Minggu, 17 Juli 2016

Resensi Rekaman : Harvest "Happiness and the Effort"

Tulisan oleh : Galang Aji Putro
Band photos : Hanafi Arozaq Hastoworo


Bila kita sama-sama memiliki ketertarikan musikal terhadap punk, hardcore, dan segala turunannya, apakah kita merasakan hal yang sama ketika diberi kesempatan untuk mendengarkannya? Bahkan, ketika kesempatan tersebut hanya membutuhkan sepasang telinga, barangkali kita akan melakukan gerakan kecil sebagai respon dalam sebuah hubungan sebab dan akibat, entah menganggukan kepala dan/atau menghentakkan kaki ke tanah. Lebih dari itu, kita bisa saja membayangkan moshpit yang begitu riuh karena pergumulan orang-orang yang dalam beberapa saat tertentu juga mengangkat kepalan tangannya ke angkasa. Bagi yang tidak sungkan menganggap dirinya sudah terlalu tua untuk menikmati langgam musik yang saya sebut di awal paragraf, bersiaplah untuk dihinggapi kenangan tentang masa muda yang diliputi kenakalan dan semangat untuk menjalani hidup tanpa batasan apa pun. Namun, hal ini bersifat nisbi karena tidak semua band pengusungnya memiliki kekuatan untuk memberi sugesti kepada pendengar.

Ada yang bilang bahwa sebuah band akan terlahir mutlak secara utuh jika mereka mampu merilis album sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap sesuatu yang sudah mereka mulai. Saya adalah salah satu yang mengamini pendapat itu. Jika parameter ini diberlakukan, maka Harvest–sindikat hardcore asal kota Semarang–telah melakukannya pada 2012 lalu melalui album mini As Long As You Breathe. Kemudian, pada 2016 ini, Harvest merilis album berjudul Happiness And The Effort ke pasar bebas. Sebuah album yang mengusung delapan repertoar tersebut berkutat pada gambaran kehidupan yang dialami Harvest secara grup maupun personal dalam sebuah scene. Selain itu, mereka juga mengungkapkan satir terhadap ketimpangan pembangunan kota secara fisik melalui artwork pada sampul album. Tanpa membaca dan memahami lirik dalam album, kita bisa saja menganggap Harvest dapat mewakili identitas musik yang mereka usung–yang biasanya merujuk pada kesan amarah dan/atau penghimpun semangat.


Happiness And The Effort dibuka dengan nomor berjudul “The Passion That We Have”. Lagu ini belum memberikan kejutan selain monolog pada awal lagu yang sepertinya tidak mudah dicerna oleh orang dengan kemampuan berbahasa Inggris yang biasa saja seperti saya. Pada album mini As Long As You Breathe, nomor ini juga bisa ditemukan. Lagu ini bercerita tentang seseorang yang dikutuk oleh idealismenya sendiri sehingga merasa terperangkap dalam velodrome. Meskipun dia merasa tidak nyaman dengan realita, tapi ada gairah yang menjadikannya tetap menghidupi kehidupannya itu. “This is what I believe” yang dinyanyikan dengan penuh amarah seolah menegaskan bahwa Tan Malaka bukanlah mitos belaka. Semoga kita juga mengimani bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.

“For All Year Long” menyusul pada baris berikutnya. Lagu ini masih menggunakan lirik berbahasa Inggris dengan grammatical tense yang meleset di beberapa kalimat. Barangkali, hal ini membuktikan bahwa penggunaan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam penulisan lirik memiliki kesulitan masing-masing. Ketika lagu ini mulai berputar, entah kenapa saya langsung berandai jika nantinya “For All Year Long” juga digarap dalam bentuk footage video yang diambil dari rekam jejak mereka dalam gig maupun scene yang menampilkan setiap sosok yang berarti bagi mereka hingga sekarang. Salah satu hal yang saya suka dari melodic hardcore adalah ketika power chord sweeping memberikan euforia yang seolah-olah membuat perasaan saya membuncah seperti ada ribuan kupu-kupu yang keluar dari dalam paru-paru. Simak saja pada rentang waktu antara 1:45 hingga 2:22 dalam lagu ini. Selanjutnya, “Answered by Destiny” melanjutkan kampanye album ini. Dengan durasi kurang dari 1 menit, lagu ini menjadi yang paling singkat dibanding lagu-lagu lain. Penyajiannya yang singkat juga diimbangi dengan tempo yang cepat dengan irama yang tegas. Makna lagu ini mengingatkan saya pada ucapan Fidel Castro yang saya kutip untuk keperluan studi beberapa waktu lalu. Men don’t shape destiny. Destiny produces the man for the hour.


Tak perlu menunggu lama, “Long Journey of Life” muncul pada baris ke-4. Corak musiknya masih sama dengan melodic hardcore pada umumnya. Namun, unsur yang tak biasa kita temui dalam langgam ini disisipkan menjelang akhir lagu. Lantas, apakah kita masih percaya bahwa punk, hardcore, dan segala macam turunannya itu tidak membutuhkan skill? Sebagai intermezzo, skill yang dimiliki oleh Lionel Messi pun mampu memotivasi dan mengubah Cristiano Ronaldo menjadi lebih baik hingga mampu menghegemoni dunia. Bicara soal motivasi, saya mengandaikan bahwa Harvest–melalui lirik dalam lagu ini–sedang menjelma jadi seorang motivator a la Mario Teguh. Lalu, “Golden Age” menyusul pada nomor selanjutnya. Lagu ini memiliki durasi paling lama dalam album. Vokal yang menghentak pula berafiliasi dengan tempo yang cukup cepat pada awal lagu membuat saya merasa seperti sedang dikejar-kejar oleh sesuatu ketika mendengarkannya. Terlebih, dengan durasi sekitar 4 menit, “Golden Age” menjadi lagu yang mampu ‘menyiksa’ telinga saya. Pantas saja jika Harvest mendapuk lagu ini menjadi ujung tombak dalam  Happiness And The Effort. Satu lagi yang perlu dicatat, suara bass–yang terkesan kurang tenaga–akhirnya muncul untuk dapat kita dengar meski hanya dalam beberapa detik.

Siapa bilang hardcore dilarang bersedih? Nyatanya, Harvest melawan citra tersebut melalui “Broken Hope” dan “The Saddest Part”. Sekilas membaca liriknya, saya menemukan sebuah kesedihan di sana meskipun liriknya tidak sepuitis milik No Use For A Name yang memang selalu sukses menyembunyikan kesedihan di balik musiknya. Tunggu, apa hubungannya No Use For A Name dengan hardcore? Sudahlah, Efek Rumah Kaca juga bukan punk tapi liriknya memberontak. Tapi yang pasti, kedua lagu ini tetaplah berada pada pakem melodic hardcore yang mampu memprovokasi moshpit. Bahkan, power chord sweeping sudah muncul sebagai pembuka “The Saddest Part” secara gagah. Kemudian, “Hancurkan Rasa Ragu!” adalah epilog dari repertoar Happiness And The Effort. Menurut saya, lagu yang juga sempat dirilis beberapa tahun lalu ini kurang berhasil menjadi pamungkas. Mari bandingkan karakter vokal dalam lagu ini dengan lagu-lagu sebelumnya, apakah kita merasakan hal yang sama?

Happiness And The Effort secara musikalitas patut diapresiasi, dalam artian bahwa melodic hardcore a la Harvest berada pada taraf wajar–tidak jelek namun belum bisa disebut istimewa. Barangkali, output keseluruhan suara memang belum maksimal. Namun, saya selalu yakin bahwa menikmati gig mereka bisa jauh lebih menyenangkan. But, as an album of hardcore band, it should have more strength to punch the amplifier, shouldn’t it? (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar