Senin, 15 Agustus 2016

Sejenak Bersama Efi Sri Handayani

Menyenangkan sekali ketika melihat seorang kawan perempuan yang aktif sekali berkarya. Dan beberapa waktu lalu ketika menghadiri Sewon Screening di kampus ISI Yogyakarta, saya berkenalan dengan seorang sutradara muda yang filmnya lumayan menarik perhatian saya, Efi Sri Handayani. Jebolan Institut Kesenian Jakarta yang juga terlibat sebagai koordinator acara dalam penyelenggaraan Belok Kiri Fest beberapa waktu yang lalu, ternyata juga adalah seorang kutu buku serta aktif mendukung aksi warga Kendeng dalam perjuangannya menolak pendirian Pabrik Semen serta penambangan Karst di Pegunungan Kendeng Utara. Akhirnya rampung juga interview yang kami lakukan via fasilitas chat Facebook ini, setelah beberapa kali pending karena kesibukan dan hal-hal lainnya. Silahkan disimak, semoga menginspirasi.



1. Halo Efi, bagaimana kabar keseharian akhir-akhir ini?

Kabar baik dan sedikit sibuk dengan beberapa kegiatan.

2. Kamu adalah salah satu yang terlibat dalam helatan Belok Kiri Fest dan Simposium '65 beberapa waktu yang lalu. Dalam pandangan kamu pribadi, menurutmu apa urgensi dari kedua helatan tersebut untuk digelar?

Menurutku, urgensi saat ini adalah bagaimana negara bertanggung-jawab atas kejahatan pelanggaran HAM di masa lalu. Selain itu, narasi sejarah yang harus terus dibicarakan dengan mengungkap fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Ini penting bagi generasi muda untuk tahu sejarah bangsanya sendiri supaya tragedi serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari.

3. Helatan Belok Kiri Fest sempat mengalami kendala masalah perijinan dari pihak Kepolisian walaupun akhirnya tetap bisa berjalan dengan memindahkan tempat acara. Bisa menceritakan sedikit kronologi masalah kendala tersebut?

Empat hari sebelumnya, banner kegiatan sudah dipasang dari tanggal 22 Februari di depan TIM (Taman Ismail Marjuki), diturunkan oleh pengelola TIM keesokan harinya. Alasannya, surat izin kegiatan yang telah mendapat cap dari pihak polsek setempat, dinilai tidak cukup. Surat izin itu harus disertai surat balasan dari polsek.

Selama proses perizinan, dari tanggal 18 hingga 26 Februari, komite pelaksana dipersulit dalam urusan birokrasinya. Hingga H-1, Belok Kiri Fest tetap tak diberi izin penyelenggaraan di TIM. Saat itu pula penyelenggara disuruh membongkar display yang telah dipasang di Galeri Cipta II. Kabarnya, pihak polisi dan keamanan TIM akan membongkar paksa jika itu tidak dilakukan panitia.

4. Jagal "The Act of Killing" karya Joshua Oppenheimer adalah salah satu film yang kamu sebut-sebut saat berpidato di pembukaan Belok Kiri Fest. Dan dalam sebuah interview, Joshua sendiri mengatakan bahwa film tersebut adalah ajakan bagi semua pelaku dunia film di Indonesia untuk membuat karya yang semacam. Bagaimana pendapatmu pribadi mengenai film tersebut? Sebagai seorang yang juga pelaku dunia film, adakah rencana untuk membuat karya film yang serupa?

Film jagal secara gamblang dengan berani membeberkan fakta sejarah tragedi 1965. Bagaimana para pelaku dengan keji menceritakan peristiwa pembantaian itu. Film tersebut membuka banyak mata yang selama ini sengaja ditutupi oleh pemerintah orde baru.

Sebagai seorang sutradara, saya juga ingin membuat film dengan tema 65. Tapi bentuknya mungkin bukan dokumenter, saya ingin membuat film drama tentang anak-anak yang orang tua nya menjadi korban. Saya ingin menitik-beratkan pada bagaimana kehilangan itu, yang dialami oleh seorang anak, dan bagaimana kepulangan hanya sebatas mimpi bagi mereka para tapol 65.

5. Beberapa waktu yang lalu keputusan Pengadilan Rakyat Internasional yang digelar di Den Haag, Belanda, memutuskan bahwa pemerintah Indonesia bersalah atas berbagai kejahatan HAM yang terjadi di masa lampau. Akan tetapi pemerintah mengacuhkan putusan tersebut dan menolak untuk menindak-lanjutinya. Bagaimana pendapat kamu tentang hal tersebut?

Orde baru itu memang mempersulit hidup orang banyak ya. Bahkan yang dipersulit bukan hanya generasi terdahulu, tapi generasi muda hari ini juga kena dampaknya. Mereka begitu takut menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu, karena jika dibongkar, pelaku-pelaku kejahatan HAM akan terancam. Stabilitas kekuasaan akan terganggu. Saya cuma heran, kenapa manusia tidak bisa hanya memakai nuraninya saja.

6. Saya lihat kamu punya perhatian khusus akan isu penolakan terhadap operasi pabrik semen dan penambangan karst di pegunungan Kendeng Utara. Apa yang mendasari perhatian tersebut?

Saya melihat ketulusan warga Kendeng, khususnya ibu-ibu petani. Mereka selalu mengatakan ibu bumi harus dijaga kelestariannya untuk masa depan anak cucu, jangan hanya memikirkan perutnya sendiri. Bahkan sempat juga ngobrol dengan salah satu kartini kendeng, ibu Sukinah, sambil menangis beliau bercerita ketika melihat tanah dirusak, yang dirasakannya adalah tubuhnya sendiri dan tubuh leluhur-leluhurnya.

Ketulusan seorang ibu kepada anaknya memang tak ternilai. Hal itu yang sebetulnya cukup menampar saya. Sebagai seorang anak yang pernah dilahirkan dari rahim seorang ibu, saya merasa harus berbuat sesuatu, meskipun itu hal kecil.

7. Dari beberapa kali postingan di media sosial, kamu terlihat aktif mengawal aksi warga Kendeng di depan Istana Negara. Bisa menceritakan sedikit tentang detail aksi tersebut hingga hari ini?

Aksi dimulai sejak 26 Juli dan hingga hari ini masih bertahan mendirikan tenda di depan istana dengan tuntutan bisa bertemu presiden Joko Widodo yang pada aksi sebelumnya dimana ibu-ibu mengecor kaki mereka dengan semen. Saat itu utusan presiden, Teten Masduki dan Pratikno hadir sebagai wakil presiden dan berjanji akan mempertemukan ibu-ibu dengan presiden Jokowi. Akan tetapi, hingga hari ini (Tanggal 31 Juli 2016) janji tidak ditepati. Kemudian aksi pasang tenda juga mengajak siapapun untuk membaca AMDAL palsu yang dibuat oleh PT. Semen Indonesia. Siapapun, warga yang ikut aksi ini juga sangat terbuka jika ada aparat, pemerintah, akademisi dan masyarakat yang ingin melihat AMDAL versi semen itu.

8. Menurutmu pribadi, apa yang menyebabkan pihak pemerintah sendiri agak berat untuk memenuhi permintaan tuntutan warga Kendeng?

Kita hidup di sebuah negara yang para pemimpinnya terlalu punya banyak kepentingan.









 9. Saya salah satu penikmat karya kamu. Sebuah film, yang jika kamu ingat, kita pernah berdiskusi tentangnya, "Laki-Laki Virtual". Bagaimana proses kreatif pembuatan film tersebut? Pesan apa yang sebenarnya hendak disampaikan melalui cerita dari "Laki-Laki Virtual"?

Proses development ceritanya cukup lama, kurang lebih satu semester. Kira-kira sampai film itu selesai, memakan waktu hampir satu tahun. Sebetulnya tidak ada pesan apapun dalam film ini. "Laki-Laki Virtual" selain sebagai tugas akhir kuliah saya, di sisi lain yang lebih personal, film ini menjadi semacam healing buat saya. Manusia, terkadang butuh tamparan keras untuk menyadari tentang apa yang terjadi dan bagaimana ia harus menghadapi itu.

Kalau boleh mengutip satu puisi Sapardi, “yang fana adalah waktu, kita abadi”. Karakter laki-laki virtual berasal dari waktu dan tempat lampau, sementara perempuannya hidup di masa ini. Sebesar apapun keinginan untuk bersama laki-laki dalam video VHS itu, perempuan tidak akan bisa mendapatkan hal tersebut. Waktu memang nyata, apapun yang di dalamnya pernah ada dan hidup, tapi menghadirkannya kembali? Sudahlah, nanti keburu ada UFO jatuh.

10. Ada rencana terdekat untuk penggarapan karya dalam bentuk film lagi?

Ada, saat ini saya sedang riset untuk development cerita film fiksi dengan tema tragedi '65. Sembari mengumpulkan footage untuk project dokumenter tentang para Kartini Kendeng.

11. Buku atau literatur apapun yang terakhir di baca?

Saya sedang membaca memoar pulau buru karya pak Hersri Setiawan, salah satu seniman Lekra yang pernah menjadi tapol pulau Buru. Saya banyak terinspirasi dari buku itu untuk pembuatan film saya tentang tragedi '65.

12. Ok Efi, thanks banget sudah meluangkan waktu untuk menjawab dan berbagi bersama Kaum Kera zine. Sangat ditunggu aksi dan karya-karya berikutnya. Silahkan menyampaikan sesuatu apapun itu, untuk mengakhiri wawancara ini.

Saya kasih quotes saja ya. adalah salah satu quotes favorit dari film Cinema Paradiso : “life isn’t like in the movie. life is… much harder.” Sukses ya untuk Kaum Kera Zine. Sampai jumpa, salam congyang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar