Kamis, 28 September 2017

Anarkisme Dalam Secangkir Kopi

ANARKISME DALAM SECANGKIR KOPI
---------------------------------------------------------
Oleh Akhmad Dzikron Haikal (Oyek)



Ketika hendak pulang ke rumah, biasanya saya menyempatkan barang sejenak mampir di warung milik seorang kawan lama. Sebelum membuka obrolan, saya dibuatkan secangkir kopi dulu.

“Sesekali, mencoba kopi varian baru tak ada salahnya kan?” sarannya.

Saya hanya bisa melempar senyum tanda setuju. Terakhir kali berjumpa, kira-kira beberapa bulan lalu. Kali ini saya menemuinya dengan intuisi sebagai pengembara yang mencari hal lain dari setiap perjalanan panjang yang meresahkan,menemukan orang-orang yang hidup harmonis dengan alam, dan tentunya kenyataan yang berbeda dari yang saya bayangkan, meskipun hanya sebatas di dalam perbincangan. Ya, sebatas perbincangan di pinggir kenyataan.

Momentum langka ini saya manfaatkan dengan sebaik mungkin (maklum kawan saya ini susah ditemui. Sibuknya melebihi orang sok sibuk. hehe) dengan mempersilahkan pertanyaan-pertanyan yang antre di lidahku yang hanyalah seorang penikmat kopi dan obrolan,

“Apakah Hak itu suatu kebenaran yang utuh bagi kita, tapi kenapa di sana-sini berebut memperjuangkan Hak?” atau “Hutan kok banyak yang dirusak,” lalu “Itu kan juga bagian Hak kita, kok tidak diperjuangkan … kok tidak nganu banget, sih Mas.”

Dia tidak langsung menjawab pertanyaan dari saya, melainkan dia membacakan beberapa penggalan kalimat yang berbunyi,

"Katakan "TIDAK"pada perang. Juga "TIDAK" pada rasa takut, pada kemunduran, "TIDAK" pada penyerahan kalah, "TIDAK" pada pelupaan, "TIDAK"pada celaan akan kemanusiaan kita. Inilah "TIDAK"pada kemanusiaan Neoliberalisme"." ~ Kata Adalah Senjata karya Subcomandante Marcos. halaman 40.

Pada awalnya saya batasi perjumpaan kami sampai dua jam saja, lalu beberapa menit lagi, hingga akhirnya lima jam tak berasa. Semakin menit berlalu, semakin saya merasa lugu dan cupu.Sebab semakin saya mendengar dan menyimak apersepsinya dalam menjelaskan beberapa kalimat yang dibacakan kepada saya, semakin pula apa yang dia sampaikan tentang anarkisme sangat masuk akal dan meresap dalam emosi yang menggebu-gebu.

Sebelum saya tahu tentang anarkisme, saya dan kalian semua sudah barang tentu melekat pandangan negatif tentang idiologi itu. Menuduh barbar, karena sering berbuat onar, misalnya. Sementara saya yang merasa sok akademisi dengan pendidikan yang melulu itu-itu saja harus menanggung malu karenanya. Saat merasa pendidikan cukup tinggi, pikiran saya dan saudara sekalian pastilah dipenuhi rasa arogansi intelektual sehingga mempersempit pandangan saya dan saudara sekalian di kemudian hari mengenai anarkisme.

Pada akhirnya saya harus mengakui bahwa anarkisme itu sudah teruji keamanan dan keharmonisannya beberapa abad sebelum masehi lalu dan bahkan kelahirannya didasari oleh kekuatan utama dalam alam semesta yang terdapat pada semua benda, terdapat didalam inti segala benda di surga dan di bumi, kekal abadi dan tidak dapat berubah. Satu pelajaran yang saya dapat, seharusnya sebelum menilai sesuatu, saya harusnya bertanya-tanya dahulu dan bahkan dalam disiplin akademis, seharusnya melakukan riset. “Kenapa kekerasan dapat menuju ke anarki?”, bukannya langsung berkata, “Anarkis itu ya kekerasan, faktanya seperti itu kan?!” Itu baru pembuka, menit-menit selanjutnya adalah tamparan demi tamparan yang meruntuhkan persepsi awal yang saya yakini dan sebagian orang.

Saya akui, perkenalan pertama dengan anarkisme yang kemudian menjadi pelajaran penting dalam hidup saya bersama masyarakat adalah tentang bagaimana mempertahankan dan memenuhi kebutuhan kita sebagai manusia tanpa merampas hak asasi manusia lain. Saat itu saya berasa ditampar oleh kisah perjuangan Tentara PembebasanNasional Zapatista bersama juru bicara mereka yang sangat ikonik, Subcomandante Marcos, yang mengangkat senjata bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk menciptakan sebuah ruang komunal demokratis dan mandiri dimana pertentangan antar pandangan politik yang berbeda-beda, bisa dibicarakan. Mereka ingin menunjukan kepada dunia bahwa cara lain untuk berpolitik itu sungguh ada, yang salah satunya, bisa dilihat dari praktik kehidupan swadaya masyarakat adat.


Namun, pengalaman yang saya alami justru sebaliknya ketika menanyakan hal-hal terkait anarkisme. Sebab sebelum menulis tulisan ini, saya sempatkan dulu untuk melakukan riset sederhana kepada orang-orang disekitar saya dengan mengajukan pertanyaan singkat,

“Bagaimana anarkisme menurut pandangan kalian?”

Mendengar jawaban dengan telinga saya sendiri, saya tidak terlalu kaget lantaran apa yang sudah saya prediksikan, ternyata terjadi juga tentang sebuah jawaban yang tak sempat merujuk pada teori. Ya, hanya berdasar pada pandangan sebagian besar orang lain yang dijadikan sebuah pemahaman sepintas. Parahnya, konon beberapa oknum dari kalangan pecinta musik cadas yang melakukan sesuatu berdasarkan kebebasan mereka sendiri atau golongan dengan mengatas-namakan bentuk dari anarkisme. Tetapi perlu dipahami sekali lagi, kebebasan yang dimaksudkan dari anarkisme, terbatas tidak merampas dan mengganggu hak orang lain. Kebebasan, bagi semuanya yang paham betul tentang anarkisme, adalah perjuangan untuk merebut kembali hak-hak asasi manusia mereka yang dicuri. Para anarkis memang cenderung tidak setuju ketika hal-hal yang sebenarnya menjadi hak-hak yang sifatnya asasi bagi manusia, bahkan menjadi hak paling asasi semenjak manusia itu lahir, berujung menjadi komoditas yang tentu saja difungsikan untuk memperkaya para pemilik modal.

Jika kalian meluangkan sedikit waktu untuk merenungi, tentu menyadari bahwa air, tanah, udara bersih dan juga sinar matahari sebenarnya adalah hak yang sifatnya asasi bagi manusia bahkan semenjak manusia tersebut lahir, setiap orang mempunyai hak akan hal-hal tersebut. Ketika air mulai diperdagangkan, maka akan ada pertanyaan,

"Seperti halnya air, berarti hak asasi manusia bisa juga diperjual-belikan, bukan?

Saya tertegun panjang ketika ditinggal kawan saya sebentar untuk meladeni pembeli yang hilir mudik seperti apa yang saya pikirkan. Saya berpikir kenapa pergeseran pemahaman tentang anarkisme bisa seperti itu, malah cenderung ke arah subversif dan kekerasan? Saya yang saat itu baru saja diperkenalkan dengan anarkisme, berusaha keras memahami sejarah anarkisme dan kekerasan—dalam hal ini mencoba mengenali lebih dalam tentang kesalah-pahaman antara anarkis dan sisi gelapnya.

Selanjutnya saya teringat dengan slogan para anarkis Spanyol pengikutnya Durruti yang berbunyi,“Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan.” Memang terkesan sekali penggunaan kekerasan dalam strategi pergerakan. Tetapi, dalam memahami sebuah kalimat atau perkataan perlu kiranya dikontemplasi atau setidaknya direnungkan dulu maknanya, bukan secara mentah ditafsirkan menurut kebijakan emosi sesaat.

Mengutip dari Wikipedia mengenai sejarah anarkisme dan kekerasan; penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan menggunakan aksi langsung atau perbuatan yang nyata sebagai jalan yang ditempuh untuk menyerang kapitalisme. Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dalam bukunya, "What is Communist Anarchist?", pemikir anarkis, Alexander Berkman, menulis; “Anarkisme bukan Bom, bukan ketidak-teraturan atau kekacauan, bukan perampokan dan pembunuhan, bukan pula sebuah perang diantara yang sedikit melawan. Dan bukan juga bagian dari subversif. Kekerasan bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak melulu dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh beberapa oknum dan kalangan sebagai sebuah aksi kekerasan dan pemberontakan. Karena bagaimanapun kekerasan dan pemberontakan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan dari kalangan apapun.

Mari kembali berbicara soal cara pandang kita. Saat kita memandang sesuatu kericuhan kemudian menerjemahkan pengalaman kasat mata tersebut dengan bergumam “barbar”, “liar”, “pembuat onar”, “kotor”, “anarkis”, “tidak tahu aturan”, dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan tak kasat mata. Karena dengan bergumam demikian, seolah kita sedang berkata pada mereka bahwa diri kita “lebih  beradab”, “patuh”, “pintar”, “bersih”, dan “sopan”. Berlaku juga untuk pemandangan-pemandangan lainnya. Ini masalah persepsi, perbedaan cara pandang. Sepele, tapi fatal. Cara pandang ini pula yang seharusnya bertanggung jawab atas bergesernya makna serta tujuan idiologi tersebut yang lambat laun dicap sebagai ideologi yang berbahaya (bahkan rentan dengan pemberontakan)

Dalam upaya me-rekonstruksi pola pikir masyarakat pada umumnya, pergeseran makna dari suatu ideologi itu bersifat dekonstruktif dan membangun ulang, disepakati demi suatu kepentingan, serta dipendam dalam-dalam dan ditaburi bumbu-bumbu menakutkan oleh yang merasa terganggu dengan paham ini. Sebenarnya sebuah ideologi bergerak dinamis, mengalami penyesuaian ataupun perubahan seiring waktu yang mengontemplasinya, namun tetap berdasarkan konsep, nilai-nilai ajaran, serta dasar pemikirannya yang menjadi tujuan awal. Tak seorang pun punya hak berkata bahwa ideologi X atau ambil contoh anarkisme, adalah buruk, kekiri-kirian. Kenapa takut ke kiri, bukankah lajur berkendara kita juga disebelah kiri?

Semakin pemahaman dari sebuah ideologi itu berbeda dengan kenyataan yang kita alami, semakin sulitlah pemahaman itu kita cerna, bukan? Bagaimana dengan kebebasan kita dalam mempelajari konsep-konsep sebuah ideologi ataupun bacaan-bacaan yang dianggap kekiri-kirian tadi? Ada ideologi komunisme, sosialisme, anarkisme, feminisme, dan lain-lain. Bukankah masih ada nilai-nilai positif yang bisa kita ambil dan terapkan dalam diri kita? Setidaknya ada suatu pemahaman yang sifatnya provokatif, akhirnya menjelma dalam laku kritik untuk mengajak otak ini bekerja secara semestinya. Ini pun tetap saja tidak bisa lepas dari anggapan subyektif dalam menilai ideologi-ideologi tersebut.

Di kehidupan saya dulu, saat di dalam proses pembelajaran, contoh sederhana adalah ketika paham komunis dianggap sebagai paham anti agama, dianggap petaka buat negara karena sudah sering sekali kita diberi pemahaman-pemahaman oleh ucapan yang tidak kita pahami secara utuh kebenarannya. Akan tetapi, seiring berjalannya sebuah proses pendewasaan, saya semakin terbuka akan berbagai macam ideologi yang saya coba pelajari dan pahami bisa juga berguna untuk menambah wawasan dan pola pikir saya terhadap sebuah pandangan atau perspektif yang ada.

Saya pikir, apapun nilai-nilai ajarannya, sebuah ideologi itu dinamis, bergerak, tentunya merubah, sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi. Dan dengan dialog positif, kita bisa mencari tahu lebih dalam, apa sejarah, makna, dan tujuan suatu ideologi tertentu. Nilai apa yang terkandung pada suatu pemahaman tersebut hingga pada akhirnya akan kita terapkan dan aplikasikan sebagai sudut pandang terhadap suatu hal. Bukankah sebuah ideologi itu perlu pemahaman secara utuh?