Sabtu, 14 Mei 2016

Berbagi Kegelisahan Bersama Galang Aji Putra

Zine di Semarang memang timbul tenggelam. Tapi seiring berjalannya masa, saya melihat selalu ada zine-zine baru yang muncul. Hal tersebut menunjukkan, dalam hal zine, regenerasi tetap berjalan. Beberapa waktu yang lalu, sempat mengapresiasi sebuah zine yang walaupun dalam format PDF, sangat membekas di kepala. Racau zine, sebuah zine dengan layout yang sangat ramah baca sekaligus kontennya sangat informatif dan cukup kritis. Dan kebetulan, editornya adalah vokalis dari sebuah band yang lumayan merebut atensi saya : Provokata. Sebuah unit grindcore unik yang sangat terobsesi dengan gerakan literasi beserta liriknya yang puitis tapi padat makna. Segera terpikir untuk melakukan interview personal dengannya dan beruntung segera di sambut dengan baik oleh yang bersangkutan. Ok, berikut wawancaranya, silahkan disimak.

 1. Skena hardcore punk Semarang semakin semarak, musim hujan telah datang dan jamur mulai tumbuh subur di mana-mana. Bagaimana kabarmu mas Galang?
Semoga kabar tetap baik seperti halnya tiap doa orang-orang terhadap saya meskipun akhir-akhir ini sering merasa gelisah dan susah tidur.

2. Zine di Semarang memang timbul tenggelam. Banyak yang telah terbit dan kemudian hilang begitu saja, tapi banyak juga yang tetap bersemangat untuk tetap membuatnya.  Bagaimana mas Galang sendiri memaknai sebuah zine?

Zine merupakan merupakan media alternatif yang kontennya dapat berupa apapun (tulisan, gambar, foto, dan yang lainnya). Tidak ada pakem tertentu dalam memproduksi sebuah zine. Bentuknya dapat berupa e-zine/web zine maupun yang dalam bentuk fisik.

Bagi saya pribadi, zine merupakan salah satu bentuk ekspresi kemarahan terhadap media arus utama hari ini yang kontennya seperti dibuat-buat dan diatur sedemikian rupa oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik tertentu untuk mempengaruhi kehendak masyarakat. Kita bisa mengekspresikan hal-hal yang tidak 'dilihat' oleh masyarakat dan/atau bahkan masih dianggap tabu.

Bicara mengenai zine, kita juga akan berbicara mengenai kebebasan. Tidak ada zine yang bagus atau jelek. Selain itu, zine juga merupakan media informasi yang dapat mendekatkan kita kepada orang-orang baru yang sebelumnya jauh dalam jangkauan kita. Melalui zine, entah sebagai penulis maupun pembaca, saya (pernah) merasa berada dalam arus informasi yang tidak diketahui oleh banyak orang, hal-hal mengenai perkembangan musik di kota lain misalnya. Zine pula yang mengajarkan saya untuk berbagi informasi yang saya dapat kepada banyak orang.

3. Sebuah karya yang sudah dibuat, seharusnya diapresiasi sebanyak mungkin apresiator. Bagaimana pendapat mas Galang sendiri tentang apa yang seharusnya dilakukan supaya para anak muda di kota ini lebih masif dalam memproduksi dan juga mengonsumsi zine? Apa yang menjadi kendala di kota ini?

Jika kita bicara mengenai selera, barangkali hal tersebut merupakan sesuatu yang klise. Anggap saja selera merupakan suatu keyakinan yang begitu privat dan hakiki. Kita tidak bisa serta merta memaksakan selera kita kepada orang lain. Kita tidak bisa pula memaksa orang lain untuk memproduksi sebuah zine. Barangkali, pergerakan zine di Semarang yang timbul tenggelam dan tidak masif disebabkan oleh watak dasar anak muda di Semarang yang malas, meskipun tidak semuanya begitu. Kami lebih senang mengekor Jakarta, Bandung, atapun Jogja sebagai 'pusat peradaban', dan sialnya adalah bahwa kami mangimani dan mengonsumsi hal tersebut secara bangga. Barangkali ada orang yang memiliki gairah namun tidak mendapat dukungan sehingga timbul rasa tidak percaya diri dan gairah tersebut lambat laun dia simpan begitu saja.

Pada 2013 lalu, saya dan beberapa teman sempat memproduksi zine yang berkonsentrasi pada bidang musik cutting edge (atau apapun penyebutannya) di Semarang. Gairah itu meletup-letup, namun hanya berlangsung hanya sekitar satu tahun. Apresiasi datang tidak hanya dari teman-teman di Semarang, namun juga dari luar kota. Dulu, hal yang saya lakukan agar distribusi zine tidak terbatas pada orang-orang yang itu-itu saja adalah dengan 'memanfaatkan' jaringan yang saya kenal. Misalnya, saya melakukan interview terhadap orang dan/atau band yang cukup berpengaruh di Semarang. Dengan begitu, mereka juga akan menyebarkan informasi hasil interview tersebut kepada orang lain.










4. Saya sempat membaca dua edisi awal dari Racau zine yang menurut saya lumayan berbobot dan sangat informatif. Ternyata, mas Galang adalah editornya. Ok, bisa bercerita sedikit tentang proses kreatif yang dilalui ketika membuatnya? Mengapa Racau tidak dilanjutkan lagi sekarang?
Dua edisi awal dan yang terakhir. Haha. Sebenarnya, ide untuk membuat Racau timbul dari keinginan seorang teman untuk menciptakan media alternatif yang dikhususkan bagi band-band Semarang. Pada waktu itu dan bahkan hingga sekarang, saya merasa gelisah jika berhadapan dengan dinamika musik cutting edge di Semarang. Band-band Semarang itu potensial untuk bisa menjadi raja maupun 'keluar' dari kotanya sendiri, namun karena tidak ada media khusus bagi mereka maka band-band Semarang seolah-olah terkurung. Sebut saja Octopuz, Moiss, Aimee!, ataupun Something About Lola sebagai rujukan.

Proses produksi Racau diawali dari diskusi dengan teman-teman mengenai hal-hal apa saja yang akan dibahas tiap edisinya, lalu bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan, kemudian tiap artikel dari hasil interview disunting sesuai dengan ejaan yang disempurnakan hingga naik cetak dengan biaya kolektif. Saya menekankan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik agar orang-orang Racau sendiri maupun pembaca juga lebih khidmat mengonsumsinya meskipun mungkin terkesan kaku. Alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia sesuai EYD, timbul sindiran bahwa beberapa tulisan di dalam Racau tidak tepat sasaran karena ada beberapa kosakata yang masih asing. Saya suka hal tersebut, ada dinamika baru yang muncul sehingga dapat menciptakan interaksi berupa diskusi antara Racau dengan pembaca yang bersangkutan.

Setelah dua edisi, kami baru merasa kesulitan untuk membagi prioritas antara aktivitas Racau dengan aktivitas pribadi. Kami hiatus untuk sementara waktu, namun gairah tersebut lama-lama pudar hingga sekarang meskipun saya pribadi masih memiliki keinginan untuk tetap menulis. Scribo ergo sum.

5. Ada beberapa teman berpendapat bahwa media alternatif sendiri seharusnya memberikan opsi media yang baru untuk menandingi berbagai media arus utama yang di beberapa sisi sudah akut membuat bosan. Makin kesini sebenarnya mulai muncul gairah beberapa anak muda Semarang yang mulai menggarap media alternatif dengan berbagai macam kemasan yang menurut mereka ideal. Dari beberapa yang sempat terbaca, adakah kritik tersendiri dari mas Galang mengenai media-media alternatif baru ini?

Ada beberapa media baru di Semarang yang konsentrasiya berada pada wilayah musik dan subkultur pemuda. Tentunya, hal tersebut memang patut diapresiasi. Karena zine merupakan suatu kebebasan, saya tidak akan mengkritik tentang konten dalam zine yang bersangkutan karena hal tersebut merupakan hak otonom dari pembuatnya. Tapi kiranya teman-teman yang bersangkutan perlu untuk menambah referensi sebagai bahan rujukan.

6. Ok, meloncat ke lain topik. Provokata, sebuah band yang cukup unik dan menurut saya lumayan kritis. Bisa sedikit bercerita tentang band ini mengingat mas Galang adalah yang bertanggung jawab dalam departemen vokalnya?

Pada 2014, saya merasa heran ketika Gagas Agung Sedayu (gitaris Provokata) menawari saya untuk mengisi pos yang ditinggalkan oleh vokalis sebelumnya. Entah apa yang dijadikan dasar untuk merekrut saya. Tapi jujur, saya menyukai pola lirik yang dimiliki Provokata. Barangkali ada semacam takdir yang menghubungkan kami. Sebelum di Provokata, saya merupakan gitaris sekaligus penulis lirik dalam sindikat female fronted hardcore bernama Dislike Of Disguise. Alih-alih rekaman untuk album mini, vokalis Dislike Of Disguise memilih untuk keluar dari band.

Di Provokata, teman-teman langsung memberi porsi kepada saya untuk menulis lirik lagu baru setelah perilisan album Catatan Dari Sudut Kota (2014). Hal yang membuat saya suka dengan band ini adalah adanya diskusi internal untuk menanggapi lirik yang saya tulis -hal yang tidak saya temukan dalam band sebelumnya. Satu poin yang saya tangkap, bahwa lirik merupakan hal yang harus dipertanggungjawabkan oleh band itu sendiri. Jadi, kami perlu berhati-hati dengan apa yang seharusnya kami suarakan. Dalam waktu dekat, dua lagu baru Provokata akan dirilis dalam album kompilasi yang beramunisikan band-band punk/HC lain dari Semarang, pula tiga lagu tambahan untuk proyek kompilasi yang masih dirahasiakan. Oh iya, jika sudah dirilis nanti, silakan simak lagu yang berjudul "Vox Acta Diurna, Vox Dei".





7.  Dalam album Provokata, Catatan Dari Sudut Kota, ada satu lagu yang cukup menarik, "Untuk Mereka Yang Bakar Buku". Dan kami lihat para personil Provokata sendiri bisa dikatakan sangat masif dalam mengapresiasi karya dalam bentuk buku. Bisa bercerita sedikit tentang lagu ini?
Saya tidak menulis lagu tersebut. Tapi, menurut saya, "Untuk Mereka Yang Bakar Buku" merupakan satir yang didedikasikan kepada orang-orang yang melakukan pemberedelan buku. Mereka takut dengan adanya perbedaan sehingga berusaha untuk melenyapkan tiap goresan yang mereka rasa mengancam eksistensi mereka. "Where they have burned books, they'll end in burning human beings", kata Heinrich Heine. Tulisan dapat berubah menjadi senjata yang siap mengancam siapapun.

8. Segera teringat kejadian acara bedah buku tentang Tan Malaka yang sempat dipersulit oleh beberapa pihak di Semarang. Bagaimana pendapat mas Galang tentang kejadian tersebut?

Konyol. Ormas dan pihak kepolisian benar-benar cermat membaca undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, namun di sisi lain juga mengesampingkan Pasal 28 UUD 1945. Barangkali benar jika sejarah diciptakan oleh golongan yang menang di atas penderitaan golongan lain.

Saya sempat ke Polrestabes Semarang untuk membantu penyelenggara dalam menyampaikan surat perijinan acara bedah buku tersebut. Di sana, saya ditanya-tanya mengenai siapa itu Tan Malaka. Saya hanya meyakini bahwa pertanyaan tendensius aparat tersebut merupakan suatu jebakan yang mengarah pada jawaban berbau komunisme. Tapi untungnya, acara bedah buku di Semarang dapat dilaksanakan meskipun sempat mendapat penolakan dari pihak-pihak yang menganggap dirinya superior, namun terkesan inferior karena aksi penolakan tersebut.

9. Komunisme, sosialisme, dan anarkisme. Banyak anak muda yang ingin terlihat berbeda, kemudian memperdalam pemahaman tentang ideologi-ideologi yang dicap 'kiri'. Sebenarnyapun hak setiap orang untuk belajar tentang apa. Apa yang menjadi pegangan mas Galang dalam menjalani hidup? Apakah mas Galang sendiri meyakini sebuah ideologi tertentu?

Saya lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga penganut Marhaenisme. Saya ingat betul bagaimana almarhum kakek mengajarkan banyak hal mengenai kesederhanaan. Ketika kelas 3 atau 4 SD, saya mulai membaca dua biografi Soekarno, yaitu "Penjambung Lidah Rakjat" dan "Sang Putra Fajar". Lalu ada juga sebuah buku mengenai tragedi Kudatuli, saya lupa judulnya. Dari situ, saya mulai menjamah Che Guevara, tesis-tesis Karl Marx, dan Soe Hok Gie ketika menginjak remaja. Pada saat yang hampir bersamaan, saya juga mempelajari punk dari musik yang saya dengarkan. Seorang kerabat pernah 'takut' menghadapi keadaan tersebut.

Tapi memang benar, hidup dalam teori-teori merupakan hal yang konyol pada saat itu. Sejak memiliki pemikiran seperti itu, saya hanya mengambil sisi positif dari teori-teori yang saya baca, tidak ingin mengimplementasikannya secara berlebihan. Untuk punk, saya menganggapnya sebagai guru, bukan punk yang harus digeneralisasikan pada suatu definisi tertentu. Punk mengajarkan banyak hal. Sekarang, saya malah menganggap diri saya sebagai seorang utopis. Semangat yang menyelamatkan kita nanti, semangat percaya pada mimpi. Apapun itu.





10. Kebanyakan yang terlibat dengan punk, mendapatkan banyak referensi anarkisme. Sementara anarkisme sendiri selalu berada dalam ranah utopia ketika menghadapi tuntutan tentang tatanan-tatanan kehidupan sosial sebagai praktiknya. Bagaimana kamu sendiri memaknai anarkisme?
Masyarakat awam menganggap anarkisme sebagai ajaran untuk melakukan kekerasan. Padahal bukan. Saya tidak melulu mempercayai anarkisme secara total. Aristoteles menerangkan mengenai bentuk-bentuk pemerintahan, silakan cari sendiri di Google.

Menurut Aristoteles, anarkisme akan melahirkan bentuk pemerintahan demokrasi. Kalau begitu, bukankah anarki juga merupakan suatu sistem? Jujur, saya tidak percaya pada negara jika hal-hal yang dianggap sebagai kebijakan tidak dapat menjadi payung bagi segala lapisan masyarakat. Misalnya, jika kita bicara mengenai hukum dan perundang-undangan. Di Indonesia, perundang-undangan diciptakan tanpa ada pengujian kepada masyarakat terlebih dahulu, beda dengan yang ada di negara penganut sistem Anglo Saxon. Tapi pada sisi lain, bukankah kita memerlukan suatu sistem?

11. Manusia hidup memerlukan tatanan atau sistem demi kerinduan mereka tentang keteraturan. Dan kita hidup di sini, sebuah negeri, Indonesia. Bisa berbagi sedikit pendapat personal mengenai tatanan atau sistem yang diterapkan di sini? Atau mungkin ada kritik tersendiri terhadap negeri ini, entah itu dalam sisi politik, sosial maupun budaya?

Demokrasi, suatu sistem dari dan untuk rakyat. Rakyat memiliki kendali terhadap sistem tersebut. Anggap saja demokrasi merupakan sistem yang baik. Tapi, saya tidak terlalu mempercayai sistem yang ada di Indonesia. Ketika kita berbicara tentang suatu sistem pemerintahan, kita juga akan membicarakan politik yang membentuk pola pemerintahan tersebut.

 Kalau boleh saya bilang, demokrasi di sini adalah demokrasi-demokrasian. Partai politik yang mendapat jatah kursi di parlemen tidak dan/atau belum mampu menjadi corong untuk menjadi jembatan dalam memecahkan suatu masalah. Saya mempercayai bahwa ada kekuatan yang tak satu setan pun tahu yang mengendalikan sistem pemerintahan di Indonesia, entah dari luar maupun dalam. Dari situ, tiap ada pemilihan umum, saya lebih memilih untuk tidak memilih. Banyak anggapan bahwa tidak memilih sama dengan apolitis. Tapi, mari coba kita pahami bersama. Banyak juga yang menggunakan hak pilihnya, namun setelah itu hanya pasrah menerima keadaan. Bukankah itu juga merupakan sikap apolitis?

12. Anak muda Indonesia, di tengah badai teknologi dan carut marut di sekitar mereka. Pendapat mas Galang, apa yang harus segera dilakukan anak muda negeri ini untuk membuat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik?

Meskipun artinya sama, tapi bolehkah "anak muda" diganti saja dengan "pemuda"? Haha. Menurut saya, kita membutuhkan kemauan untuk tidak menjadi pengekor secara terus menerus. Ambil saja segi positif dari kemajuan teknologi. Kalau mau, kita bisa mencari banyak referensi untuk menciptakan sesuatu, bukan hanya 'gaul' saja.

13. Hidup tidaklah luput dari aksara. Buku atau bacaan yang paling berpengaruh dalam hidup mas Galang?

"Catatan Seorang Demonstran"-nya Soe Hok Gie. Saya membacanya sekitar 8 tahun lalu. Soe Hok Gie memberi pelajaran tentang bagaimana cara menyikapi sebuah idealisme, alih-alih puisinya yang romantis namun tidak berlebihan. Rasa-rasanya, mempertahankan idealisme sangatlah sulit saat tiba masanya kita harus berbenturan dengan suatu keadaan tertentu. Salah satu hal yang membuat saya gelisah adalah ketika saya berada dalam keadaan dimana saya harus mempertahankan idealisme yang saya miliki, sedangkan saya juga harus hidup berdampingan dengan banyak orang.

Lalu, ada juga sebuah novel subkultur berjudul "Perang" yang ditulis oleh Rama Wirawan yang saya baca setelah saya diwisuda pada 2015 lalu. Saya sulit tertarik untuk membaca novel, tapi tidak untuk "Perang". Lucunya, saya mengenal Rama Wirawan pada 2013 lalu melalui zine, tapi saya tidak tahu jika beliau pernah menulis novel. Beberapa yang terkandung di dalam novel tersebut seolah menjadi semacam cerminan bagi diri saya pribadi, misalnya adalah kehidupan pascawisuda yang meninabobokan. Ada satu kutipan yang cukup 'mengganggu' di dalam "Perang". Kira-kira begini, "Marilah berimpi dan jangan terbangun. Ayo lihat, apakah kita butuh dunia atau dunia yang butuh kita untuk bisa berputar? Kita lihat, siapa yang akan lebih dulu menyerah kalah?"

14. Beberapa band Semarang yang menurut mas Galang perlu untuk diapresiasi?

Subyektif. Mari simak Octopuz, Moiss, dan Confess.

Untuk Octopuz dan Moiss, saya langsung menyukai mereka ketika mereka tampil ke permukaan karena di Semarang belum ada band yang musiknya seperti mereka. Sedangkan untuk Confess, band tersebut seperti memiliki energi berlebih untuk membakar lantai dansa, namun beberapa kali moshpit malah lowong ketika mereka tampil, entah kenapa.

15. Oke mas Galang, terima kasih banyak buat waktunya. Sangat ditunggu karya-karya selanjutnya. Ada ucapan atau apapun untuk mengakhiri interview ini?

Sama-sama, Kaum Kera. Saya pun juga senang dilibatkan dalam edisi kali ini, semoga dapat berkontribusi untuk edisi selanjutnya. Semoga pula, Kaum Kera dapat menyebarluaskan ide-idenya dalam jangka waktu yang cukup lama dan menginspirasi teman-teman lain untuk menciptakan media alternatif sejenis. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar