebagai respon dalam sebuah hubungan sebab dan akibat, entah menganggukan kepala dan/atau menghentakkan kaki ke tanah. Lebih dari itu, kita bisa saja membayangkan moshpit yang begitu riuh karena pergumulan orang-orang yang dalam beberapa saat tertentu juga mengangkat kepalan tangannya ke angkasa. Bagi yang tidak sungkan menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk menikmati langgam musik yang saya sebut di awal paragraf, bersiaplah untuk dihinggapi kenangan tentang masa muda yang diliputi kenakalan dan semangat untuk menjalani hidup tanpa batasan apa pun. Namun, hal ini bersifat nisbi karena tidak semua band pengusungnya memiliki kekuatan untuk memberi sugesti kepada pendengar.

Ada yang bilang bahwa sebuah band akan terlahir mutlak secara utuh jika mereka mampu merilis album sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap sesuatu yang sudah mereka mulai. Saya adalah salah satu yang mengamini pendapat itu. Jika parameter ini diberlakukan, maka Harvest–sindikat hardcore asal kota Semarang–telah melakukannya pada 2012 lalu melalui album mini As Long As You Breathe. Kemudian, pada 2016 ini, Harvest merilis album berjudul Happiness And The Effort ke pasar bebas. Sebuah album yang mengusung delapan repertoar tersebut berkutat pada gambaran kehidupan yang dialami Harvest secara grup maupun personal dalam sebuah scene. Selain itu, mereka juga mengungkapkan satir terhadap ketimpangan pembangunan kota secara fisik melalui artwork pada sampul album. Tanpa membaca dan memahami lirik dalam album, kita bisa saja menganggap Harvest dapat mewakili identitas musik yang mereka usung–yang biasanya merujuk pada kesan amarah dan/atau penghimpun semangat.


Happiness And The Effort dibuka dengan nomor berjudul “The Passion That We Have”. Lagu ini belum memberikan kejutan selain monolog pada awal lagu yang sepertinya tidak mudah dicerna oleh orang dengan kemampuan berbahasa Inggris yang biasa saja seperti saya. Pada album mini As Long As You Breathe, nomor ini juga bisa ditemukan. Lagu ini bercerita tentang seseorang yang dikutuk oleh idealismenya sendiri sehingga merasa terperangkap dalam velodrome. Meskipun dia merasa tidak nyaman dengan realita, tapi ada gairah yang menjadikannya tetap menghidupi kehidupannya itu. “This is what I believe” yang dinyanyikan dengan penuh amarah seolah menegaskan bahwa Tan Malaka bukanlah mitos belaka. Semoga kita juga mengimani bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.

“For All Year Long” menyusul pada baris berikutnya. Lagu ini masih menggunakan lirik berbahasa Inggris dengan grammatical tense yang meleset di beberapa kalimat. Barangkali, hal ini membuktikan bahwa penggunaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam penulisan lirik memiliki kesulitan masing-masing. Ketika lagu ini mulai berputar, entah kenapa saya langsung berandai jika nantinya “For All Year Long” juga digarap dalam bentuk footage video yang diambil dari rekam jejak mereka dalam gig maupun scene yang menampilkan setiap sosok yang berarti bagi mereka hingga sekarang. Salah satu hal yang saya suka dari melodic hardcore adalah ketika power chord sweeping memberikan euforia yang seolah-olah membuat perasaan saya membuncah seperti ada ribuan kupu-kupu yang keluar dari dalam paru-paru. Simak saja pada rentang waktu antara 1:45 hingga 2:22 dalam lagu ini. Selanjutnya, “Answered by Destiny” melanjutkan kampanye album ini. Dengan durasi kurang dari 1 menit, lagu ini menjadi yang paling singkat dibanding lagu-lagu lain. Penyajiannya yang singkat juga diimbangi dengan tempo yang cepat dengan irama yang tegas. Makna lagu ini mengingatkan saya pada ucapan Fidel Castro yang saya kutip untuk keperluan studi beberapa waktu lalu. Men don’t shape destiny. Destiny produces the man for the hour.


Tak perlu menunggu lama, “Long Journey of Life” muncul pada baris ke-4. Corak musiknya masih sama dengan melodic hardcore pada umumnya. Namun, unsur yang tak biasa kita temui dalam langgam ini disisipkan menjelang akhir lagu. Lantas, apakah kita masih percaya bahwa punk, hardcore, dan segala macam turunannya itu tidak membutuhkan skill? Sebagai intermezzo, skill yang dimiliki oleh Lionel Messi pun mampu memotivasi dan mengubah Cristiano Ronaldo menjadi lebih baik hingga mampu menghegemoni dunia. Bicara soal motivasi, saya mengandaikan bahwa Harvest–melalui lirik dalam lagu ini–sedang menjelma jadi seorang motivator a la Mario Teguh. Lalu, “Golden Age” menyusul pada nomor selanjutnya. Lagu ini memiliki durasi paling lama dalam album. Vokal yang menghentak pula berafiliasi dengan tempo yang cukup cepat pada awal lagu membuat saya merasa seperti sedang dikejar-kejar oleh sesuatu ketika mendengarkannya. Terlebih, dengan durasi sekitar 4 menit, “Golden Age” menjadi lagu yang mampu ‘menyiksa’ telinga saya. Pantas saja jika Harvest mendapuk lagu ini menjadi ujung tombak dalam  Happiness And The Effort. Satu lagi yang perlu dicatat, suara bass–yang terkesan kurang tenaga–akhirnya muncul untuk dapat kita dengar meski hanya dalam beberapa detik.

Siapa bilang hardcore dilarang bersedih? Nyatanya, Harvest melawan citra tersebut melalui “Broken Hope” dan “The Saddest Part”. Sekilas membaca liriknya, saya menemukan sebuah kesedihan di sana meskipun liriknya tidak sepuitis milik No Use For A Name yang memang selalu sukses menyembunyikan kesedihan di balik musiknya. Tunggu, apa hubungannya No Use For A Name dengan hardcore? Sudahlah, Efek Rumah Kaca juga bukan punk tapi liriknya memberontak. Tapi yang pasti, kedua lagu ini tetaplah berada pada pakem melodic hardcore yang mampu memprovokasi moshpit. Bahkan, power chord sweeping sudah muncul sebagai pembuka “The Saddest Part” secara gagah. Kemudian, “Hancurkan Rasa Ragu!” adalah epilog dari repertoar Happiness And The Effort. Menurut saya, lagu yang juga sempat dirilis beberapa tahun lalu ini kurang berhasil menjadi pamungkas. Mari bandingkan karakter vokal dalam lagu ini dengan lagu-lagu sebelumnya, apakah kita merasakan hal yang sama?

Happiness And The Effort secara musikalitas patut diapresiasi, dalam artian bahwa melodic hardcore a la Harvest berada pada taraf wajar–tidak jelek namun belum bisa disebut istimewa. Barangkali, output keseluruhan suara memang belum maksimal. Namun, saya selalu yakin bahwa menikmati gig mereka bisa jauh lebih menyenangkan. But, as an album of hardcore band, it should have more strength to punch the amplifier, shouldn’t it? (*)