Minggu, 08 Mei 2016

Resensi Rekaman : AK//47 "Verba Volant Scripta Manent"

Sebuah Album Grindcore Kritis Yang Menghajar Ignoransi



Rentang waktu 17 tahun bukanlah rentang yang bisa dikatakan pendek untuk ukuran proses perjalanan sebuah band. Dan dari Semarang ada AK//47, sebuah kolektif seminal grindcore yang tumbuh besar dari skena hardcore punk dan telah menjalani rentang waktu tersebut dalam hingar bingar proses perjalanannya. Satu yang mungkin paling tertangkap ketika mengapresiasi mereka adalah, aksi kritis yang kerap dimanifestasikan bahkan dalam kehidupan di luar band. Bukan rahasia kalau beberapa personel dari mereka adalah tukang vandal tembok-tembok kota demi memperlebar penyebaran ide-ide yang dibawakan dalam komposisi-komposisi grindcore yang mereka tuangkan. Garna sang gitaris, dulunya adalah seorang penggiat awal kultur zine di Semarang bersama eks-vokalis yang kini telah mengundurkan diri, Kesit. Sejak awal band ini memang sudah memperlihatkan kepedulian tinggi tentang pentingnya gerakan literasi.

Pertemuan saya dengan AK//47 dimulai ketika mengapresiasi album kedua mereka yang mempunyai titel: "Barricades Close The Street But Open The Way" Sebuah album grindcore yang saya pikir banyak mempunyai tempelan groove-groove atau gaya riffing gitar yang sering dipakai kebanyakan band-band Newyork Hardcore. Di album itu pula saya berkenalan dengan sebuah anthem monumental mereka yang berjudul : "Yang Muda Yang Melawan" Sebuah komposisi grindcore anthemic dengan lirik lugas serta pemilihan diksi yang kuat walaupun durasinya sangat pendek. Kebanyakan lagu-lagu mereka di album tersebut memang berdurasi pendek dengan pola riffing tiga kunci yang beriringan deru blastbeat dan double bass drumming yang masif. Sebuah album grindcore sederhana tapi sarat ide dengan tema provokasi kepada para pendengarnya untuk berpikiran terbuka terhadap segala hal. Album ini, bagi saya, monumental.



Ak//47, dalam pandangan saya, adalah band yang cukup unik dalam hal musikal. Dari rilisan satu ke rilisan lainnya, grindcore yang mereka mainkan tidak pernah sama. Di album pertama mereka yang dirilis sekitar tahun 2002 dengan titel "Dreams Will Always Be Our Loaded Gun", band ini mengambil pengaruh kuat dari band-band swedish hardcore semacam kontrovers dan diskonto. Di album kedua, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, mereka banyak mengambil pengaruh dari band-band newyork hardcore. Tapi uniknya, mereka tetap berhasil mempertahankan signature grindcore yang telah mereka bangun sejak awal selain image politis yang menempel erat pada band ini. Menurut saya, tidak banyak band yang mampu melakukan hal tersebut dan menjadikan AK//47 sendiri menjadi unik dalam pandangan saya. Grindcore yang mereka mainkan, mempunyai banyak rasa. Tapi terlepas itu semua, satu yang mungkin menempel kuat dalam setiap lagu yang mereka buat, adalah agresifitas baik dalam hal musik maupun lirik. Mereka selalu memperlakukan proses pembuatan lirik dengan sangat serius, didahului dengan diskusi mendalam antar personilnya.

Dan tahun 2016 ini, setelah 17 tahun mempertahankan eksistensi mereka, akhirnya lahirlah album ketiga mereka dengan titel : "Verba Volant Scripta Manent". Sebuah ungkapan latin yang berarti, kurang lebih : Yang sekedar terucap akan hilang dan yang tertulis akan menjadi abadi. Saya sempat bertanya kepada eks vokalis-Kesit-yang memang sang pemberi ide awal judul album tersebut sekaligus sebagai penulis lirik di hampir seluruh album ini, tentang alasan pemilihan judul album tersebut. Dia menerangkan, bahwa segala sesuatu, apalagi dalam bentuk karya, sebaiknya didokumentasikan. Dokumentasi fisik biasanya akan menjadi monumen dan akan di ingat orang. Sebuah karya fisik itu bisa menjadi penanda waktu, rekam jejak. Dan hebatnya bisa dirasa dan dipegang secara langsung. Lelaki yang juga gemar menulis ini sekaligus juga menerangkan bahwa album ini sekaligus provokasi kepada setiap orang yang mendengarkan album ini untuk lebih meliterasi diri sendiri.



