Kamis, 05 Mei 2016

Resensi Buku : Bandar karya Zaky Yamani



Parlan mengambil sebatang rokok dari kamarnya, membuang bungkus rokoknya melalui kamar jendelanya. Di sekelilingnya, suasana kampung di pinggiran Bandung yang terpinggirkan. Gang Somad, perkampungan kumuh yang dihuni ratusan kepala keluarga yang terjebak dalam lorong gelap dan gang-gang sempit yang makin terbengkalai. Daerah yang menjadi ikon kemelaratan, kemiskinan, kriminal, dan masalah-masalah lainnya termasuk itu. Ya, itu, kampung yang dikuasai seorang bandar ganja dan narkotika, dosa dan darah telah mengalir, mengakar pada sejarah terbentuknya Gang Somad. Parlan yang bercita-cita untuk keluar dari kesengsaraan kampung itu dengan berkuliah dan menjadi seorang pengacara, malah dihadapi kenyataan bahwa keluarganya lah yang bertanggung jawab dibalik kekuasaan bisnis aram tersebut. Bisnis turun temurun yang mampu mengidupi kepala-kepala keluarga lain di kampung itu, untuk sekadar membeli rokok atau nasi bungkus untuk anak-anak mereka. Kemudian, Parlan, diceritakan oleh bapaknya, Bandar ternama, tokoh paling kelam yang mau tidak mau itula kenyataan yang harus keluarga itu terima.

Kurang lebih seperti itu gambaran yang novel ini ingin sampaikan pada bab permulaan. Ini pertama kalinya saya memberi review pada sebuah novel, setelah sebelumnya lebih fokus terhadap musik, namun ada sesuatu yang menarik yang ingin saya ulas pada novel berjudul “Bandar” karya seorang jurnalis asal Bandung, Zaky Yamani. Ini kali kedua saya membaca karangannya, setelah sebelumnya saya mengkhatamkan bukunya yang berjudul “Kehausan Di Ladang Air” yang ia tulis berdasarkan hasil investigasinya selama kurang lebih satu semester dalam misi penebusan Mochtar Lubis Award yang dianugerahkan kepada penulis tersebut. Novel ini merupakan karya ‘perdana’ seorang Zaky Yamani dalam bentuk novel fiksi, dan juga, kali ini ia menanggalkan sisi militansinya dengan menyepakati perilisan buku ini bersama penerbit Gramedia. Tapi itu tidak penting, saya menyukai karyanya dengan bahasa yang dengan orang-orang seperti saya dapat memahami ketimbang membaca novel-novel dengan rima dan gaya bahasa berbelit.

Seperti yang telah ditulis di atas, novel ini menceritakan tentang bagaimana kisah sebuah keluarga dapat bertahan menghadapi penggerusan zaman yang diakukan otoritas-otoritas, kemiskinan, dan kekerasan dalam konteks sebagai pengedar daun surgawi marijuana. Lantas dalam novel ini, yang pertama kali terbesit adalah konflik norma. Ya, benar saja. Tidak terlalu mengherankan untuk mengetahui respon atau tanggapan publik mengenai hal-hal tersebut, meski dalam cerita fiksi sekalipun. Dosa, harga diri, hukum, semua terangkum dalam cerita ini. Saya tidak ingin memberi sinopsis terlalu panjang, namun demi kelancaran tulisan berikutnya saya perlu menceritakan garis besar alur dalam novel ini.

Cita-cita Parlan untuk melanjutkan kuliah dan menjadi pengacara agar dapat keluar dari kesengsaraan gang Somad ditolak mentah-mentah oleh bapaknya, Gopar. Ia tidak ingin anaknya dicuci otak oleh pendidikan, apalagi politik dan hukum, yang ia asumsikan hanya dapat meracuni pemikirannya. Gopar ingin anaknya melanjutkan bisnis keluarganya yang telah dimulai sejak neneknya, ibu dari Gopar, Dewi, merintis bisnis ini dari skala mikro atas dasar supaya kebutuan hidup keluarganya tercukupi, terlebih, setelah beberapa kali pernikahannya gagal dan ditinggal suaminya, Dewi berusaha memutar otak demi bertahan hidup. Maka dimulailah tembok kerajaan itu dibangun, hingga menjadi sebuah bisnis besar di wilayah tengah daerah Bandung. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus. Bisnis yang telah meluas harus kembali mengalami tekanan-tekanan dan resiko dari luar. Persaingan yang ketat, aparat, dan oknum-oknum gelap yang meminta tebusan ‘keamanan’ telah digelontorkannya demi mempermulus hubungan politik dan bisnis antar kedua pihak tersebut. Sampai akhirnya Gopar tertangkap dan menjalani hukuman penjara. Dari cerita mengenai sepak terjang seorang bandar ganja, kita mesti bertanya, bagaimana semua itu bisa terjadi ?

Semua berawal dari seorang gadis bernama Dewi. Kemudian latar waktu akan berubah menjadi sekitaran tahun 1945, tidak lama setelah beberapa tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya Di bawah Bendera Revolusi, Soekarno. Saat itu, Indonesia yang baru seumur jagung, masih rentan akan gerakan-gerakan perlawanan dari kelompok separatis. Salah satunya yang terjadi di daerah tempat tinggal Dewi bersama orang tua dan 3 orang kakaknya. Dewi anak paling bontot, namun berbeda dengan ketiga kakaknya, hanya ia yang paling cantik. Konflik dimulai ketika sang bapak, Abdul Halim, berniat untuk menikah lagi dengan anak seorang tokoh agama, kyai sekaligus saudagar kaya, Kyai Bustaman. Aminah, gadis yang saat itu umurnya tak beda jauh dengan umur Dewi. Ia tidak percaya akan apa yang dilakukan bapaknya. Memukul, menghardik, dan membentak ibu yang Dewi sayangi.

Tokoh bapak dalam hati Dewi telah hancur, kini yang ia lihat hanya seorang lelaki najis yang dibutakan oleh harta dan nafsu birahi, terlebih, saat rencana pernikahanan bapaknya gagal karena suatu tragedi yang menyebabkan calon istri keduanya, Aminah, meninggal maka bapaknya mencari celah untuk tetap mendapat keuntungan dari Kyai Bustaman dengan menikahkan Dewi dengan ponakan Kyai Bustaman, Hidayat. Dewi merasa lebih hancur, ia belum siap menikahi pria yang tak ia kenal sebelumnya. Ia merasa harga dirinya telah diinjak dan dilanggar oleh adat dan otoritas agama melalui ‘orang tua’. Dewi merasa sebagai perempuan, ia pun berhak menentukan arah hidupnya sendiri, bukan bapaknya, ibunya, Kyai Bustaman, bahkan Tuhan.

Setelah terpaksa dinikahkan ia  pun kabur, menyusuri hutan, disana ia bertemu dengan kelompok pemberontak Darul Islam yang mana juga merawat mantan pengasuhnya Ahmad yang sedang terluka ketika membawa lari Aminah. Dewi pun melanjutkan perjalanannya, ia  ingin sekali ke Kota, ia ingin ke Tasikmalaya. Memulai hidup baru dengan pekerjaan dan keterampilan yang miliki. Namun naas, sesampainya di Kota ia malah menjadi korban eksploitasi dan human traficking, terpaksa melayani nafsu birahi lelaki hidung belang untuk bertahan hidup. Dari sana cerita mulai berawal, ia bertemu dengan mantan pengasunya, Ahmad kemudian melarikan diri ke sebuah wilayah bernama Gang Somad, disana ia mulai memperbaiki hidup dengan berjualan. Namun kesialan dan nasib telah menggusur orang-orang seperti Dewi dan Ahmad untuk mencukupi kebutuhannya. Ahmad terpaksa masuk penjara akibat tertangkap saat berusaha membobol rumah, ia pun tewas dipukuli penghuni tahanan karena muak dengan tingkah sok jagonya. Kemudian Dewi menikah dengan teman Ahmad, Wasid, yang juga meninggal akibat tertembak. Rupanya Wasid meninggalkan sebuah jejak, ia meninggalkan sebuah dokumen berisi surat-surat penting tentang pekerjaannya menjadi supir pengantar barang haram tersebut. Dari sana Dewi berinisiatif untuk meneruskan apa yang telah ditinggalkan suaminya demi mengurus ketiga anaknya yang semakin dewasa dan tumbuh menjadi jagoan kampung.

Dari sinopsis tersebut, kita banyak menggaris bawahi konsep-konsep feminisme, emansipasi perempuan, dan problematika seorang perempuan pada masa pergolakan Republik (meski juga demikian yang dialami sekarang). Atas dasar bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan terutama perut, sebuah perjuangan yang di representasikan tokoh seorang Dewi, mampu membuat kita mengerti akan penderitaan yang dialami sejak dalam lingkup keluarga. Pula, lingkungan yang tidak memadai, kondisi politik, serta ekonomi memaksa manusia harus berpikir cepat untuk melewati hari ini. Menjual ganja pun menjadi pilihan utama. Menurut interpretasi yang saya miliki, menjual ganja untuk memenuhi kebutuhan hidup sebuah keluarga pun mewujudkan kegagalan-kegagalan pemerintahan dalam mensejahterakan rakyatnya. Terbukti dengan apa yang terjadi saat ini bahwa “yang haram saja susah, apalagi yang halal ?” menjadi belenggu masyarakat khususnya dalam cerita novel ini. Alasan kemiskinan, kebutuhan, dan tidak tahu mau bagaimana lagi menghadapi kondisi hidup yang makin tak menentu ini menyebabkan sebagian  orang berpikir untuk tetap tinggal dalam lubang hitam kesengsaraannya, atau jika beruntung mungkin bakal mati.

Alur maju-mundur yang diberikan dalam novel ini membuat menarik novel tersebut. Gaya bahasa yang sederhana namun menguatkan tema feminisme sebagai konsep paling dominan di bab permulaan menjadi senjata utama. Namun jika ditarik dari keseluruhan, konsep awal, anti-klimaks, juga persoalan-persoalan yang terjadi berikutnya menjadi kurang relevan bahkan terkesan terlalu jauh dari konsep feminisme yang hampir diisi sepertiga novel tersebut, kemudian sisanya benar-benar menceritakan praktik seorang bandar meliputi persoalan operasionalnya. Nampaknya si penulis terlalu berkutat ingin menonjolkan Dewi sebagai lakon utama namun lupa akan materi utama novel ini. Mungkin akan lebih baik jika ada seri khusus yang mengangkat tema kesetaraan perempuan dan kesenjangannya dalam lingkungan. Setuju ? Di lain sisi, novel ini menawarkan sebuah pesan dimana tidak peduli dari manapun atau bagaimanapun kita terbentuk pada masa lalu, yang terpenting adalah bagaimana sikap kita untuk berusaha keluar dari kesengsaraan, kesukaran, pandangan buruk orang lain terhadap kita, mampukah kita menentukan jalan hidup kita sendiri ? Beranikah kita membuat pilihan ? Semua tergantung bagaimana kita mau menyikapi. (Afriyandi Wibisono)

1 komentar:

  1. AYOO SERBUU GAN MUMPUNG GRATIS DAN MURAH
    ADU BANTENG, Sabung Ayam, Sportbook, Poker, CEME, CAPSA, DOMINO, Casino
    Modal 20 rb, hasilkan jutaan rupiah
    Bonus 10% All Games Bolavada || Bonus Cashback 10% All Games Bolavada, Kecuali Poker ||
    FREEBET AND FREECHIP 2017 FOR ALL NEW MEMBER !!! Registrasi Sekarang dan Rasakan Sensasi nya!!!

    ONLY ON : BOLAVADA(dot)com
    BBM : D89CC515
    https://goo.gl/3G0lA8
    https://goo.gl/kbkvXv
    https://goo.gl/JB5DSD

    sabung ayam
    agen terpercaya
    bandar judi

    BalasHapus