Kamis, 28 September 2017

Anarkisme Dalam Secangkir Kopi

ANARKISME DALAM SECANGKIR KOPI
---------------------------------------------------------
Oleh Akhmad Dzikron Haikal (Oyek)



Ketika hendak pulang ke rumah, biasanya saya menyempatkan barang sejenak mampir di warung milik seorang kawan lama. Sebelum membuka obrolan, saya dibuatkan secangkir kopi dulu.

“Sesekali, mencoba kopi varian baru tak ada salahnya kan?” sarannya.

Saya hanya bisa melempar senyum tanda setuju. Terakhir kali berjumpa, kira-kira beberapa bulan lalu. Kali ini saya menemuinya dengan intuisi sebagai pengembara yang mencari hal lain dari setiap perjalanan panjang yang meresahkan,menemukan orang-orang yang hidup harmonis dengan alam, dan tentunya kenyataan yang berbeda dari yang saya bayangkan, meskipun hanya sebatas di dalam perbincangan. Ya, sebatas perbincangan di pinggir kenyataan.

Momentum langka ini saya manfaatkan dengan sebaik mungkin (maklum kawan saya ini susah ditemui. Sibuknya melebihi orang sok sibuk. hehe) dengan mempersilahkan pertanyaan-pertanyan yang antre di lidahku yang hanyalah seorang penikmat kopi dan obrolan,

“Apakah Hak itu suatu kebenaran yang utuh bagi kita, tapi kenapa di sana-sini berebut memperjuangkan Hak?” atau “Hutan kok banyak yang dirusak,” lalu “Itu kan juga bagian Hak kita, kok tidak diperjuangkan … kok tidak nganu banget, sih Mas.”

Dia tidak langsung menjawab pertanyaan dari saya, melainkan dia membacakan beberapa penggalan kalimat yang berbunyi,

"Katakan "TIDAK"pada perang. Juga "TIDAK" pada rasa takut, pada kemunduran, "TIDAK" pada penyerahan kalah, "TIDAK" pada pelupaan, "TIDAK"pada celaan akan kemanusiaan kita. Inilah "TIDAK"pada kemanusiaan Neoliberalisme"." ~ Kata Adalah Senjata karya Subcomandante Marcos. halaman 40.

Pada awalnya saya batasi perjumpaan kami sampai dua jam saja, lalu beberapa menit lagi, hingga akhirnya lima jam tak berasa. Semakin menit berlalu, semakin saya merasa lugu dan cupu.Sebab semakin saya mendengar dan menyimak apersepsinya dalam menjelaskan beberapa kalimat yang dibacakan kepada saya, semakin pula apa yang dia sampaikan tentang anarkisme sangat masuk akal dan meresap dalam emosi yang menggebu-gebu.

Sebelum saya tahu tentang anarkisme, saya dan kalian semua sudah barang tentu melekat pandangan negatif tentang idiologi itu. Menuduh barbar, karena sering berbuat onar, misalnya. Sementara saya yang merasa sok akademisi dengan pendidikan yang melulu itu-itu saja harus menanggung malu karenanya. Saat merasa pendidikan cukup tinggi, pikiran saya dan saudara sekalian pastilah dipenuhi rasa arogansi intelektual sehingga mempersempit pandangan saya dan saudara sekalian di kemudian hari mengenai anarkisme.

Pada akhirnya saya harus mengakui bahwa anarkisme itu sudah teruji keamanan dan keharmonisannya beberapa abad sebelum masehi lalu dan bahkan kelahirannya didasari oleh kekuatan utama dalam alam semesta yang terdapat pada semua benda, terdapat didalam inti segala benda di surga dan di bumi, kekal abadi dan tidak dapat berubah. Satu pelajaran yang saya dapat, seharusnya sebelum menilai sesuatu, saya harusnya bertanya-tanya dahulu dan bahkan dalam disiplin akademis, seharusnya melakukan riset. “Kenapa kekerasan dapat menuju ke anarki?”, bukannya langsung berkata, “Anarkis itu ya kekerasan, faktanya seperti itu kan?!” Itu baru pembuka, menit-menit selanjutnya adalah tamparan demi tamparan yang meruntuhkan persepsi awal yang saya yakini dan sebagian orang.

Saya akui, perkenalan pertama dengan anarkisme yang kemudian menjadi pelajaran penting dalam hidup saya bersama masyarakat adalah tentang bagaimana mempertahankan dan memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia tanpa merampas hak asasi manusia lain. Saat itu saya berasa ditampar oleh kisah perjuangan Tentara PembebasanNasional Zapatista bersama juru bicara mereka yang sangat ikonik, Subcomandante Marcos, yang mengangkat senjata bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk menciptakan sebuah ruang komunal demokratis dan mandiri dimana pertentangan antar pandangan politik yang berbeda-beda, bisa dibicarakan. Mereka ingin menunjukan kepada dunia bahwa cara lain untuk berpolitik itu sungguh ada, yang salah satunya, bisa dilihat dari praktik kehidupan swadaya masyarakat adat.


Namun, pengalaman yang saya alami justru sebaliknya ketika menanyakan hal-hal terkait anarkisme. Sebab sebelum menulis tulisan ini, saya sempatkan dulu untuk melakukan riset sederhana kepada orang-orang disekitar saya dengan mengajukan pertanyaan singkat,

“Bagaimana anarkisme menurut pandangan kalian?”

Mendengar jawaban dengan telinga saya sendiri, saya tidak terlalu kaget lantaran apa yang sudah saya prediksikan, ternyata terjadi juga tentang sebuah jawaban yang tak sempat merujuk pada teori. Ya, hanya berdasar pada pandangan sebagian besar orang lain yang dijadikan sebuah pemahaman sepintas. Parahnya, konon beberapa oknum dari kalangan pecinta musik cadas yang melakukan sesuatu berdasarkan kebebasan mereka sendiri atau golongan dengan mengatas-namakan bentuk dari anarkisme. Tetapi perlu dipahami sekali lagi, kebebasan yang dimaksudkan dari anarkisme, terbatas tidak merampas dan mengganggu hak orang lain. Kebebasan, bagi semuanya yang paham betul tentang anarkisme, adalah perjuangan untuk merebut kembali hak-hak asasi manusia mereka yang dicuri. Para anarkis memang cenderung tidak setuju ketika hal-hal yang sebenarnya menjadi hak-hak yang sifatnya asasi bagi manusia, bahkan menjadi hak paling asasi semenjak manusia itu lahir, berujung menjadi komoditas yang tentu saja difungsikan untuk memperkaya para pemilik modal.

Jika kalian meluangkan sedikit waktu untuk merenungi, tentu menyadari bahwa air, tanah, udara bersih dan juga sinar matahari sebenarnya adalah hak yang sifatnya asasi bagi manusia bahkan semenjak manusia tersebut lahir, setiap orang mempunyai hak akan hal-hal tersebut. Ketika air mulai diperdagangkan, maka akan ada pertanyaan,

"Seperti halnya air, berarti hak asasi manusia bisa juga diperjual-belikan, bukan?

Saya tertegun panjang ketika ditinggal kawan saya sebentar untuk meladeni pembeli yang hilir mudik seperti apa yang saya pikirkan. Saya berpikir kenapa pergeseran pemahaman tentang anarkisme bisa seperti itu, malah cenderung ke arah subversif dan kekerasan? Saya yang saat itu baru saja diperkenalkan dengan anarkisme, berusaha keras memahami sejarah anarkisme dan kekerasan—dalam hal ini mencoba mengenali lebih dalam tentang kesalah-pahaman antara anarkis dan sisi gelapnya.

Selanjutnya saya teringat dengan slogan para anarkis Spanyol pengikutnya Durruti yang berbunyi,“Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan.” Memang terkesan sekali penggunaan kekerasan dalam strategi pergerakan. Tetapi, dalam memahami sebuah kalimat atau perkataan perlu kiranya dikontemplasi atau setidaknya direnungkan dulu maknanya, bukan secara mentah ditafsirkan menurut kebijakan emosi sesaat.

Mengutip dari Wikipedia mengenai sejarah anarkisme dan kekerasan; penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan menggunakan aksi langsung atau perbuatan yang nyata sebagai jalan yang ditempuh untuk menyerang kapitalisme. Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dalam bukunya, "What is Communist Anarchist?", pemikir anarkis, Alexander Berkman, menulis; “Anarkisme bukan Bom, bukan ketidak-teraturan atau kekacauan, bukan perampokan dan pembunuhan, bukan pula sebuah perang diantara yang sedikit melawan. Dan bukan juga bagian dari subversif. Kekerasan bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak melulu dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh beberapa oknum dan kalangan sebagai sebuah aksi kekerasan dan pemberontakan. Karena bagaimanapun kekerasan dan pemberontakan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan dari kalangan apapun.

Mari kembali berbicara soal cara pandang kita. Saat kita memandang sesuatu kericuhan kemudian menerjemahkan pengalaman kasat mata tersebut dengan bergumam “barbar”, “liar”, “pembuat onar”, “kotor”, “anarkis”, “tidak tahu aturan”, dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan tak kasat mata. Karena dengan bergumam demikian, seolah kita sedang berkata pada mereka bahwa diri kita “lebih  beradab”, “patuh”, “pintar”, “bersih”, dan “sopan”. Berlaku juga untuk pemandangan-pemandangan lainnya. Ini masalah persepsi, perbedaan cara pandang. Sepele, tapi fatal. Cara pandang ini pula yang seharusnya bertanggung jawab atas bergesernya makna serta tujuan idiologi tersebut yang lambat laun dicap sebagai ideologi yang berbahaya (bahkan rentan dengan pemberontakan)

Dalam upaya me-rekonstruksi pola pikir masyarakat pada umumnya, pergeseran makna dari suatu ideologi itu bersifat dekonstruktif dan membangun ulang, disepakati demi suatu kepentingan, serta dipendam dalam-dalam dan ditaburi bumbu-bumbu menakutkan oleh yang merasa terganggu dengan paham ini. Sebenarnya sebuah ideologi bergerak dinamis, mengalami penyesuaian ataupun perubahan seiring waktu yang mengontemplasinya, namun tetap berdasarkan konsep, nilai-nilai ajaran, serta dasar pemikirannya yang menjadi tujuan awal. Tak seorang pun punya hak berkata bahwa ideologi X atau ambil contoh anarkisme, adalah buruk, kekiri-kirian. Kenapa takut ke kiri, bukankah lajur berkendara kita juga disebelah kiri?

Semakin pemahaman dari sebuah ideologi itu berbeda dengan kenyataan yang kita alami, semakin sulitlah pemahaman itu kita cerna, bukan? Bagaimana dengan kebebasan kita dalam mempelajari konsep-konsep sebuah ideologi ataupun bacaan-bacaan yang dianggap kekiri-kirian tadi? Ada ideologi komunisme, sosialisme, anarkisme, feminisme, dan lain-lain. Bukankah masih ada nilai-nilai positif yang bisa kita ambil dan terapkan dalam diri kita? Setidaknya ada suatu pemahaman yang sifatnya provokatif, akhirnya menjelma dalam laku kritik untuk mengajak otak ini bekerja secara semestinya. Ini pun tetap saja tidak bisa lepas dari anggapan subyektif dalam menilai ideologi-ideologi tersebut.

Di kehidupan saya dulu, saat di dalam proses pembelajaran, contoh sederhana adalah ketika paham komunis dianggap sebagai paham anti agama, dianggap petaka buat negara karena sudah sering sekali kita diberi pemahaman-pemahaman oleh ucapan yang tidak kita pahami secara utuh kebenarannya. Akan tetapi, seiring berjalannya sebuah proses pendewasaan, saya semakin terbuka akan berbagai macam ideologi yang saya coba pelajari dan pahami bisa juga berguna untuk menambah wawasan dan pola pikir saya terhadap sebuah pandangan atau perspektif yang ada.

Saya pikir, apapun nilai-nilai ajarannya, sebuah ideologi itu dinamis, bergerak, tentunya merubah, sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi. Dan dengan dialog positif, kita bisa mencari tahu lebih dalam, apa sejarah, makna, dan tujuan suatu ideologi tertentu. Nilai apa yang terkandung pada suatu pemahaman tersebut hingga pada akhirnya akan kita terapkan dan aplikasikan sebagai sudut pandang terhadap suatu hal. Bukankah sebuah ideologi itu perlu pemahaman secara utuh?

Minggu, 12 Maret 2017

Tentang Semarang, zine, kolektif dan alternatif.

Oleh : Annisa Rizkiana Rahmasari


Tulisan ini Berbicara tentang kota Semarang yang selalu mengingatkan saya pada dinamika kelompok didalamnya. Dalam hal ini, keberadaan kolektif dan support system yang terbangun dalam sebuah kota menjadi refleksi harian setiap orang yang pergi maupun tinggal.

Saya besar di Ungaran, sebuah kabupaten dengan jarak tempuh 50 menit dari kota Semarang. Ketika saya beranjak dewasa, dan seiring kebutuhan berjejaring yang semakin besar, pada tahun 2010 saya mengenal kolektif Hysteria. Disanalah, saya dan seorang kawan yang juga pegiat seni kolase, Riska Farasonalia membuat pameran pertama kami. Kami membuat sebuah kelompok kecil bernama Universum Collectivo, terinspirasi dari kesukaan saya dan Riska terhadap obyek antariksa, pameran tersebut bertujuan mengumpulkan teman-teman yang memiliki konsentrasi yang sama untuk terlibat dalam perhelatan seni bertema daur ulang. Riska telah terlebih dulu berkolase. Ia memanfaatkan botol tak terpakai dan kertas-kertas untuk dikaryakan kembali. Saya sendiri saat itu sedang bersemangat membuat boneka jari dari kertas-kertas bekas. Perkenalan kami kemudian berlanjut ke kelompok yang lebih luas. Saya mulai sering berkunjung ke acara musik dan pameran. Dari kultur punk, saya pun mengenal istilah media alternatif atau zine. Tahun itu pun menjadi kali pertama saya mengarsipkan karya saya secara mandiri.

Semarang memiliki pertarungan yang sengit dalam kaitannya dengan pengembangan jaringan, regenerasi, estafet budaya, maupun kepemilikan sumber daya manusia. Meskipun seiring waktu berjalan, saya belajar bahwa sesungguhnya hal yang sama dialami oleh kota lain juga. Terkadang persoalan ini hanya perkara romansa kota yang ditandai sebagai ikon kegiatan tertentu. Kami yang tinggal di Semarang, kala itu masih belum dapat menemukan hal apa yang paling mewakili kota ini. Semarang begitu berbeda dengan kawan-kawan yang lain, katanya. Sulit menghubungkan pemegang-pemegang simpul dalam masyarakat untuk terpadu dalam satu tujuan, membangun budaya berkota, yang seperti apa.

Tak terkecuali ketika melihat naik turun perkembangan media alternatif atau zine di kota Semarang. Kami pernah merasa, sulit untuk mengajak anak-anak muda bersemangat menulis atau pun membaca. Dan yang tinggal hanyalah segelintir orang yang terus bergerak tak peduli betapa kesepian diri mereka. 1 hingga 3 paling banyak. Yang lebih membuat heran adalah, setiap orang ini kadang mengelola atau mengerjakan agenda yang berat. Saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang juga aktif dalam kegiatan mengarsip di web, “Ini kamu semua yang ngerjain?” – “Iya mbak, habis siapa lagi?”


Permasalahan yang sama pernah juga dialami oleh Hysteria, teman-teman lantas sungguh akrab dengan keluar masuknya orang-orang. Solusi seperti bekerja sukarela untuk sebuah gerakan kolektif mungkin dapat menjadi solusi, namun seberapa mampukah solusi ini menjawab kebutuhan yang lebih besar? – menularkan semangat berkarya, misalnya.

Ketika saya melakukan riset kecil tentang zine di Semarang, mayoritas penulisan datang dari gerakan bawah tanah. Lewat gigs dan beberapa titik nongkrong, zine yang mulanya hanya newsletter ini berkembang dengan signifikan. Ulasan acara musik, iklan distro, buku-buku, dan film yang direkomendasikan menjadi topik yang populer ditulis. Gaya uraiannya pun unik, kadang sekenanya, namun sering kali serius ala kelompok hip-hop underground terkenal kota Kembang. Disiplin, dan progresif. Seakan berhutang pada kultur ini, tanpa punk mungkin semangat membuat zine tidak akan semenarik sekarang.

Suatu kali pernah terlintas dipikiran seorang kawan,”Apa yang membuat kegiatan kami tidak dilakukan juga oleh kelompok lain?”

Di Semarang, teman-teman menjadi terbiasa bekerja sendiri. Kami tumbuh untuk memahami bahwa kekuatan mencipta harus terlebih dahulu kuat kedalam, bukan bergantung pada kelompok pertemanan alih-alih pemerintahan. Sebab selain terlampau sering kesepian, bila saya boleh menyiratkan demikian, sikap yang sedikit keras kepala ini membuat kami tidak lembek saat harus berproses dengan berbagai macam kepentingan. Namun kebiasan ini juga, seperti natural saja memiliki akibatnya karena pengkultusan seseorang maupun sebuah kelompok justru akan dengan sendirinya membatasi kesempatan mengestafetkan nilai-nilai yang hendak dibangun. Kerja apresiasi menjadi bias, karena disaat yang sama penonton-penonton baru antusias, namun tidak ingin melakukan hal yang serupa. Akhirnya beberapa orang berpindah dari kota ini, bukan karena membenci. Tapi lebih pada mencari sudut pandang lain. Seperti kata pepatah, “Gajah dipelupuk mata tak tampak.” Mereka pun mencoba mengaplikasikan hukum ini terhadap tempat kelahiran mereka.

Dalam dua tahun terakhir setelah melewati negosiasi dan koordinasi yang alot dengan stake / shareholder. Tempat-tempat baru kini mulai bermunculan di Semarang. Jalanan dibangun dengan rapi, beberapa bangunan bersejarah dikelola dengan baik, semacam dilahirkan kembali dan diberi arti baru. Anak-anak muda di kota juga berkesempatan mengikuti agenda kesenian yang cukup bergengsi baik didalam maupun luar negeri. Mereka yang saya kenal, entah kemudian bergerak sendiri maupun berkelompok ini telah melalui pergulatannya masing-masing. Sebab berkesenian seperti halnya ibadah, katakanlah doa. Ada pahala-pahala baik serupa ilmu, pemanfaatan, dan pengalaman yang lebih, justru ketika kita berhasil menciptakan keterbukaan antar generasi.





Selama 5 tahun terakhir, saya menghabiskan waktu di Semarang secara intens. Saya tidak tumbuh di rumah, saya tumbuh bersama teman-teman saya. Kami mengetahui jatuh bangun masing-masing. Diantara mereka ada yang secara tekun menumbuhkan sayap dan daun, namun beberapanya dengan sadar memutuskan berhenti. Diantara waktu-waktu kesulitan mencari lawan bicara dengan energi yang sama (yang kemudian hari saya tahu ini merupakan hal yang bodoh) saya akhirnya memutuskan untuk berpetualang sendiri, berpindah, melompat dari kebiasaan satu kelompok ke kelompok yang lain. Dengan alasan sederhana, saya ingin melihat apa yang mereka lihat.

Kesempatan berharga seperti berjejaring dan bertukar pengetahuan membawa kegiatan zine making pada skala yang lebih luas. Zine sebagai medium berpameran. Kini istilah media alternatif ini pun harus dipreteli. Agar nilai maupun artinya dapat diterima oleh kelompok yang lebih besar, kita harus menghilangkan istilah zine. Saya memakai penyebutan buku / majalah yang kita buat sendiri. Tentu dalam prosesnya, baik sebagai maupun bukan seniman, ada tantangan yang lebih besar yaitu bagaimana membuat semangat ini terhubung dengan keseharian orang lain baik yang anak maupun yang dewasa. Acap kali saya dan beberapa teman berpikir, apakah kegiatan yang kami buat ini betul-betul memberi manfaat bagi orang lain?

Kami tak pernah tahu. Namun dari apa yang saya yakini, apabila kita berniat baik maka kebaikan pun tak akan jauh dari kami.



YANG KOLEKTIF DAN ALTERNATIF

Pada satu kesempatan, saya pernah menghadiri sebuah lokakarya literatur alternatif yang diadakan di Semarang. Kala sesi tanya jawab, seorang kawan bertanya, “Dapatkah media alternatif menjadi yang mainstream ketika pada fungsinya ia telah mampu digunakan oleh banyak orang? Seperti zine menggantikan koran?”

Berbicara tentang alternatif, tentu akan lekat dengan definisi alternatif itu sendiri. Sebuah kegiatan yang pada praksisnya, tidak berada dalam jalur arus utama. Istilah ini kemudian melahirkan pilihan-pilihan media komunikasi dengan semangat DIY / DIWO* seperti zine, komik, pamflet, newsletter, video, musik, dll sebagai usaha untuk tetap exist dalam silang sengkarut budaya arus utama.

Yang menarik adalah, kita sering kali kesulitan menentukan pihak mana yang berada dalam arus utama dan pihak mana yang membuat pilihan. Namun dilihat dalam praktek penguasaan media, tentu yang menjadi mainstream adalah penguasa modal terbesar, dapat berupa swasta maupun negara, serta bertujuan untuk memperoleh keuntungan besar.

Fenomena tersebut akhirnya mematik lahirnya gerakan alternatif. Adalah cara-cara memperluas ruang hidup dimana keuntungan diraih dan dibagi dalam kelompok (bukan dimiliki perorangan), karya-karya kritik diciptakan, pengetahuan baru dimaksimalkan sedemikian rupa dari apa yang sudah ada, memperbanyak pilihan barang komplementer yang tepat guna serta sistem finansial tidak bergantung pada negara. Seiring kebudayaan bergerak semakin kompleks, demikian pula dalam pembagian apa-apa yang mainstream dan alternatif, lahirlah sebuah kelompok baru dalam masyarakat yang sering disebut hipster. Dimana kelompok ini sering kali bergerak pada kegiatan-kegiatan perlawanan, aman dalam kemampuan keuangan, seringkali timbul dan tenggelam, yang lewat merekalah pertemuan arus utama dan yang bukan arus utama dibiaskan. Pengetahuan kolaboratif yang ditawarkan oleh internet juga memegang peranan besar dalam pertemuan tersebut. Masing-masing fenomena media mengalami anomali, tidak lagi hitam-putih.




Gerakan sosial yang bertalian dengan kehidupan kolektif, sering memanfaatkan media alternatif baik cetak maupun digital dalam fungsi penyebaran informasi, propaganda, serta perluasan akses. Gerakan sosial, keberadaan kolektif, dan bagaimana media ada ditengah-tengah mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain meskipun konsep alternatif sendiri berubah seiring dengan dinamika kebudayaan paska modern yang kompleks. Alih-alih terikat konsep secara harfiah, apa yang alternatif kini diterjemahkan kembali oleh masing-masing anggota maupun kelompok secara praksis.

Beberapa teman yang saya wawancarai lebih memilih untuk menjadi cair dalam mengartikan apa yang alternatif bagi mereka, mulai bertolak dari apa yang ada, memaksimalkan fungsi barang substitusi, menjadi lebih kreatif, hingga menyesuaikan kebutuhan kelompok.

“Tergantung alternatif dari apa. Definisi menjadi problematis dan istilah-istilah itu menjadi sophisticated, kemudian baru kembali sebab ada fenomena yang selalu terbarukan. Bagi kami keberadaan media alternatif penting karena ada kebutuhan mediasi yang tidak terwakili media arus utama. Tulisan sendiri lebih sebagai penunjang, karena tiap kata yang ditulis dan mewakili gagasan sebenarnya tidak sepenuhnya akan diterima orang lain sesuai tafsir kita pada awalnya. Tapi sekurang-kurangnya dengan bikin media sendiri wacana menjadi lebih variatif dan punya kesempatan untuk mengayakan atau bahkan melawan representasi yg sudah umum. Istilah-istilah itu kita pakai sesuai kebutuhan sesuai dengan siapa kita ingin dipahami. (Adin | Propaganda Hysteria zine

Artivism and Tech - Art

Ketika berhadapan dengan penciptaan karya berbasis teknologi, alternatif diterjemahkan kembali dalam semangat hacking seperti menciptakan alat berbiaya murah yang fungsinya dapat dimaksimalkan. Saya berdiskusi dengan Iyok, seorang self taught programmer yang juga kontributor platform pembelajaran elektronik bernama COCOMAKE. Minimnya open source dan mahalnya alternatif lain seperti Makey Makey Go membuat ia dan beberapa developer memilih mengembangkan platformnya sendiri lewat kegiatan lokakarya dengan memaksimalkan microcontroller berbiaya murah yang mudah didapatkan dipasaran. Sebagai contoh, alat Arduino bisa berharga $20 sedangkan pilihan kreatif yang ditawarkan cocomake, bisa dibuat dengan biaya produksi hanya $2.

Aktivisme lewat penciptaan karya alternatif dalam tujuannya, mencoba memperluas distribusi pengetahuan bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses apa yang terberikan oleh arus utama. Tak terkecuali dalam proses zine making. Secara harfiah tentu istilah zine sangat tidak biasa. Zine berkembang mulai dari media perlawanan hingga menjelma menjadi karya seni dengan sentuhan estetik yang creatively absurd. Mereka (zine makers), terkadang membredeli istilah alternatif, meloncat langsung pada eksekusi karya, tidak peduli lagi pada apa yang yang bagus dan tidak dalam penciptaan karya seni maupun media cetak, zine makers merangkai definisi mereka sendiri bahkan ketika definisi itu sifatnya sangat personal.

Rabu, 01 Maret 2017

Ngobrol Sore Bersama Wowod






Interviewer : Viko Prasetya
Transkrip rekaman wawancara asli dilakukan dengan menggunakan bahasa Jawa dan diedit tanpa mengurangi isinya oleh Manusia Kera.


Tahun 2016 telah berakhir dan tahun 2017 baru saja dimulai. Bagaimana kabarmu, mas Wowod?
Kabar baik, sehat. Seperti biasa, selalu sibuk dengan rutinitas kerja, mengurus keluarga dan juga ini sedang tambah sibuk dengan berbagai kegiatan merekam musik di studio kecil di rumah. Tahun 2016 kemarin lumayan berkesan, saya memulai perintisan sebuah record label baru bersama beberapa teman dan sekaligus memulai penggarapan album baru dari band saya, Syndrome, yang hampir lebih dari sepuluh tahun ini tidak mengeluarkan rilisan apapun. Selalu menyenangkan ketika mulai sibuk oleh berbagai kegiatan yang sebenarnya memang sudah menjadi kesenangan dan hobi. Hampir sejak kecil saya tumbuh besar dengan berkegiatan dalam hal musik dan iya, saya sangat mencintai musik. 

 Apa yang menjadikan alasan untuk mencintai musik?
Begini, jaman muda dulu, era sekitaran awal 90'an, kebanyakan anak muda ingin terlibat dalam sebuah band dan memainkan musik untuk menarik perhatian. Ya sebenarnya kalau mau terus terang, supaya lebih cepet dapat pacar, haha. Saya kurang ingat apakah saya juga mempunyai motivasi serupa ketika tergerak untuk memainkan musik. Yang jelas, ada rasa nyaman yang tergapai ketika menekuni musik dengan berbagai pernak-perniknya. Dan lagi, sudah sejak kecil terobsesi dengan instrumen yang bernama gitar. Alat musik yang mempunyai senar dan bahkan ketika dimainkan tanpa iringan instrumen musik lainnya pun, tetap bisa menghibur warga satu kecamatan. Saya suka menghibur orang, membuat orang senang atau mendapatkan sesuatu ketika menikmati musik yang saya mainkan. Awalnya sesederhana itu.

Saya main musik sejak sekolah menengah pertama, sejak umur belasan. Sempat berganti-ganti menekuni posisi vokalis dan akhirnya mantap memainkan gitar. Mendapatkan gitar pertama sekitar tahun 1991, sebuah gitar Ibanez tipe RG550 buatan Jepang pabrikan tahun 1988. Gitar tersebut sampai sekarang masih saya rawat dan tidak ada niatan untuk menjualnya. Saya suka sentimentil kalau sudah menyangkut barang yang bernilai historis, hehe. Kalau kalian suka bermain dan berbagi pengalaman masalah gitar, ataupun musik pada umumnya, silahkan mampir ke tempat saya, mari belajar bersama.

Bisa bercerita suasana komunitas musik di Semarang di era muda mas Wowod dulu?
Hingar bingar komunitas musik di Semarang sekitar era 80'an dan 90'an sudah marak, walaupun tentu suasananya berbeda dengan komunitas musik Semarang era sekarang. Tanpa bermaksud membandingkan antara era dulu dan sekarang, kegiatan bermusik Semarang era-era dulu lebih banyak didominasi dengan konsep festival, perlombaan, ada yang kalah dan ada yang menang. Dengan sendirinya parameter keberhasilan sebuah unit musik diukur dari seberapa sering intensitas band tersebut mengikuti atau menjuarai sebuah perlombaan musik. Saya sendiri sempat menekuni dunia bermusik yang seperti itu selama di sekolah menengah atas hingga akhirnya saya mendirikan sebuah unit metal bernama Syndrome.

Syndrome memainkan death metal yang notabene apresiator genre musik tersebut masih jarang waktu itu. Mulai dari situ saya tersadar bahwa ketika ingin menjaring apresiator yang lebih luas dengan tetap memelihara idealis bermusik, harus ada sesuatu yang diupayakan walaupun untuk ukuran waktu itu tidak umum dilakukan. Kami mulai membangun komunitas musisi yang merasa senasib, dimana musisi-musisi tersebut memainkan musik yang notabene minim apresiator karena kebanyakan orang, waktu itu, menganggap musik yang mereka mainkan terlalu nyleneh atau bahkan ekstrim. Perilisan media alternatif dalam bentuk news letter walaupun masih dalam bentuk foto-kopian hitam putih dan layout sekedarnya mengingat waktu itu belum populer penggunaan komputer, hehe iya, kami masih menggunakan teknik gunting tempel. Dan yang paling krusial adalah ketika kami bersama-sama sepakat untuk mengorganisir sebuah gig untuk mengakomodir keinginan kami untuk tampil di atas panggung sekaligus para apresiator yang pelan-pelan mulai terbentuk dan tentu saja butuh sebuah panggung musik untuk diapreasiasi. Dari situlah akhirnya pemahaman kami tentang musik independen terbentuk. Waktu itu orang-orang mungkin lebih mengenalnya dengan istilah "Underground".

Jangan bertanya masalah kendala. Tentu saja banyak sekali kendala yang kami temui ketika mengupayakan itu semua. Mulai dari susahnya mencari sponsor karena dulu, untuk mengadakan sebuah acara musik itu membutuhkan biaya yang sangat besar. Tempat penyelenggaraan acara yang jarang mau menerima musik-musik yang bisa dikatakan keras, serta tak lupa susahnya medapatkan izin keramaian dari aparat karena citra-citra negatif yang terlanjur ditempelkan kepada kami. Waktu itu kami masih muda, segar, penuh amarah dengan enerji yang berlebih dan bahkan cenderung mencari tantangan. Semua kendala tersebut kami anggap tantangan yang harus ditaklukkan. Dan tentu saja, kami segera merespon kendala-kendala tersebut dengan suka-cita, sepenuh hati, gegap gempita dan iya, bergandeng tangan sesama kawan.

Apakah ada wadah komunitas atau gig-gig ikonik yang sempat tercipta?
Mungkin kalian pernah mendengar nama W.A.R.S.- akronim dari Wadah Artis Rock Semarang, sebuah wadah yang sempat eksis di era 90'an, digagas oleh beberapa teman yang memandang perlunya keberadaan sebuah wadah bagi musisi-musisi rock yang sedang berjuang membangun eksistensi mereka. W.A.R.S sendiri akhirnya lumayan berfungsi mendukung perjuangan para musisi "underground" di kota ini pada waktu itu. Mulai dari membangun jaringan dengan para pegiat dan promotor musik di kota-kota lain, membangun negosiasi dengan para pihak-pihak terkait venue acara dan juga memfasilitasi gig-gig kecil reguler sampai event akbar seperti Proklamasi Rock yang diselenggarakan di Stadion Diponegoro pada tahun (kalau tidak salah) 1992. Lambat laun, para individu yang lebih concern pada genre metal, sepakat mendirikan sebuah wadah tersendiri bertajuk Scaterred Brain Society (S.B.S.) untuk mengakomodir para pelaku dan apresiator musik metal di kota ini. S.B.S. sendiri digagas oleh vokalis Syndrome, Luthfi Debronzes, dan bertahan sampai sekarang yang kepengurusannya diteruskan pada pelaku-pelaku komunitas yang lebih muda.

Ada beberapa gig yang lumayan krusial dan sempat teratur penyelenggaraannya waktu itu. Salah satunya untuk ukuran sebuah mini gig diselenggarakan secara teratur selama sekitar satu tahun pada tahun 1992, setiap hari Minggu di Open Theatre Taman Budaya Raden Saleh dengan tajuk : Sunday Rock Concert. Dengan harga tiket masuk yang bisa dikatakan murah, Rp. 1.500,- gig ini sempat menjadi ajang penting pembuktian hasil latihan tekun para musisi-musisi tersebut selama di studio. Dengan frekuensi penyelenggaraan setiap hari Minggu, gig ini sekaligus juga merangsang para anak muda untuk membentuk band-band baru. Jumlah apresiator bisa dikatakan cenderung meningkat dari minggu ke minggu. Hal tersebut ikut pula memperkuat jalinan komunikasi di antara para pelaku musik di Semarang waktu itu. Syndrome sendiri rutin berpartisipasi di gig tersebut untuk sekian lama bersama band metal-metal lainnya, termasuk salah satunya yang masih eksis hingga sekarang, Radical Corps.             

Selain mini gig reguler bertajuk Sunday Rock Concert tersebut, beberapa acara akbar krusial juga sukses diadakan. Salah satunya yang paling teringat dan sudah saya sebutkan sebelumnya adalah gelaran Proklamasi Rock pada tahun 1992. Diadakan di Stadion Diponegoro, helatan ini diramaikan oleh band-band kugiran di kota ini waktu itu serta beberapa penyanyi rock ibu kota seperti Mel Shandy. Berbanding lurus dengan titel acaranya, jumlah penonton yang membludak hingga ribuan orang seakan menegaskan, bahwa apa yang kami rintis bertahun sebelumnya, akhirnya berhasil menuai apresiasi. 




 Dan kalau pendapat mas Wowod tentang kehidupan komunitas musik di Semarang pada era-era sekarang?
Komunitas musik Semarang era sekarang? Yang jelas makin marak, makin meriah. Skill bermusik anak muda jaman sekarang, di kota ini, bisa terbilang semakin mumpuni. Beragam referensi musik yang juga semakin beragam, ditunjang kemudahan untuk mendapatkan referensi itu sendiri dari internet serta tingginya kesadaran untuk mengorganisir gig mereka sendiri diikuti kegiatan berjejaring yang massif dengan para pelaku media alternatif, sangat membantu dalam membangun skena musik di Semarang.

Sangat bersyukur ketika sekarang ini semakin banyak alternatif venue yang bisa dipergunakan untuk membuat acara, kita hanya harus mengupayakan supaya venue-venue yang sekarang ini bisa kita gunakan, tetap bisa dipakai untuk jangka waktu yang lama. Menurut saya, sudah tidak jamannya, dan bahkan kampungan sekali jika masih ada orang-orang yang masih hobi berkelahi pada waktu acara hanya dengan alasan mabuk dan kemudian membuat pemilik venue menjadi enggan untuk menyewakan tempatnya lagi kepada kita. Hal-hal seperti itu merugikan.

Dan yang membahagiakan sekali adalah, anak-anak muda sekarang itu sadar betul bahwa musik yang sudah mereka rekam, harus mewujud sebuah rilisan fisik. Apapun bentuknya, mau CD ataupun kaset. Jaman dulu, untuk sekedar rekaman itu sangat mahal apalagi sampai merilis sendiri karya musik dalam bentuk rilisan fisik. Alternatif studio rekaman dengan berbagai karakternya yang semakin marak di kota ini juga sangat membantu. Kota ini butuh itu, infrastruktur dan sarana penting dalam hal perekaman dan distribusi karya musik.

Media dan distribusi. Mungkin kedua hal tersebut yang masih perlu dibangun lagi di kota ini. Semarang sepertinya memang kekurangan kanal-kanal media yang khusus mendedikasikan enerji jurnalistik mereka untuk kemajuan dunia musik di Semarang. Keberadaan Kaum Kera zine ini serta webzine semacam Semarang On Fire adalah sebuah kemajuan yang sangat berarti. Saya sendiri juga tertarik untuk membangun sebuah webzine dengan enerji dan dedikasi yang semacam, untuk kemajuan skena musik Semarang. Semoga akan ada banyak teman-teman yang lain, juga terpicu untuk membangun hal serupa.

Dengar-dengar sedang membangun sebuah studio rekaman dan record label, mas?
Iya, sudah berjalan sejak sekitaran bulan Juli 2016 kemarin. Untuk studio rekamannya bernama : Iwod Creative Labs, sementara untuk record label bernama : Mahardika Media.

Awalnya, adalah para personil Yagim Grind yang datang dan bertanya tentang apakah saya mempunyai kemampuan untuk merekam musik sekaligus mengolah data sound alias mixing dan mastering. Mereka berencana merekam materi-materi grindcore untuk album perdana, tapi memang, mereka sedang terkendala budget yang mepet. Kebetulan di rumah memang sebenarnya sudah ada alat-alat serta software untuk merekam musik, walaupun waktu itu memang belum lengkap benar. Saya bilang waktu itu ke mereka, para personil Yagim Grind, untuk mencoba dulu. Dan akhirnya semenjak itu, saya kembali mengasah kemampuan saya dalam hal pernak-pernik recording.

Dan selama proses recording album Yagim Grind tersebut, saya banyak berdiskusi dengan mereka tentang tetek bengek studio rekaman dan konsep record label. Dan akhirnya timbul ide tersebut, membangun sebuah studio rekaman dan record label sebagai usaha mandiri. Selain itu, tentu saja kami juga mempunyai misi untuk membantu teman-teman yang berniat mengeksekusi karya-karya mereka mewujud dalam bentuk rekaman fisik. Seperti yang saya katakan tadi, studio rekaman yang mempunyai akses mudah serta keberadaan sebuah record label, pasti memberikan banyak manfaat bagi pembangunan sebuah skena musik.

Dan syukurlah, semenjak kami woro-woro via getok tular dan medsos, banyak band serta individu yang datang berniat merekam karya mereka di Iwod Creative Labs. Beberapa yang kami pandang bagus dan layak untuk diapresiasi, kami tawarkan sebuah kontrak perilisan dan distribusi album mereka melalui Mahardika Media. Mohon doa, semoga semuanya lancar untuk ke depannya.

Tadi mas Wowod bilang tertarik untuk ikut membangun sebuah media berbentuk webzine. Kalau menurut mas Wowod, apa pentingnya sebuah media dalam sebuah pergerakan skena?
Bukannya mendiskreditkan barisan media-media arus utama, tapi dari apa yang saya lihat, mereka media arus utama lebih banyak mengakomodir karya-karya musik yang berdamai dengan pasar. Para musisi yang memainkan musik idealis semacam : punk rock, thrash metal, hardcore ataupun death metal harus mampu membangun media mereka sendiri supaya karya-karya mereka mendapatkan porsi apresiasi. Berhenti berharap pada media-media arus utama yang memang mempunyai kepentingan penjualan oplah.

Seperti yang saya bilang tadi, saya kagum dengan eksistensi media alternatif di kota ini, seperti Kaum Kera dan juga kanal online Semarang on Fire yang benar-benar mendedikasikan enerji jurnalistik mereka untuk kemajuan komunitas musik di Semarang. Enerji seperti itu biasanya menular karena pasti memprovokasi yang lainnya untuk ikut mewujudkan partisipasinya dalam hal media.

Media itu mampu mempengaruhi massa selain tentu saja juga berfungsi memperluas lingkup penyebaran sebuah karya musik. Media itu mengabarkan, dan orang-orang, entah lamat atau penuh penyimakkan, pasti mendengarkan. Komunitas musik di Semarang membutuhkan hal tersebut, media.



Kenapa memainkan death metal, mas?
Kalau musik yang fungsinya untuk didengarkan sehari-hari, entah sebagai background ketika mengerjakan sesuatu, atau musik yang benar-benar saya dengarkan ketika  mengapresiasi musik, saya tidak pilih-pilih masalah genre. Saya menikmati semua album Chrisye, Utha Likumahuwa, Godbless dan juga jazz semacam Ermy Kulit. Bahkan saya adalah salah satu penggemar berat dari duet abadi almarhum Benyamin Suaeb dan Ida Royani. Pemilihan musik yang fungsinya untuk didengarkan, saya mendasar pada kebutuhan dan situasi tanpa memandang genre.

Dan kemudian kembali ke pertanyaan tentang kenapa saya lebih memilih memainkan death metal bersama Syndrome hingga sekarang. Saya pecinta musik keras sejak usia muda. Saya mulai belajar main musikpun dari album-album yang bisa dibilang keras untuk ukuran waktu tersebut. Saya tumbuh besar bermain musik dengan album-album dari Napalm Death, Anthrax, Terrorizer, Slayer dan juga Kreator. Waktu itu memainkan metal di atas panggung, bertelanjang dada sambil kaki satu nangkring di atas speaker monitor panggung, sangat terasa gagah. Anak muda tentu saja butuh merasa gagah dong.. haha. Yang jelas hal tersebut yang saya rasakan ketika bermusik di masa muda. Dan pengartian akan hasrat memainkan musik dengan hasrat untuk mendengarkan musik, tentu saja berbeda pemicunya kan? Saya menemukan saluran dan frekuensi yang tepat bagi enerji bermusik dalam diri saya ketika memainkan death metal. Saya kira setiap orang juga mengalami hal yang sama dalam aktivitas bermusik mereka.

Ada tips tersendiri bagi teman-teman lainnya yang sedang menggiati instrumen gitar, mas?
Bermain gitar itu sebenarnya adalah masalah ketenangan, masalah fokus. Kalau kita sudah fokus, pembelajaran ataupun peningkatan kemampuan untuk bermain gitar tentu lebih mudah di capai keberhasilannya. Saya sendiri juga disibukkan oleh rutinitas kerja seperti halnya teman-teman lainnya yang juga bekerja, tapi saya selalu menyempatkan diri untuk bermain gitar paling tidak satu jam dalam sehari. Bermain gitar, seperti kemampuan-kemampuan lainnya, juga butuh disiplin dalam pembelajarannya. Bermain gitar adalah kebisaan yang sangat saya jaga, bahkan jika suatu saat ketika mungkin, saya sudah tidak terlibat dalam sebuah band lagi, saya akan tetap bermain gitar. Hehe.

Ketenangan juga berpengaruh ketika kalian berada di atas panggung. Sebagai gitaris, kalian harus memastikan tentang banyak hal sebelum sebuah perform band dimainkan. Seperti memastikan bahwa semua pedal yang dipakai instalasinya sudah benar, memastikan bahwa senar dalam keadaan baik, memastikan tuning sudah tepat dan yang terakhir adalah memastikan sound gitar kalian sudah sesuai dengan yang kalian inginkan. Jika kalian tenang, hal-hal tersebut akan mampu kalian capai dengan hasil yang lebih baik dan tentu saja akan mendukung kenyamanan kalian ketika perform. Gitaris butuh untuk tenang, fokus.

Apa rencana band mas Wowod, Syndrome, dalam waktu dekat ini?
Dalam waktu dekat, album pertama yang dulu kami rilis tahun 2007, akan dirilis ulang oleh Hitam Kelam Records, sebuah label metal dari Bogor. Kemarinan ini semua personil Syndrome barusan melakukan review atas rekaman fisik aslinya dan kami sepakat melakukan mastering ulang untuk proyek ini. Bahkan untuk sesi gitar kami juga melakukan perekaman ulang. Prosesnya sudah hampir selesai, tinggal sedikit lagi proses mastering. Semoga ketika rilis edisi re-issue nanti soundnya bisa tetap up to date dan tidak mengecewakan para apresiatornya. Mohon doa.

Sementara untuk rilisan Syndrome yang baru, sekarang sudah berhasil terekam 4 materi baru. Rencananya nanti akan berbentuk extended play album yang berisi 6 komposisi dan dirilis oleh label yang sedang kami bangun dan sudah saya sebutkan di awal tadi, Mahardika Media. Death metal yang dimainkan Syndrome sekarang mempunyai muatan groove-groove yang intens serta karakter sound gitar yang memang sengaja kami bikin lebih berat dan kasar. Lirik-lirik yang ditulis oleh Debronzes nuansanya gelap dengan cerita berkisar masalah persoalan psikologi manusia. Semoga besok awal tahun 2018 sudah bisa kami rilis.

Boleh dibilang mas Wowod adalah salah satu yang veteran di komunitas musik Semarang, khususnya metal. Kalau mengikuti band-band lokal di Semarang pada era sekarang, mana saja yang menurut mas Wowod layak untuk direkomendasikan?

. Radical Corps
Selain adalah kawan seperjalanan seperjuangan, band ini mampu menerjemahkan thrash metal ala Sepultura tanpa harus menjadi plagiat bagi Sepultura sendiri. Musik Radical Corps itu signature-nya kuat dan penuh dengan enerji serta tidak main-main penggarapan komposisinya. Rudy, sang vokalis sekaligus konseptornya, sepertinya paham benar bagaimana resep menciptakan lagu yang anthemic dan mempunyai kekuatan untuk provokasi. Lirik mereka kritis, sangat. Bisa kalian dengarkan di lagu "Bantai". Saya menyamakan pencapaian level enerji lagu tersebut dengan hits Sepultura yang berjudul "Refuse/Resist". Provokatif, membakar.

. Distorsi Akustik
Jangan GR mengira karena kamu sedang menginterview saya, terus saya merekomendasikan band kamu, haha. Tapi memang, mini album Pu7i Utomo, menurut saya adalah salah satu karya yang bisa dibilang terbaik yang dilahirkan oleh musisi Semarang. Dan iya, saya adalah juga penggemar berat U2 yang menjadi pengaruh utama dari Distorsi Akustik. Siapa yang tidak akan ikut bernyanyi ketika mendengarkan komposisi kuat semacam : "Man who Called Eve"? Lagu ini menjadi salah satu yang masuk dalam playlist wajib pemutar musik di dalam mobil setiap berangkat kerja di pagi hari.

. Sunday Sad Story
Saya tidak begitu menggilai metal core, tapi Sunday Sad Story saya pikir adalah salah satu dari sedikit band di Semarang yang benar-benar memperhatikan detail sound dalam musik yang mereka mainkan, entah ketika rekaman ataupun live di atas panggung. Sound mereka selalu megah, baik dalam rilisan album mereka maupun ketika mengapresiasi Sunday Sad Story bermain di atas panggung. Hal itu patut dicontoh oleh teman-teman musisi lainnya di kota ini. Sound adalah masalah penting.

. AK//47
Saya mengenal band grindcore ikonik ini sejak lama. Dan dari yang saya perhatikan, grindcore yang mereka mainkan selalu berubah-ubah pada setiap rilisan. Tapi AK//47 mampu menjadi ikon musik di kota ini dengan pertanggung-jawaban aksi langsung dalam hidup sehari-hari yang berbanding lurus dengan lirik-lirik super kritis yang mereka suarakan. Tidak banyak band yang memperlakukan musiknya berdasarkan ideologi politis seperti itu di Semarang. Dan lihatlah, album terakhir mereka, bahkan berhasil masuk dalam jajaran 20 album musik terbaik Indonesia versi majalah musik terkemuka, Rolling Stone.

. Yagim Grind
Band ini berisi individu-individu yang dulunya mendirikan AK//47. Kesit, si vokalis yang sebelumnya mengaku pada saya bahwa tidak tertarik bermain musik lagi, akhirnya mengurungkan niatnya untuk pensiun setelah teman-temannya memprovokasi dia untuk membentuk sebuah band grindcore baru. Hasilnya? Sebuah kumpulan materi-materi grindcore berat dengan karakter old school tapi sekaligus kaya dengan selipan-selipan chords dan beat yang sangat nge-rock. Dan yang perlu diperhatikan, band ini muatan liriknya sangat kritis berdasar pada hasil kontemplasi mereka terhadap berbagai hal yang mereka lihat, dengar dan baca. Iya, personil band ini hampir semuanya kutu buku, saya jarang pula menemui band dengan karakter personil-personil seperti mereka. Lirik adalah salah satu detail yang digarap serius dan tidak main-main dalam grindcore yang mereka mainkan. Proses penulisan lirik Yagim Grind selalu didahului dengan diskusi panas yang berapi-api. Kebetulan, Yagim Grind menjalani proses penciptaan karya mereka di Iwod Creative Labs, jadi saya memperhatikan betul proses penciptaan karya yang mereka lalui. Jika kalian adalah penggemar grindcore ala Napalm Death dan Terrorizer dengan penulisan lirik yang tidak main-main, silahkan tunggu album penuh perdana Yagim Grind yang rencananya akan dirilis juga oleh Mahardika Media berjudul Amor Fati Ego Fatum. Komposisi-komposisi grindcore dalam album tersebut sangat saya rekomendasikan untuk disimak.  

Sebenarnya masih banyak lagi band-band di kota ini yang saya pikir potensial, tapi sepertinya nggak akan cukup sehari jika saya membahas semuanya, hehe. Saya senang sekali dengan munculnya komunitas-komunitas musik yang mampu mewakili sekaligus mengakomodir genre yang mereka mainkan seperti Jazz Ngisor Ringin ataupun Semarang Ska Foundation sebagai cotohnya.

Ok, terima kasih sekali mas Wowod atas waktu dan kesediaan untuk wawancara. Sangat kami tunggu rilisan-rilisan berikutnya dari Syndrome. Silahkan menyampaikan sesuatu untuk mengakhiri wawancara ini, mas.
Selagi muda, ciptakanlah karya. Karena karya yang didokumentasikan dalam bentuk fisik, pada akhirnya akan  terus didengarkan oleh generasi selanjutnya. Karya dalam bentuk fisik, seperti halnya sebuah monumen, tidak mengenal batas zaman. Sebuah karya ketika didokumentasikan, pasti akan memberi inspirasi. Maju terus skena musik Semarang.        



Senin, 27 Februari 2017

Mengunyah Kembali Semarang Sebagai Sebuah Riwayat

Mengunyah Kembali Semarang Sebagai Sebuah Riwayat
Sebuah resensi buku berjudul Remah-Remah Kisah Semarang karya Rukardi 
Oleh : Akhmad Dzikron Haikal


 “Perhatian! Kepada sekalian para tamu djika hendak pulang, batas waktu sampai djam 13.30, seliwatnja djam tsb. di atas dianggap 1 malam. II. Kami tidak menjediakan kamar untuk tamu jang bayar bulanan…” ~ (Remah-remah Kisah Semarang, hal 225). 

Siapa yang menyangka jika di Jalan Bangunharjo kawasan Kauman dulunya adalah kampung seribu penginapan. Daerah yang kita kenal sebagai salah satu bagian dari kawasan pasar Johar itu banyak sekali hotel yang berdiri di sana kala itu, dan salah satu buktinya adalah tata tertib yang berejaan Soewandi itu masih menempel di loket pembayaran Hotel Muslimin yang dibuat pada tahun 1960-an. 

Memang pada tahun tersebut, tentunya saya belum lahir, apalagi tinggal dan menetap di Kota Semarang. Jika dinominalkan dalam sebuah usia, baru sepuluh tahun saya mengenal dan hidup di kota Semarang. Ya, usia yang setara dengan anak kelas empat sekolah dasar. Usia yang belum begitu matang dalam menjalin sebuah hubungan, apalagi menjalin terlalu dalam dan intim. Jujur saja sampai detik ini saya belum mampu merasakan bahwa Semarang adalah bagian dari diri saya. Namun, tatkala ada yang berbicara tentang semarang dan riwayatnya, biasanya ada semacam perasaan aneh yang terlalu meluap-luap ketika diungkapkan. Terlepas dari status saya yang bukan asli penduduk semarang, rasa itu seakan menjelma sebagai kegelisahan yang tak bertuan semenjak merasakan kisah-kisah kearifan lokal tergilas oleh cerita urban yang menurut saya sedikit manja dan penuh keputus-asaan. 

Barangkali kegelisahan saya dan juga kegelisahan para manusia yang gelisah sedikit banyaknya sudah termanifestasikan kedalam buku Remah-remah Kisah Semarang karya Rukadi. Buku tentang kota Semarang serta sudut-sudut kisahnya ini, menjadi semacam suguhan renyah (kelethikan) ketika kita memperbincangkannya di teras rumah dengan secangkir kopi atau teh hangat untuk sekedar menyempurnakan suasana. Disamping itu, saya sependapat jika ada yang mengatakan jadikanlah masa lalu sebagai pelajaran. Namun sebaliknya, ketika pernyataan tersebut sudah diungkapkan, dan manakala sebuah pelajaran tidak mendasar pada masa lalu atau bahkan lebih tepatnya membiarkan masa lalu hanya tersimpan di bibir-bibir para pendahulu, maka tidak salah jika saya menyatakan lebih baik kita belajar untuk mengingat dan menghafal dulu, baru belajar dari masa lalu. 

Oleh karena itu kisah-kisah yang terliterasi dengan baik setidaknya banyak membantu untuk sekedar mengingatkan ketika semuanya mulai termakan usia. Jadi, benar apa yang tersurat dalam penggalan kata-kata bijak berikut ini “Pengetahuan serupa binatang ternak, dan catatan adalah alat untuk mengikatnya. Jika ternakmu tak ingin lepas, maka ikatlah.” (tentunya dalam konteks ini tidak sama dengan merenggut kebebasan binatang. Hehehe). 

Menikmati Remah-remah kisah semarang saya analogikan seperti menemukan sisa-sisa makanan yang masih layak dimakan, ibarat kata terlalu mubadzir jika tidak sekalian dikunyah. Sebab, bagaimanapun besar kecilnya bentuk makanan itu, toh pastinya masih menyisakan rasa di lidah. Begitu pula dengan buku ini, kalian pastinya diajak mengenal beberapa kisah yang akan menambah rasa pengetahuanmu mengenai kota semarang tempo dulu makin bertambah, dan terlalu mubadzir jika tidak dibaca. Lantas bukankah mubadzir itu tidak dianjurkan kepada manusia? 

Buku yang diterbitkan Pustaka Semarang 16 ini, mempunyai ketebalan 224 halaman, serta menyuguhkan 49 judul yang terbagi 29 untuk kisah-kisah historis dan 20 judul berkaitan dengan warna-warni kota semarang. Dapat dikatakan buku ini adalah semacam panduan untuk mengenal semarang seutuhnya. Sebab didalam isinya menyajikan berbagai hal yang ada di sudut-sudut semarang. Tidak bisa dipungkiri setelah membaca buku remah-remah semarag, saya makin tertarik untuk mengetahui kisah-kisah historis (foklor) yang ada di kota ini. Bahkan dari membaca buku tersebut secara tidak langsung saya ikut tergerak untuk meliterasi kisah-kisah yang ada di daerah saya. Salut kepada Mas Rukardi yang telah sukses mempengaruhi pola pikir saya dalam menyikapi proses “memunguti remah-remah kisah” yang terserak di mana-mana.

Rabu, 15 Februari 2017

Kematian-Kematian Kecil di Sekitar Kita : Resensi Film "Istirahatlah Kata-Kata"

Kematian-Kematian Kecil di Sekitar Kita : Resensi Film "Istirahatlah Kata-Kata"
Oleh : Akhmad Dzikron Haikal


 ISTIRAHATLAH KATA-KATA
--------------------------------------------
istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri
tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan
tak bisa lagi ditahan-tahan

Solo, sorogenen, 12 agustus 1988




Kalau dikontemplasi, puisi Wiji Thukul tersebut, secara eksplisit tengah mengisyaratkan kematian-kematian kecil di sekitar kita. Sebab terlalu banyak luka yang menganga di tubuh masyarakat kita saat ini, terlebih-lebih masyarakat yang tinggal di sekolahan. Kenapa demikian, karena masyarakat sekolah yang diharapkan mampu menghidupkan kehidupan seutuhnya, yang nantinya sebagai penyeimbang untuk mewujudkan bentuk keharmonisan, kini malah menjadi pesakitan lantaran dihantam luka setiap saat. Selain luka fisik yang didapati, tentunya ada juga luka non-fisik yang menyeret mereka kepada kematian-kematian kecil itu. Barangkali ada semacam kepasrahan yang terbalut oleh keputusasaan dan ketidakacuan terhadap tubuh yang luka. Hingga pada akhirnya tak ada jalan lain, kecuali menantinya. Ya, menanti kematian-kematian kecil ditengah-tengah kita.  

Mengambil istilah kematian-kematian kecil itu, saya korelasikan dengan seringnya kita mendengar beberapa kasus yang membunuh citra pendidikan negeri ini, dan pastinya banyak pula yang mendengar atau membaca berbagai inovasi dan pemikiran yang ditawarkan, untuk sekedar memberikan pertolongan pertama atau mengumumkan kematian tersebut. Namun, pada kenyataannya malah justru hal itu terkesan seolah-olah merencanakan suatu kematian. Bagaimana tidak, jika inovasi dan pemikiran tersebut pada suatu saat membawa dampak besar secara masif, akan tetapi belum terlihat dikehidupan yang sekarang, pastinya bisa ditebak reaksi masyarakat kita banyak yang tidak akan menerima alasan apapun terhadap dampak yang ditimbulkannya, sampai-sampai menjadi bahan nyinyiran dan cibiran dalam menyikapinya. Fenomena ini, tentu menjadi suatu kematian di tubuh pendidikan kita secara tidak langsung.

Pada hakikatnya maju dan berkualitasnya suatu pendidikan harus dihadapkan pada percobaan-percobaan yang menuntut sebuah kegagalan, dan dari kegagalan tersebut mampu menghadirkan harapan dari cita-cita pendidikan nasional itu sendiri. Bukan malah kegagalan dijadikan bahan hambatan dan sebuah luka yang menjadi cibiran bagi masa depan pendidikan kita. Seperti apapun bentuk luka itu, baik fisik maupun non-fisik, tak seharusnya didiamkan begitu saja. Luka yang tentunya harus diobati, dirawat, dan tentu saja sebagai pengingat sebuah peristiwa, seharusnya mampu membuat kita kuat dan berhati-hati, bukan sebaliknya. Namun, jika masih saja menganggap luka hanyalah sebuah malapetaka yang melanda, maka yang ada di dalam pikiran kita adalah kekecewaan, kesedihan, dan yang paling parah adalah rutukan. Kalau sudah begitu, maka istirahatkanlah kata-kata yang keluar dari mulut-mulut manusia.




Kematian-kematian kecil di bangku sekolah, sudah barang tentu terjadi karena masyarakat di dalamnya sudah saling acuh tak acuh, saling menyalahkan, saling menuntut, dan yang lebih parah adalah saling berebut jam untuk peningkatan ekonomi dari sebuah profesi. Maka tak pelak, jika fungsi dari pedidikan kita semakin melenceng dari fungsi  Pendidikan Nasional yang sebenarnya: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Marx, bahwasanya seorang pendidik adalah seseorang yang berpendidikan dan sudah dididik untuk sebuah tujuan mengubah keadaan manusia. Begitu juga dengan pendapat Lenin dan Stalin bahwa sekolah menjadi senjata yang tergantung pada siapa yang memegangnya. Artinya, keberhasilan seorang peserta didik sangat ditentukan oleh siapa yang mengajarnya di sekolah, dan pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati. Disamping itu, Abdul Khalid Boyan (2009) menjelaskan dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).

Di era seperti ini tidak bisa dipungkiri lagi, sering kita mendengar para orang tua yang menyekolahkan anaknya disebabkan salah satu faktor agar kelak setelah lulus anaknya cepat bisa langsung mendapat kerja. Bukan karena tujuan utama yang ditawarkan dari suatu ideologi pendidikan sekolah. Hal semacam ini menyebabkan pendidikan terjerumus ke dalam pragmatisme yang membuat malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan, khususnya pada pola pikir manusia. Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusia-manusia yang tidak peka terhadap bobroknya realitas kemanusiaan dan kekuasaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar dan memperoleh profesi yang bergengsi tanpa mengedepankan sisi keharmonisan hidup berdampingan. Jika sudah seperti itu, maka yang ada hanyalah kompetisi untuk berlomba-lomba mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang mengesampingkan sebuah nilai.





Munculnya lembaga-lembaga pendidikan seperti itu tidak lain merupakan bentuk hubungan terlarang antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapitalis. Dalam hal ini lembaga pendidikan sekarang tidak lagi menjadi media transformasi pengetahuan dan nilai-nilai sosial yang mengedepankan sisi memanusiakan manusia,  melainkan telah menjadi sebuah lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial. Karena pada kenyataannya tak jarang kita jumpai beberapa lembaga pendidikan yang terfokus memikirkan bagaimana sekolah bisa mendapatkan laba sebesar-besarnya dari peserta didik, dengan menjaring, merekrut, dan mengiming-imingi calon siswa baru dengan fasilitas dan program-program yang cukup menjanjikan di dalam sekolah. Namun pada realitasnya hal itu hanya sebuah jebakan untuk mendapatkan kouta siswa yang sebesar-besarnya. Tujuannya tidak lain agar sekolah tidak tutup dan bangkrut. Tak pelak, jika suatu saat lembaga pendidikan muncul sebagai rahim-rahim yang penuh luka yang melahirkan kaum-kaum terdidik yang bermoral terpasung dan pesakitan.

Dari permasalahan tersebut, kita diharapkan sadar, tentang kondisi pendidikan kita sekarang ini. Bahwa sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang berproses bagi anak didik dan ruang berbagi untuk para pendidik, harus ada upaya atau bahkan harus mampu menciptakan kebangkitan-kebangkitan dalam segala hal yang dibutuhkan masyarakat negeri ini, tidak hanya sumbangan-sumbangan pemikiran dan inovasi saja, melainkan harus berani mewujudkan dengan konsekuensi kegagalan-kegalan yang datang menghadang.
Paling tidak, lembaga pendidikan mampu mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri dan sanggup memberikan nyawa baru terkait kematian-kematian kecil yang sempat disinggung sebelumnya. Agar kelak generasi yang akan datang tidak menjadi generasi yang mudah saling sikut, saling membenci, dan mudah diprovokasi. Sebab kematian-kematian kecil itu juga hadir dalam penjelmaan bentuk informasi yang tumbuh dan berkembang dengan begitu cepat tanpa ada filter yang menyaringnya.