Album ini dibuka oleh sebuah komposisi grindcore yang berkarakter kuat serta konten lirik sarkas yang berisi kemuakan terhadap para kaum kelas menengah yang cenderung menjadi ignoran dalam menyikapi segala permasalahan di sekitarnya, Ignorant Middle Class. lalu, sebuah track tentang dukungan mereka terhadap penolakan pembangunan pabrik semen dan penambangan karst di Rembang, Makan Semen. Di lagu ini mereka berkolaborasi dengan vokalis metal vete komposisinya. Selain Rudy Murdock, AK//47 juga berkolaborasi dengan vokalis band death metal legendaris semarang, Syndrome, yaitu Luthfi Debronzes. Dan di track berjudul Punguti Aksara, mereka berkolaborasi dengan vokalis Siksa Kubur, Rudddy Harjianto. Entah disadari atau tidak, aksi-aksi kolaborasi tersebut memberikan nilai lebih tersendiri bagi album ini.

Entah berhubungan dengan usia atau tidak, tapi grindcore yang mereka suguhkan dalam album ini terasa lebih dewasa, lebih matang. Riffing gitar yang lebih kaya dan selipan beat groove yang cerdas demi memberi variasi di tengah deru blasbeat dan double bass drumming yang massif.  Ada sesuatu yang menunjukkan perbedaan dengan album-album AK//47 sebelumnya, yaitu karakter vokal. Perpaduan anger growl dan screeching voice yang bersahut-sahutan di hampir setiap lagu semakin membuat album ini terkesan lebih grindcore. Album-album mereka terdahulu sangat mendewakan sistemasi tiga kunci dan vokal serak kasar yang otomatis memberikan nuansa hardcore punk yang kental ketika mengapresiasinya. Walaupun begitu, seperti biasanya, dalam Verba Volant Scripta Manent, mereka tetap bermain-main dengan memasukkan selipan-selipan nuansa crust punk, D-Beat, rock n' roll dan bahkan blues. Selipan-selipan tersebut terus-terang memberikan ciri khusus pada grindcore yang mereka mainkan.



Penulisan lirik dalam album ini juga terasa berbeda dengan album-album sebelumnya. Dalam Verba Volant Scripta Manent, penulisan liriknya cenderung puitis. Tentu saja berbeda dengan lirik-lirik mereka terdahulu yang cenderung lugas tepat langsung dihadapan muka. Penggunaan bahasa Indonesia mendominasi penulisan lirik di album ini. Bahkan dalam lagu yang sekaligus judul album ini - Verba Volant Scripta Manent - ternyata liriknyapun memakai bahasa Indonesia. Saya yakin, dalam album ini mereka bekerja cukup keras dalam hal diksi, pemilihan kata dan kalimat ketika menulis lirik. Entah mereka berusaha menarik inspirasi dari kebanyakan band metal yang memang cenderung puitis ketika menceritakan sesuatu melalui lirik lagu, atau memang mereka mengingnkan sesuatu yang beda dalam album ini, yang jelas lirik mereka tetap padat makna, dan tentu saja dengan ketajaman kritisi seperti pisau cukur dari baja.

Pengalaman mendengarkan Verba Volant Scripta Manent, tetap memberikan sensasi tersendiri ketika menyelesaikannya. Album ini adalah album sebuah band yang saya sendiri merasa terpengaruh kuat dalam hal musikal. Dan saya bersyukur, mereka tetap menjaga enerji untuk bertahan dan bahkan mampu memberikan lagi sebuah dokumentasi karya kepada orang-orang yang memang telah menunggu mereka sejak lama. Semoga di hari depan masih bisa mengapresiasi sesuatu yang baru dari mereka. Hail AK//47! ~ Riska Farasonalia  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar