Sabtu, 14 Mei 2016

Berbagi Kegelisahan Bersama Galang Aji Putra

Zine di Semarang memang timbul tenggelam. Tapi seiring berjalannya masa, saya melihat selalu ada zine-zine baru yang muncul. Hal tersebut menunjukkan, dalam hal zine, regenerasi tetap berjalan. Beberapa waktu yang lalu, sempat mengapresiasi sebuah zine yang walaupun dalam format PDF, sangat membekas di kepala. Racau zine, sebuah zine dengan layout yang sangat ramah baca sekaligus kontennya sangat informatif dan cukup kritis. Dan kebetulan, editornya adalah vokalis dari sebuah band yang lumayan merebut atensi saya : Provokata. Sebuah unit grindcore unik yang sangat terobsesi dengan gerakan literasi beserta liriknya yang puitis tapi padat makna. Segera terpikir untuk melakukan interview personal dengannya dan beruntung segera di sambut dengan baik oleh yang bersangkutan. Ok, berikut wawancaranya, silahkan disimak.

 1. Skena hardcore punk Semarang semakin semarak, musim hujan telah datang dan jamur mulai tumbuh subur di mana-mana. Bagaimana kabarmu mas Galang?
Semoga kabar tetap baik seperti halnya tiap doa orang-orang terhadap saya meskipun akhir-akhir ini sering merasa gelisah dan susah tidur.

2. Zine di Semarang memang timbul tenggelam. Banyak yang telah terbit dan kemudian hilang begitu saja, tapi banyak juga yang tetap bersemangat untuk tetap membuatnya.  Bagaimana mas Galang sendiri memaknai sebuah zine?

Zine merupakan merupakan media alternatif yang kontennya dapat berupa apapun (tulisan, gambar, foto, dan yang lainnya). Tidak ada pakem tertentu dalam memproduksi sebuah zine. Bentuknya dapat berupa e-zine/web zine maupun yang dalam bentuk fisik.

Bagi saya pribadi, zine merupakan salah satu bentuk ekspresi kemarahan terhadap media arus utama hari ini yang kontennya seperti dibuat-buat dan diatur sedemikian rupa oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik tertentu untuk mempengaruhi kehendak masyarakat. Kita bisa mengekspresikan hal-hal yang tidak 'dilihat' oleh masyarakat dan/atau bahkan masih dianggap tabu.

Bicara mengenai zine, kita juga akan berbicara mengenai kebebasan. Tidak ada zine yang bagus atau jelek. Selain itu, zine juga merupakan media informasi yang dapat mendekatkan kita kepada orang-orang baru yang sebelumnya jauh dalam jangkauan kita. Melalui zine, entah sebagai penulis maupun pembaca, saya (pernah) merasa berada dalam arus informasi yang tidak diketahui oleh banyak orang, hal-hal mengenai perkembangan musik di kota lain misalnya. Zine pula yang mengajarkan saya untuk berbagi informasi yang saya dapat kepada banyak orang.

3. Sebuah karya yang sudah dibuat, seharusnya diapresiasi sebanyak mungkin apresiator. Bagaimana pendapat mas Galang sendiri tentang apa yang seharusnya dilakukan supaya para anak muda di kota ini lebih masif dalam memproduksi dan juga mengonsumsi zine? Apa yang menjadi kendala di kota ini?

Jika kita bicara mengenai selera, barangkali hal tersebut merupakan sesuatu yang klise. Anggap saja selera merupakan suatu keyakinan yang begitu privat dan hakiki. Kita tidak bisa serta merta memaksakan selera kita kepada orang lain. Kita tidak bisa pula memaksa orang lain untuk memproduksi sebuah zine. Barangkali, pergerakan zine di Semarang yang timbul tenggelam dan tidak masif disebabkan oleh watak dasar anak muda di Semarang yang malas, meskipun tidak semuanya begitu. Kami lebih senang mengekor Jakarta, Bandung, atapun Jogja sebagai 'pusat peradaban', dan sialnya adalah bahwa kami mangimani dan mengonsumsi hal tersebut secara bangga. Barangkali ada orang yang memiliki gairah namun tidak mendapat dukungan sehingga timbul rasa tidak percaya diri dan gairah tersebut lambat laun dia simpan begitu saja.

Pada 2013 lalu, saya dan beberapa teman sempat memproduksi zine yang berkonsentrasi pada bidang musik cutting edge (atau apapun penyebutannya) di Semarang. Gairah itu meletup-letup, namun hanya berlangsung hanya sekitar satu tahun. Apresiasi datang tidak hanya dari teman-teman di Semarang, namun juga dari luar kota. Dulu, hal yang saya lakukan agar distribusi zine tidak terbatas pada orang-orang yang itu-itu saja adalah dengan 'memanfaatkan' jaringan yang saya kenal. Misalnya, saya melakukan interview terhadap orang dan/atau band yang cukup berpengaruh di Semarang. Dengan begitu, mereka juga akan menyebarkan informasi hasil interview tersebut kepada orang lain.










4. Saya sempat membaca dua edisi awal dari Racau zine yang menurut saya lumayan berbobot dan sangat informatif. Ternyata, mas Galang adalah editornya. Ok, bisa bercerita sedikit tentang proses kreatif yang dilalui ketika membuatnya? Mengapa Racau tidak dilanjutkan lagi sekarang?
Dua edisi awal dan yang terakhir. Haha. Sebenarnya, ide untuk membuat Racau timbul dari keinginan seorang teman untuk menciptakan media alternatif yang dikhususkan bagi band-band Semarang. Pada waktu itu dan bahkan hingga sekarang, saya merasa gelisah jika berhadapan dengan dinamika musik cutting edge di Semarang. Band-band Semarang itu potensial untuk bisa menjadi raja maupun 'keluar' dari kotanya sendiri, namun karena tidak ada media khusus bagi mereka maka band-band Semarang seolah-olah terkurung. Sebut saja Octopuz, Moiss, Aimee!, ataupun Something About Lola sebagai rujukan.

Proses produksi Racau diawali dari diskusi dengan teman-teman mengenai hal-hal apa saja yang akan dibahas tiap edisinya, lalu bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan, kemudian tiap artikel dari hasil interview disunting sesuai dengan ejaan yang disempurnakan hingga naik cetak dengan biaya kolektif. Saya menekankan penggunaan Bahasa Indonesia yang baik agar orang-orang Racau sendiri maupun pembaca juga lebih khidmat mengonsumsinya meskipun mungkin terkesan kaku. Alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia sesuai EYD, timbul sindiran bahwa beberapa tulisan di dalam Racau tidak tepat sasaran karena ada beberapa kosakata yang masih asing. Saya suka hal tersebut, ada dinamika baru yang muncul sehingga dapat menciptakan interaksi berupa diskusi antara Racau dengan pembaca yang bersangkutan.

Setelah dua edisi, kami baru merasa kesulitan untuk membagi prioritas antara aktivitas Racau dengan aktivitas pribadi. Kami hiatus untuk sementara waktu, namun gairah tersebut lama-lama pudar hingga sekarang meskipun saya pribadi masih memiliki keinginan untuk tetap menulis. Scribo ergo sum.

5. Ada beberapa teman berpendapat bahwa media alternatif sendiri seharusnya memberikan opsi media yang baru untuk menandingi berbagai media arus utama yang di beberapa sisi sudah akut membuat bosan. Makin kesini sebenarnya mulai muncul gairah beberapa anak muda Semarang yang mulai menggarap media alternatif dengan berbagai macam kemasan yang menurut mereka ideal. Dari beberapa yang sempat terbaca, adakah kritik tersendiri dari mas Galang mengenai media-media alternatif baru ini?

Ada beberapa media baru di Semarang yang konsentrasiya berada pada wilayah musik dan subkultur pemuda. Tentunya, hal tersebut memang patut diapresiasi. Karena zine merupakan suatu kebebasan, saya tidak akan mengkritik tentang konten dalam zine yang bersangkutan karena hal tersebut merupakan hak otonom dari pembuatnya. Tapi kiranya teman-teman yang bersangkutan perlu untuk menambah referensi sebagai bahan rujukan.

6. Ok, meloncat ke lain topik. Provokata, sebuah band yang cukup unik dan menurut saya lumayan kritis. Bisa sedikit bercerita tentang band ini mengingat mas Galang adalah yang bertanggung jawab dalam departemen vokalnya?

Pada 2014, saya merasa heran ketika Gagas Agung Sedayu (gitaris Provokata) menawari saya untuk mengisi pos yang ditinggalkan oleh vokalis sebelumnya. Entah apa yang dijadikan dasar untuk merekrut saya. Tapi jujur, saya menyukai pola lirik yang dimiliki Provokata. Barangkali ada semacam takdir yang menghubungkan kami. Sebelum di Provokata, saya merupakan gitaris sekaligus penulis lirik dalam sindikat female fronted hardcore bernama Dislike Of Disguise. Alih-alih rekaman untuk album mini, vokalis Dislike Of Disguise memilih untuk keluar dari band.

Di Provokata, teman-teman langsung memberi porsi kepada saya untuk menulis lirik lagu baru setelah perilisan album Catatan Dari Sudut Kota (2014). Hal yang membuat saya suka dengan band ini adalah adanya diskusi internal untuk menanggapi lirik yang saya tulis -hal yang tidak saya temukan dalam band sebelumnya. Satu poin yang saya tangkap, bahwa lirik merupakan hal yang harus dipertanggungjawabkan oleh band itu sendiri. Jadi, kami perlu berhati-hati dengan apa yang seharusnya kami suarakan. Dalam waktu dekat, dua lagu baru Provokata akan dirilis dalam album kompilasi yang beramunisikan band-band punk/HC lain dari Semarang, pula tiga lagu tambahan untuk proyek kompilasi yang masih dirahasiakan. Oh iya, jika sudah dirilis nanti, silakan simak lagu yang berjudul "Vox Acta Diurna, Vox Dei".





7.  Dalam album Provokata, Catatan Dari Sudut Kota, ada satu lagu yang cukup menarik, "Untuk Mereka Yang Bakar Buku". Dan kami lihat para personil Provokata sendiri bisa dikatakan sangat masif dalam mengapresiasi karya dalam bentuk buku. Bisa bercerita sedikit tentang lagu ini?
Saya tidak menulis lagu tersebut. Tapi, menurut saya, "Untuk Mereka Yang Bakar Buku" merupakan satir yang didedikasikan kepada orang-orang yang melakukan pemberedelan buku. Mereka takut dengan adanya perbedaan sehingga berusaha untuk melenyapkan tiap goresan yang mereka rasa mengancam eksistensi mereka. "Where they have burned books, they'll end in burning human beings", kata Heinrich Heine. Tulisan dapat berubah menjadi senjata yang siap mengancam siapapun.

8. Segera teringat kejadian acara bedah buku tentang Tan Malaka yang sempat dipersulit oleh beberapa pihak di Semarang. Bagaimana pendapat mas Galang tentang kejadian tersebut?

Konyol. Ormas dan pihak kepolisian benar-benar cermat membaca undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, namun di sisi lain juga mengesampingkan Pasal 28 UUD 1945. Barangkali benar jika sejarah diciptakan oleh golongan yang menang di atas penderitaan golongan lain.

Saya sempat ke Polrestabes Semarang untuk membantu penyelenggara dalam menyampaikan surat perijinan acara bedah buku tersebut. Di sana, saya ditanya-tanya mengenai siapa itu Tan Malaka. Saya hanya meyakini bahwa pertanyaan tendensius aparat tersebut merupakan suatu jebakan yang mengarah pada jawaban berbau komunisme. Tapi untungnya, acara bedah buku di Semarang dapat dilaksanakan meskipun sempat mendapat penolakan dari pihak-pihak yang menganggap dirinya superior, namun terkesan inferior karena aksi penolakan tersebut.

9. Komunisme, sosialisme, dan anarkisme. Banyak anak muda yang ingin terlihat berbeda, kemudian memperdalam pemahaman tentang ideologi-ideologi yang dicap 'kiri'. Sebenarnyapun hak setiap orang untuk belajar tentang apa. Apa yang menjadi pegangan mas Galang dalam menjalani hidup? Apakah mas Galang sendiri meyakini sebuah ideologi tertentu?

Saya lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga penganut Marhaenisme. Saya ingat betul bagaimana almarhum kakek mengajarkan banyak hal mengenai kesederhanaan. Ketika kelas 3 atau 4 SD, saya mulai membaca dua biografi Soekarno, yaitu "Penjambung Lidah Rakjat" dan "Sang Putra Fajar". Lalu ada juga sebuah buku mengenai tragedi Kudatuli, saya lupa judulnya. Dari situ, saya mulai menjamah Che Guevara, tesis-tesis Karl Marx, dan Soe Hok Gie ketika menginjak remaja. Pada saat yang hampir bersamaan, saya juga mempelajari punk dari musik yang saya dengarkan. Seorang kerabat pernah 'takut' menghadapi keadaan tersebut.

Tapi memang benar, hidup dalam teori-teori merupakan hal yang konyol pada saat itu. Sejak memiliki pemikiran seperti itu, saya hanya mengambil sisi positif dari teori-teori yang saya baca, tidak ingin mengimplementasikannya secara berlebihan. Untuk punk, saya menganggapnya sebagai guru, bukan punk yang harus digeneralisasikan pada suatu definisi tertentu. Punk mengajarkan banyak hal. Sekarang, saya malah menganggap diri saya sebagai seorang utopis. Semangat yang menyelamatkan kita nanti, semangat percaya pada mimpi. Apapun itu.





10. Kebanyakan yang terlibat dengan punk, mendapatkan banyak referensi anarkisme. Sementara anarkisme sendiri selalu berada dalam ranah utopia ketika menghadapi tuntutan tentang tatanan-tatanan kehidupan sosial sebagai praktiknya. Bagaimana kamu sendiri memaknai anarkisme?
Masyarakat awam menganggap anarkisme sebagai ajaran untuk melakukan kekerasan. Padahal bukan. Saya tidak melulu mempercayai anarkisme secara total. Aristoteles menerangkan mengenai bentuk-bentuk pemerintahan, silakan cari sendiri di Google.

Menurut Aristoteles, anarkisme akan melahirkan bentuk pemerintahan demokrasi. Kalau begitu, bukankah anarki juga merupakan suatu sistem? Jujur, saya tidak percaya pada negara jika hal-hal yang dianggap sebagai kebijakan tidak dapat menjadi payung bagi segala lapisan masyarakat. Misalnya, jika kita bicara mengenai hukum dan perundang-undangan. Di Indonesia, perundang-undangan diciptakan tanpa ada pengujian kepada masyarakat terlebih dahulu, beda dengan yang ada di negara penganut sistem Anglo Saxon. Tapi pada sisi lain, bukankah kita memerlukan suatu sistem?

11. Manusia hidup memerlukan tatanan atau sistem demi kerinduan mereka tentang keteraturan. Dan kita hidup di sini, sebuah negeri, Indonesia. Bisa berbagi sedikit pendapat personal mengenai tatanan atau sistem yang diterapkan di sini? Atau mungkin ada kritik tersendiri terhadap negeri ini, entah itu dalam sisi politik, sosial maupun budaya?

Demokrasi, suatu sistem dari dan untuk rakyat. Rakyat memiliki kendali terhadap sistem tersebut. Anggap saja demokrasi merupakan sistem yang baik. Tapi, saya tidak terlalu mempercayai sistem yang ada di Indonesia. Ketika kita berbicara tentang suatu sistem pemerintahan, kita juga akan membicarakan politik yang membentuk pola pemerintahan tersebut.

 Kalau boleh saya bilang, demokrasi di sini adalah demokrasi-demokrasian. Partai politik yang mendapat jatah kursi di parlemen tidak dan/atau belum mampu menjadi corong untuk menjadi jembatan dalam memecahkan suatu masalah. Saya mempercayai bahwa ada kekuatan yang tak satu setan pun tahu yang mengendalikan sistem pemerintahan di Indonesia, entah dari luar maupun dalam. Dari situ, tiap ada pemilihan umum, saya lebih memilih untuk tidak memilih. Banyak anggapan bahwa tidak memilih sama dengan apolitis. Tapi, mari coba kita pahami bersama. Banyak juga yang menggunakan hak pilihnya, namun setelah itu hanya pasrah menerima keadaan. Bukankah itu juga merupakan sikap apolitis?

12. Anak muda Indonesia, di tengah badai teknologi dan carut marut di sekitar mereka. Pendapat mas Galang, apa yang harus segera dilakukan anak muda negeri ini untuk membuat sebuah perubahan ke arah yang lebih baik?

Meskipun artinya sama, tapi bolehkah "anak muda" diganti saja dengan "pemuda"? Haha. Menurut saya, kita membutuhkan kemauan untuk tidak menjadi pengekor secara terus menerus. Ambil saja segi positif dari kemajuan teknologi. Kalau mau, kita bisa mencari banyak referensi untuk menciptakan sesuatu, bukan hanya 'gaul' saja.

13. Hidup tidaklah luput dari aksara. Buku atau bacaan yang paling berpengaruh dalam hidup mas Galang?

"Catatan Seorang Demonstran"-nya Soe Hok Gie. Saya membacanya sekitar 8 tahun lalu. Soe Hok Gie memberi pelajaran tentang bagaimana cara menyikapi sebuah idealisme, alih-alih puisinya yang romantis namun tidak berlebihan. Rasa-rasanya, mempertahankan idealisme sangatlah sulit saat tiba masanya kita harus berbenturan dengan suatu keadaan tertentu. Salah satu hal yang membuat saya gelisah adalah ketika saya berada dalam keadaan dimana saya harus mempertahankan idealisme yang saya miliki, sedangkan saya juga harus hidup berdampingan dengan banyak orang.

Lalu, ada juga sebuah novel subkultur berjudul "Perang" yang ditulis oleh Rama Wirawan yang saya baca setelah saya diwisuda pada 2015 lalu. Saya sulit tertarik untuk membaca novel, tapi tidak untuk "Perang". Lucunya, saya mengenal Rama Wirawan pada 2013 lalu melalui zine, tapi saya tidak tahu jika beliau pernah menulis novel. Beberapa yang terkandung di dalam novel tersebut seolah menjadi semacam cerminan bagi diri saya pribadi, misalnya adalah kehidupan pascawisuda yang meninabobokan. Ada satu kutipan yang cukup 'mengganggu' di dalam "Perang". Kira-kira begini, "Marilah berimpi dan jangan terbangun. Ayo lihat, apakah kita butuh dunia atau dunia yang butuh kita untuk bisa berputar? Kita lihat, siapa yang akan lebih dulu menyerah kalah?"

14. Beberapa band Semarang yang menurut mas Galang perlu untuk diapresiasi?

Subyektif. Mari simak Octopuz, Moiss, dan Confess.

Untuk Octopuz dan Moiss, saya langsung menyukai mereka ketika mereka tampil ke permukaan karena di Semarang belum ada band yang musiknya seperti mereka. Sedangkan untuk Confess, band tersebut seperti memiliki energi berlebih untuk membakar lantai dansa, namun beberapa kali moshpit malah lowong ketika mereka tampil, entah kenapa.

15. Oke mas Galang, terima kasih banyak buat waktunya. Sangat ditunggu karya-karya selanjutnya. Ada ucapan atau apapun untuk mengakhiri interview ini?

Sama-sama, Kaum Kera. Saya pun juga senang dilibatkan dalam edisi kali ini, semoga dapat berkontribusi untuk edisi selanjutnya. Semoga pula, Kaum Kera dapat menyebarluaskan ide-idenya dalam jangka waktu yang cukup lama dan menginspirasi teman-teman lain untuk menciptakan media alternatif sejenis. Salam.

Kamis, 12 Mei 2016

Ngobrol Ngalor Ngidul bersama Riska Farasonalia

Salah satu yang lumayan terlibat  aktif dalam pergerakan perempuan di Semarang, juga aktif bermusik dengan beberapa music project-nya, sedikit banyak publik Semarang cukup mengenal sosoknya melalui karya-karya seni dan berbagai aksi aktivisme-nya. Dia juga salah satu yang menyediakan diri untuk membantu mengelola Kaum Kera Infoshop. Sebenarnya sudah lama ingin mengadakan sesi wawancara dengannya untuk dimuat di Kaum Kera Zine, dan baru sekarang tersampaikan. Silahkan simak obrolan kami berikut ini, semoga menginspirasi.



1. Musim hujan hampir berakhir dan Semarang memang semakin panas. Bagaimana kabarnya mbak Riska?

Kabar baik. Selain agak sibuk mengelola distribusi produk brand art project saya, Riska!Riska! juga sedang membantu distribusi rilisan E.P. Dead Alley "Minima Moralia". Oh iya, saya juga salah satu volunteer yang ikut mengelola Kaum Kera Infoshop. Jika ada teman-teman, siapapun kalian, yang membutuhkan ruang alternatif untuk pameran karya, bedah buku, klab membaca, diskusi, workshop, screening film atau kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya, kami akan sangat senang sekali jika bisa membantu.

2. Mbak Riska adalah salah satu pendatang dari kota lain yang akhirnya memilih untuk berkegiatan di kota ini, Semarang. Bisa bercerita sedikit tentang segala apapun mengenai kota tersebut, mbak?

Semarang adalah kota pesisir dengan cuaca yang cenderung panas, tapi bagian kota atas yang dekat dengan pegunungan, berhawa lumayan sejuk. Kota ini adalah kota yang lumayan dinamis dengan hiruk-pikuk berbagai budaya anak muda. Ramai pula karya-karya dalam berbagai bentuk yang dihasilkan. Yang akhirnya menjadi keprihatinan tersendiri adalah, karya-karya dari kota ini, kebanyakan, kurang berhasil menggapai apresiasi dari lingkup audiens yang lebih luas.

Akhirnya saya mencoba menganalisa, sebenarnya ada permasalahan apa dengan kota ini. Kemudian saya sampai pada kesimpulan, ini sifatnya kesimpulan pribadi, bahwa para pelaku komunitas di kota ini jarang ada kemauan atau insiasi untuk saling berjejaring. Padahal berjejaring, biasanya, akan menghasilkan kebiasaan untuk saling mendukung diantara pelakunya. Apalagi, menurut apa yang saya lihat, suhu kompetisi di kota ini sangat kencang. Sayapun kemudian menyetujui perkataan seorang teman, bahwa apapun yang dibangun atas dasar kompetisi, akan menemukan keruntuhannya. Solusinya? Membudayakan apa yang dulu orang-orang bilang kebersamaan. Hal tersebut pelan-pelan akan menjadi budaya terbentuknya lingkaran-lingkaran support community system. Dengan membiasakan diri, kita akhirnya akan terbudayakan untuk saling mendukung dan mengapresiasi karya-karya yang teman kita hasilkan.

Oh iya, satu hal yang juga sangat penting adalah, media. Kota ini butuh dan perlu untuk memperbanyak kuantitas dan kualitas media independen-nya, entah itu dalam bentuk fisik maupun digital. Salah satu sebab kenapa karya-karya dari kota ini jarang mendapat perhatian adalah karena kurangnya media-media lokal yang sebenarnya sangat berpotensi membuat sebuah karya bisa terdongkrak porsi atensinya.

3. Apa yang menyebabkan jarangnya kesadaran untuk berjejaring antar penggiat komunitas di sini kalau menurut mbak Riska?

Sekali lagi, itu kesimpulan saya pribadi. Jadi bisa saja, kesimpulan saya salah. Tapi begini, saya melihat pola pergerakan komunitas di kota lain, dan yang saya lihat adalah kesadaran untuk bekerja-sama demi mendukung karya-karya tersebut hingga naik ke permukaan. Dan yang terjadi kemudian, orang-orang yang mengapresiasi karya-karya tersebut akan tertarik juga untuk mengapresiasi karya-karya lain dari kota yang sama. Demikianlah support community system tersebut terbentuk. Walaupun tentu saja, pasti akan ada juga benturan-benturan dan berbagai adu argumen demi matangnya sebuah cara penerapan yang baik. Itulah proses, seperti apapun, kita pasti harus menjalaninya karena tidak ada yang serba serta-merta.

Dengan melihat pola yang diterapkan dari kota lain, sebenarnya kita bisa mengambil banyak pelajaran. Walaupun kita tidak menafikkan bahwa memang setiap kota itu medannya beda, tapi paling tidak, kita bisa menemukan pola umum gerakan komunitas yang diterapkan di berbagai kota. Kemudian pelajaran-pelajaran tersebut bisa kita mulai untuk dicoba diterapkan di kota kita, tentunya dengan penyesuaian atas kondisi dan situasi.

Kemudian kembali kepada pertanyaan tentang jarangnya kesadaran untuk berjejaring antar penggiat komunitas di kota ini? Saya pikir salah satu kendala utamanya adalah jarangnya forum diskusi atau apapun itu demi mendukung komunikasi yang sehat dan terbuka di antara mereka. Iya, masalah komunikasi saya pikir adalah permasalahan utama tentang hal tersebut. Ketika budaya komunikasi tersebut sudah ada, saya pikir permasalahan-permasalahan yang kita bahas sebelumnya, sudah lama selesai di Semarang. Tapi tidak tahu ketika ada beberapa orang yang sudah merasa puas dengan pencapaian yang ada sekarang dan kemudian memandang segala hal itu baik-baik saja dan cukup sampai di situ. Saya pikir tidak, ketika kita berani untuk membandingkan diri dengan pencapaian kota-kota yang lain seperti Yogyakarta, Surakarta, Bandung dan Jakarta. Kita harus berani, barang sejenak, untuk mengakui bahwa kita ketinggalan dan kita harus mulai melakukan sesuatu apapun  itu demi mengejarnya.

4. Dan permasalahan media. Menurut mbak Riska apa yang menjadi kendala?

Media alternatif di kota ini minim. Saya tidak tahu kenapa, tapi yang jelas saya melihat bahkan kesadaran untuk membuat media sendiri di kota ini masih jarang. Apakah karena pelaku komunitasnya juga terlalu berharap dengan media arus utama atau kemalasan untuk menulis, saya kurang tahu sebabnya. Tapi fakta, media alternatif di kota ini, sangat minim.

Saya sendiri salut dengan teman-teman yang tetap berinisatif untuk membuat media sendiri demi pergerakan mereka. Semarang on Fire, Pranala Music, Buletin Hysteria dan bahkan Kaum Kera zine ini, saya pikir media-media alternatif yang sekarang ini ada pun harus tetap sering memperovokasikan tentang pentingnya membuat media sendiri. Media itu mampu mendongkrak porsi atensi karena bisa mempengaruhi massa.



5. Ok, melompat ke lain topik. Mbak Riska adalah drummer dari sebuah band fastcore bernama Dead Alley. Beberapa waktu yang lalu sempat pula tour untuk promosi mini album yang dirilis, Minima Moralia. Bisa bercerita sedikit tentang band ini?

Dead Alley adalah sebuah band yang di dominasi oleh perempuan. Ada beberapa personel laki-laki di dalamnya dan bukan berarti peran mereka tidak penting. Feminisme adalah isu dominan yang paling sering kami suarakan. Tanpa adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka perubahan dunia juga akan berjalan timpang. Kesetaraan itu erat kaitannya dengan keseimbangan, bukan tentang menang dan kalah.

Perempuan pun berhak untuk menentukan hidupnya akan seperti apa, seperti halnya para lelaki juga mempunyai hak yang sama tentang hal itu. Pola pikir yang seharusnya ditanamkan adalah bahwa perempuan itu berhak untuk mandiri, berhak untuk tidak tergantung kepada laki-laki. Para feminis ataupun pejuang pergerakan perempuan lainnya harus mulai menolak segala budaya patriarkal yang mendukung pemikiran-pemikiran yang menghambat akan perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tersebut.

Dead Alley baru saja menyelesaikan tour ke beberapa kota untuk mempromosikan E.P. Minima Moralia yang baru saja dirilis beberapa waktu yang lalu. Senang sekali bisa berkenalan dengan kawan-kawan baru di kota lain. Selain feminisme kami juga membahas isu-isu lain demi menyebarkan ide-ide yang kami pikir berguna untuk sebuah dunia yang lebih baik. Dalam waktu dekat ini kami akan merekam album penuh kedua kami.

6. Dan di Semarang, apakah isu feminisme masih sangat relevan untuk di bahas?

Di manapun dan kapanpun, ketika budaya patriarki masih ada, isu feminisme tetap akan relevan untuk dibahas.

Di Semarang yang saya pikir pergerakan perempuannya kurang massif, budaya untuk menganggap kaum perempuan itu masih di bawah kaum laki-laki, masih sangat kental. Bahkan dalam ranah aktivisme di kota ini, isu feminisme saya pikir masih dianggap sebagai isu yang kurang penting untuk di bahas. Sayapun mengakui, disadari atau tidak, bahwa laki-laki ternyata sangat mendominasi. Mungkin dari itu pulalah saya berpikir bahwa kaum perempuan, di kota ini,  harus merevolusi pola pikir dan mental mereka terlebih dahulu sebelum kemudian keluar untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Tentu saja diikuti dengan kegiatan berjejaring yang massif di antara perempuan-perempuan itu sendiri.

Ketika dunia sadar bahwa ternyata para perempuan bisa menentukan kontrol hidup mereka di tangan sendiri, pola pikir untuk cenderung meremehkan perempuan, akan hilang dengan sendirinya. Ketika kesetaraan itu tercapai, hubungan apapun itu bentuknya antara laki-laki dan perempuan, saya pikir akan berjalan lebih sehat. Oh iya, saya sangat muak dengan lagu-lagu guyon nggak mutu karya band-band lokal yang dengan gaya cengengesan seenaknya menjadikan perempuan sebagai obyek banyolan mereka.

7. Beberapa waktu lalu helatan Lady Fast di Yogyakarta yang akhirnya dibubarkan secara paksa oleh sebuah ormas. Sebagai salah satu yang ikut menghadiri acara tersebut, bagaimana pendapat mbak Riska?

Lady Fast adalah sebuah helatan menarik yang diadakan oleh Kolektif Betina. Selain sebagai ajang temu kangen antar individu yang aktif dalam kolektif tersebut, banyak agenda menarik dalam acara yang memang bertujuan memperjuangkan hak-hak perempuan. Kemasan acaranyapun sangat fun, serius tapi santai. Pembubaran paksa acara tersebut oleh salah satu ormas fasis intoleran, bagi saya pribadi sangat mengecewakan dan saya yakin teman-teman yang lainpun merasa sangat kecewa. Sekali lagi kami disadarkan bahwa perjuangan para perempuan masih mendapat banyak ganjalan di negeri ini.

Dalam acara tersebut, baru pertama kali dalam hidup saya, melihat bagaimana panggung musik dan lantai dansa didominasi oleh para perempuan. Bukan bermaksud apa-apa, tapi sering kali saya merasa tidak aman ketika berada di tengah crowd mosh pit yang memang rentan pelecehan. Dan acara seperti ini juga berfungsi sebagai perayaan sebuah ruang aman bagi para perempuan. Ruang aman dan nyaman bagi para perempuan ketika mengekspresikan karya atau juga ketika sedang mengapresiasi karya. Iya, ruang aman itu penting. Paling tidak ruang aman yang terbangun membantu menyadarkan orang-orang yang berada di dalamnya, entah itu laki-laki atau perempuan, untuk berpola pikir bahwa tidak ada gender yang lebih unggul daripada gender lainnya. Dengan kata lain, ruang aman tersebut membantu pemahaman tentang kesetaraan. Maka dari itu, setiap kita yang perduli akan gerakan perempuan, harus memulai untuk membangun ruang-ruang aman tersebut dimanapun kita berada.

Dan bagaimanapun budaya renta yang patriarkal dengan antek-anteknya semacam ormas fasis yang membubarkan helatan tersebut terus berusaha menghalangi, kami berjanji bahwa akan tetap ada helatan semacam Lady Fast untuk ke depannya.



8. Mbak Riska adalah salah satu yang terlibat dalam Kaum Kera Infoshop yang fokus dalam gerakan literasi. Bagaimana mbak Riska sendiri menjabarkan pentingnya gerakan literasi?

Begini, ketika kita memperhatikan sejarah bangsa di mana banyak kejahatan-kejahatan dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya dan yang terjadi kemudian hanya menerima saja terhadap segala kejahatan dan ketidak-adilan tersebut, hal itu disebabkan salah satunya karena kurangnya literasi.

Ketika literasi mempunyai korelasi kuat dengan wawasan, maka seseorang yang terliterasi dengan baik tidak akan mudah terbodohi dan bahkan menjadi lebih peka untuk bereaksi ketika sebuah institusi besar semacam negara mulai dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan pribadi. Dari situ saja sudah terlihat betapa pentingnya sebuah gerakan literasi.

Literasi bisa didapatkan dimanapun dan kapanpun serta dengan cara apapun. Yang menjadi pertanyaan dasar adalah : apakah kita mau atau tidak untuk segera meliterasi diri di tengah dunia yang sudah carut marut seperti ini? Literasi erat kaitannya dengan buku atau karya berbentuk tulisan lainnya, seperti zine ini juga. Kita hanya harus menyisakan waktu dan enerji demi menumbuhkan keinginan untuk membaca. Selain menumbuhkan pemahaman akan sesuatu, aktivitas membaca juga menimbulkan dasar-dasar pengetahuan tentang menulis. Dan keinginan untuk menulis akhirnya bisa berujung menjadi sebuah karya tulis yang notabene juga mendukung gerakan literasi itu sendiri.

9. Ok, sebagai salah satu yang aktif dalam gerakan literasi, pasti mbak Riska juga membaca buku. Buku apa saja yang bisa menjadi rekomendasi?

Saya baru saja menyelesaikan dua buku yang saya dapat dari seorang teman. Kebetulan dua buku tersebut sangat membekas setelah menyelesaikan pengalaman membacanya.

1. Dari Penjara Ke Penjara karya Tan Malaka
Sebuah buku otobiografi karya Tan Malaka. Salah satu pahlawan nasional penggagas kemerdekaan Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan akhirnya berakhir tragis di bunuh oleh tentara bangsa sendiri. Kebanyakan buku Tan yang sebelumnya saya baca, berisi pembedahan segala ide dan teorinya tentang berbagai hal seperti yang tertuang dalam Madilog ataupun Gerpolek, sementara dalam buku ini Tan Malaka lebih banyak bercerita tentang perjalanannya yang mengarungi hampir 2/3 bagian bumi. Buku ini sekaligus menyadarkan, bahwa ada tokoh dari negeri ini yang petualangan revolusinya berada pada level yang sama dengan Che Guevara. Seorang tokoh yang dibuang keluar dari negerinya dan di buru oleh intelijen beberapa negara yang merasa terancam karena sepak terjangnya. Dalam buku ini, gaya Tan Malaka bercerita, terasa sangat emosional.

2. Bilangan Fu karya Ayu Utami
Buku ini salah satu buku tebal yang membuat saya tetap betah selama membacanya. Sebuah buku cukup penting yang menyadarkan tentang siapa musuh sebenarnya dalam masyarakat post modern. Untuk sebuah buku yang mempunyai misi khusus, gaya Ayu Utami bercerita sangatlah mumpuni sehingga membuat orang yang membaca Bilangan Fu akan tergerak untuk menyelesaikannya hingga halaman terakhir. Inspirasi yang didapat setelah menyelesaikan buku ini tidak main-main karena membekali pembacanya untuk memasang kewaspadaan tentang betapa bahaya ketika tiga ideologi mengalami penerapan dalam waktu yang bersamaan dan kemudian cenderung menjadi hal yang tidak benar. Tiga ideologi tersebut, dan menurut buku ini adalah musuh-musuh terbesar dalam masyarakat post modern yaitu : Militerisme, Modernisme dan Monoteisme.

10. Lagu yang belakangan ini sering dinyayikan ketika sendirian?

Rebel Girl-nya Bikini Kill dan People Have the Power-nya Patti Smith

11. Ok mbak Riska, terima kasih atas waktunya dan sangat ditunggu karya-karya selanjutnya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan untuk menutup interview ini?

Terima kasih juga Kaum Kera atas kesediaan untuk berbagi dalam edisi ini, semoga terbit terus kedepannya. Mari sebarkan semangat untuk saling berbagi, bukan untuk saling berkompetisi. Sampai berjumpa dalam perjumpaan yang bukan maya dimanapun kita akan berjumpa. Salam

Rabu, 11 Mei 2016

Resensi Buku : Nyanyian Akar Rumput "Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul"

Nyanyian Akar Rumput
"Kumpulan Lengkap Puisi Wiji Thukul"


Dalam pengantar buku setebal 244 halaman ini, Almarhum Munir Said Thaib menjabarkan yang walaupun secara singkat, cukup memberi penjelasan tentang pentingnya sosok Wiji Thukul dan beratnya kasus-kasus pelanggaran HAM khususnya penculikan-penculikan aktivis oleh militer di Indonesia era kejatuhan Soeharto. Bagi yang terlibat langsung dalam hiruk pikuk aksi massa demi menjatuhkan Soeharto kala itu, sosok Wiji Thukul sendiri memang sudah krusial dan ikonik. Perjuangan melawan Soeharto adalah protes terhadap pengekangan kebebasan hak bersuara dan berekspresi, ketidak-adilan dan korupsi yang terjadi hampir di seluruh sektor aparat negara, serta kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara dengan aparat militernya secara sistematis. Munir mengawali kalimat dalam pengantar buku ini, "Hanya ada satu kata : Lawan!" Sebuah jargon yang lebih dikenal banyak orang ketimbang orang yang melahirkan jargon tersebut : Wiji Thukul sendiri.

Mencermati perjalanan Wiji Thukul sendiri adalah aksi menyimak sebuah perjalanan laku samsara yang tak berkesudahan. Saya sendiri tidak berani, bahkan sekedar membayangkan, bagaimana rumitnya sebuah hidup yang kesehariannya penuh dengan kungkungan bahaya seperti yang beliau jalani. Kemiskinan dan represi adalah warna yang harus dilalui sehari-hari. Seluruh negeri yang hidup dalam ketidak-pastian, berjuang menyambung hidup hari ini dan hari esok adalah urusan nanti, karena situasi saat itu memang memaksa untuk berpola pikir seperti itu. Perjuangan berat untuk menyediakan makanan di atas meja demi keluarga, ditambah tuntutan kebutuhan lain sehari-hari dan semua itu dilalui bahkan di bawah ancaman bahaya. Wiji Thukul sangat berhasil mendokumentasikan semua gambaran tersebut dalam kumpulan puisi-puisinya. Buku ini, bagi yang mencermati, seperti layaknya buku harian yang mendokumentasikan gambaran-gambaran masa itu dan sangat penting bagi generasi sekarang yang ingin tahu di negeri seperti apa para pendahulunya dulu menjalani hidup.

Selain produsen puisi-puisi yang membakar, Wiji Thukul sendiri dalam pandangan saya adalah sosok yang sangat filosofis. "Penyair haruslah berjiwa bebas dan aktif, bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya." Dalam pengantar buku yang ditulisnya sendiri, kalimat tersebut mengawali. Sebagai sosok yang berjibaku langsung dengan kerasnya hidup kaum akar rumput masa itu, saya yakin sosok Wiji Thukul selalu penuh pertanyaan akan konsep kebenaran. Ada satu puisi dalam buku ini yang menggambarkan tentang bagaimana karena rasa lapar, manusia terpaksa memakan kucing. Hewan domestik yang di negeri ini, selain haram dalam hukum salah satu agama, memang tidak lazim menjadi bahan pangan. Tetapi rasa lapar memang bisa merubah manusia, apalagi bagi mereka yang marah karena tertindas negara sendiri. Kelaparan adalah hal yang berbahaya bukan hanya bagi nyawa, tapi juga jiwa. Kalian akan menyadarinya ketika menyaksikan sendiri betapa aneh dan tidak biasa tingkah dan pikiran tubuh yang kurang dari lima puluh persen berat badan minim yang seharusnya. Dan keberanian untuk menantang kelaparan, adalah kepahlawanan tersendiri. Wiji Thukul mampu memotret hal-hal tersebut dalam kumpulan puisinya. Jangan berharap sesuatu yang indah dalam isi puisinya, karena fakta yang menyeramkan tentang sejarah negeri ini dibuka dengan lugas di sana.

Almarhum Soeharto adalah musuh besar Wiji Thukul, siapa yang akan menyangkal hal itu? Jika Wiji Thukul tidak dianggap musuh besar, tidak mungkin Soeharto akan bersusah payah menculik dan menghilangkannya. Seorang anak tukang becak, penggiat seni dengan tubuh kurus kering, kerja serabutan dan hidup berpindah-pindah karena seringnya penggusuran oleh pihak aparat, ternyata puisi-puisinya sungguh penuh dengan provokasi. "...Kami rumput butuh tanah. Dengar! Ayo gabung ke kami biar jadi mimpi buruk presiden!" Potongan tersebut dari puisinya yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput", berisi sepenuhnya provokasi kepada mereka semua yang miskin dan tertindas oleh pemerintahan Soeharto, untuk bersatu dan melawannya. Sekedar mengingatkan, pada masa tersebut orang akan berpikir seribu kali bahkan untuk membuat karya seni dalam bentuk apapun, yang bersifat anti Soeharto. Jenderal yang selalu tampil di depan publik dengan senyum hangat kebapakkan tersebut, mampu menghilangkan nyawa seseorang semudah membalikkan tangan. Tapi bagi Wiji Thukul, mungkin penderitaan sudah hampir ujung kepala. Makan pun belum, rumah sudah digusur pula. Dan melawan Soeharto yang dianggap biang yang menyebabkan penderitaan, adalah kepahlawanan tersendiri bagi Wiji Thukul. Dia yang berani memilih jalan tersebut, dalam segala keterbatasannya, dan dalam kapasitasnya baik sebagai seorang aktivis ataupun seniman, terus terang membuat kagum dan terinspirasi.

"... jika kamu menghamba pada ketakutan kita akan memperpanjang barisan perbudakan." Baris terakhir dari puisi berjudul "Ucapkan Kata-Katamu" tersebut saya temukan dihalaman dua tujuh. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bagi saya puisi Wiji Thukul selain tentang dokumentasi, adalah tentang provokasi. Provokasi bisa diartikan sebagai sebuah ajakan untuk melakukan sesuatu, dan sesuatu itu bagi Wiji Thukul adalah perlawanan. Kaum jelata di masa kekuasaan orde baru, adalah kaum yang dimarjinalkan, sengaja dipinggirkan sekaligus dikontrol oleh negara supaya tidak bergolak dengan teror-teror, baik secara fisik ataupun mental. Hal tersebut memunculkan rasa takut, karena teror-teror tersebut bukanlah gertak isapan jempol semata, tapi benar-benar terjadi dalam hidup keseharian. Kaum jelata kala itu, seiring mata memandang, memang hanya maut yang tampak depan mata : mayat bertato yang dibuang di pinggir selokan, bocah kurus kering mengais makanan sisa di tempat sampah, maling beras yang tubuhnya hangus dibakar massa, wajah Soeharto yang tersenyum di televisi dan koran, tanda pangkat militer, pisau komando, bunyi desing peluru, alat-alat berat penggusur rumah pinggiran. Bagi Wiji Thukul, penderitaan yang sudah sampai ubun kepala dan hanya terima-terima saja, adalah ketidak-benaran. Manusia tidak pantas diperlakukan seperti itu, dan Wiji Thukul memperlakukan apapun dalam kapasitasnya, sebagai perlawanan atas hal tersebut.

Permasalahan buruh di Indonesia selalu menjadi permasalahan krusial dari awal bahkan semenjak zaman kolonial hingga sekarang. Dalam sebuah negeri yang kapiltalistik barbar seperti masa orde baru, nasib buruh sungguh dilematis. Di sisi lain mereka membutuhkan korporasi untuk bisa menyambung hidup, tapi di sisi lain mereka kerap di eksploitasi dengan semena-mena. Buruh, apalagi masa itu, sering disamakan dengan mesin produksi. Upah tentu saja ditentukan oleh tingkat produktifitas mereka. Itulah mengapa buruh selalu terpinggirkan dalam dunia industri dan nasibnya selalu memprihatinkan dari masa ke masa. Kondisi tersebut diperparah dengan alasan Soeharto bahwa stabitilitas negara adalah segala-galanya. Tindakan represif yang terkadang berujung korban nyawa, sering terjadi pada para aktivis buruh yang berusaha lantang memperjuangkan hak-haknya. Wiji Thukul tanpa takut mengambil peran dalam aksi-aksi tersebut. Dalam buku ini, kumpulan puisi-puisinya sekaligus mendokumentasikan dan memberikan provokasi bagi para buruh untuk tidak diam saja pada keadaan waktu itu. Pasti akan segera teringat jargon legendaris dari sang Wiji Thukul yang telah disebutkan di awal tulisan ini : "Hanya ada satu kata : Lawan!"

Sebuah aksi perlawanan, sudah hampir pasti menuai konsekuensi. Wiji Thukul sadar akan hal itu. Menjelang buku berakhir, dalam bab yang berjudul "Para Jenderal Marah-Marah", perasaan tentang bagaimana rasanya menjadi buron dituangkan dengan sangat jelas di sana. "... Aku sekarang buron. Tapi jadi buron pemerintah yang lalim bukanlah cacat, pun jika aku dijebloskan ke dalam penjaranya." Sepenggal potongan puisi yang berjudul sama dengan judul bab tersebut masih menyiratkan semangat. Bab terakhir yang menggambarkan suasana hati Wiji Thukul ketika berpindah-pindah tempat demi menghindari intel militer yang senantiasa mengincar dan menunggu saat untuk menyergapnya. Dari rumah ke rumah, dari truk ke truk, dari kota ke kota. Masih sempat juga menulis betapa indahnya bintang-bintang ketika tidur rebahan di atas bak truk yang membawanya entah kemana, atau nikmatnya sepiring nasi dengan sambal kecap yang disuguhkan teman persinggahan dalam pelarian. Mungkin benar kata almarhum Pramoedya Ananta Toer seperti yang ditulisnya dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, bahwa dalam keadaan genting, seseorang malah bisa menikmati kebahagiaan walaupun sekecil apapun bentuknya. Saya mencoba menyelaminya, membayangkan samsara seperti apa yang ditempuh penulis puisi yang sekaligus pembangkang ini.

Semenjak dua puluh tujuh Juli 1996 sampai sekarang, Wiji Thukul masih dinyatakan hilang. Dua tahun setelahnya, tepatnya bulan Mei 1998, mungkin Wiji Thukul tidak menyaksikan bagaimana tirani yang dilawannya dengan sepenuh hati akhirnya tumbang. Tidak pula, mungkin, ketika musuh besarnya sang jenderal besar yang gemar tersenyum tersebut, Soeharto, akhirnya meninggalkan dunia. Banyak yang masih mempercayai bahwa Wiji Thukul sejatinya masih hidup, banyak pula yang meyakini bahwa dia sesungguhnya telah gugur dibunuh militer. Terlepas pro dan kontra tentang itu, Wiji Thukul sudah menjadi monumen bagi banyak orang yang memilih tidak diam saja ketika negara dengan berbagai aparaturnya mulai berbuat ulah. Sekali lagi, puisi Wiji Thukul sepenuhnya berisi dokumentasi dan provokasi. Dan itulah kenapa buku seperti ini akhirnya menjadi penting, karena provokasi itu bisa saja menjadi inspirasi.  ~ Manusia Kera

Minggu, 08 Mei 2016

Resensi Rekaman : AK//47 "Verba Volant Scripta Manent"

Sebuah Album Grindcore Kritis Yang Menghajar Ignoransi



Rentang waktu 17 tahun bukanlah rentang yang bisa dikatakan pendek untuk ukuran proses perjalanan sebuah band. Dan dari Semarang ada AK//47, sebuah kolektif seminal grindcore yang tumbuh besar dari skena hardcore punk dan telah menjalani rentang waktu tersebut dalam hingar bingar proses perjalanannya. Satu yang mungkin paling tertangkap ketika mengapresiasi mereka adalah, aksi kritis yang kerap dimanifestasikan bahkan dalam kehidupan di luar band. Bukan rahasia kalau beberapa personel dari mereka adalah tukang vandal tembok-tembok kota demi memperlebar penyebaran ide-ide yang dibawakan dalam komposisi-komposisi grindcore yang mereka tuangkan. Garna sang gitaris, dulunya adalah seorang penggiat awal kultur zine di Semarang bersama eks-vokalis yang kini telah mengundurkan diri, Kesit. Sejak awal band ini memang sudah memperlihatkan kepedulian tinggi tentang pentingnya gerakan literasi.

Pertemuan saya dengan AK//47 dimulai ketika mengapresiasi album kedua mereka yang mempunyai titel: "Barricades Close The Street But Open The Way" Sebuah album grindcore yang saya pikir banyak mempunyai tempelan groove-groove atau gaya riffing gitar yang sering dipakai kebanyakan band-band Newyork Hardcore. Di album itu pula saya berkenalan dengan sebuah anthem monumental mereka yang berjudul : "Yang Muda Yang Melawan" Sebuah komposisi grindcore anthemic dengan lirik lugas serta pemilihan diksi yang kuat walaupun durasinya sangat pendek. Kebanyakan lagu-lagu mereka di album tersebut memang berdurasi pendek dengan pola riffing tiga kunci yang beriringan deru blastbeat dan double bass drumming yang masif. Sebuah album grindcore sederhana tapi sarat ide dengan tema provokasi kepada para pendengarnya untuk berpikiran terbuka terhadap segala hal. Album ini, bagi saya, monumental.



Ak//47, dalam pandangan saya, adalah band yang cukup unik dalam hal musikal. Dari rilisan satu ke rilisan lainnya, grindcore yang mereka mainkan tidak pernah sama. Di album pertama mereka yang dirilis sekitar tahun 2002 dengan titel "Dreams Will Always Be Our Loaded Gun", band ini mengambil pengaruh kuat dari band-band swedish hardcore semacam kontrovers dan diskonto. Di album kedua, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, mereka banyak mengambil pengaruh dari band-band newyork hardcore. Tapi uniknya, mereka tetap berhasil mempertahankan signature grindcore yang telah mereka bangun sejak awal selain image politis yang menempel erat pada band ini. Menurut saya, tidak banyak band yang mampu melakukan hal tersebut dan menjadikan AK//47 sendiri menjadi unik dalam pandangan saya. Grindcore yang mereka mainkan, mempunyai banyak rasa. Tapi terlepas itu semua, satu yang mungkin menempel kuat dalam setiap lagu yang mereka buat, adalah agresifitas baik dalam hal musik maupun lirik. Mereka selalu memperlakukan proses pembuatan lirik dengan sangat serius, didahului dengan diskusi mendalam antar personilnya.

Dan tahun 2016 ini, setelah 17 tahun mempertahankan eksistensi mereka, akhirnya lahirlah album ketiga mereka dengan titel : "Verba Volant Scripta Manent". Sebuah ungkapan latin yang berarti, kurang lebih : Yang sekedar terucap akan hilang dan yang tertulis akan menjadi abadi. Saya sempat bertanya kepada eks vokalis-Kesit-yang memang sang pemberi ide awal judul album tersebut sekaligus sebagai penulis lirik di hampir seluruh album ini, tentang alasan pemilihan judul album tersebut. Dia menerangkan, bahwa segala sesuatu, apalagi dalam bentuk karya, sebaiknya didokumentasikan. Dokumentasi fisik biasanya akan menjadi monumen dan akan di ingat orang. Sebuah karya fisik itu bisa menjadi penanda waktu, rekam jejak. Dan hebatnya bisa dirasa dan dipegang secara langsung. Lelaki yang juga gemar menulis ini sekaligus juga menerangkan bahwa album ini sekaligus provokasi kepada setiap orang yang mendengarkan album ini untuk lebih meliterasi diri sendiri.



Album ini dibuka oleh sebuah komposisi grindcore yang berkarakter kuat serta konten lirik sarkas yang berisi kemuakan terhadap para kaum kelas menengah yang cenderung menjadi ignoran dalam menyikapi segala permasalahan di sekitarnya, Ignorant Middle Class. lalu, sebuah track tentang dukungan mereka terhadap penolakan pembangunan pabrik semen dan penambangan karst di Rembang, Makan Semen. Di lagu ini mereka berkolaborasi dengan vokalis metal vete komposisinya. Selain Rudy Murdock, AK//47 juga berkolaborasi dengan vokalis band death metal legendaris semarang, Syndrome, yaitu Luthfi Debronzes. Dan di track berjudul Punguti Aksara, mereka berkolaborasi dengan vokalis Siksa Kubur, Rudddy Harjianto. Entah disadari atau tidak, aksi-aksi kolaborasi tersebut memberikan nilai lebih tersendiri bagi album ini.

Entah berhubungan dengan usia atau tidak, tapi grindcore yang mereka suguhkan dalam album ini terasa lebih dewasa, lebih matang. Riffing gitar yang lebih kaya dan selipan beat groove yang cerdas demi memberi variasi di tengah deru blasbeat dan double bass drumming yang massif.  Ada sesuatu yang menunjukkan perbedaan dengan album-album AK//47 sebelumnya, yaitu karakter vokal. Perpaduan anger growl dan screeching voice yang bersahut-sahutan di hampir setiap lagu semakin membuat album ini terkesan lebih grindcore. Album-album mereka terdahulu sangat mendewakan sistemasi tiga kunci dan vokal serak kasar yang otomatis memberikan nuansa hardcore punk yang kental ketika mengapresiasinya. Walaupun begitu, seperti biasanya, dalam Verba Volant Scripta Manent, mereka tetap bermain-main dengan memasukkan selipan-selipan nuansa crust punk, D-Beat, rock n' roll dan bahkan blues. Selipan-selipan tersebut terus-terang memberikan ciri khusus pada grindcore yang mereka mainkan.



Penulisan lirik dalam album ini juga terasa berbeda dengan album-album sebelumnya. Dalam Verba Volant Scripta Manent, penulisan liriknya cenderung puitis. Tentu saja berbeda dengan lirik-lirik mereka terdahulu yang cenderung lugas tepat langsung dihadapan muka. Penggunaan bahasa Indonesia mendominasi penulisan lirik di album ini. Bahkan dalam lagu yang sekaligus judul album ini - Verba Volant Scripta Manent - ternyata liriknyapun memakai bahasa Indonesia. Saya yakin, dalam album ini mereka bekerja cukup keras dalam hal diksi, pemilihan kata dan kalimat ketika menulis lirik. Entah mereka berusaha menarik inspirasi dari kebanyakan band metal yang memang cenderung puitis ketika menceritakan sesuatu melalui lirik lagu, atau memang mereka mengingnkan sesuatu yang beda dalam album ini, yang jelas lirik mereka tetap padat makna, dan tentu saja dengan ketajaman kritisi seperti pisau cukur dari baja.

Pengalaman mendengarkan Verba Volant Scripta Manent, tetap memberikan sensasi tersendiri ketika menyelesaikannya. Album ini adalah album sebuah band yang saya sendiri merasa terpengaruh kuat dalam hal musikal. Dan saya bersyukur, mereka tetap menjaga enerji untuk bertahan dan bahkan mampu memberikan lagi sebuah dokumentasi karya kepada orang-orang yang memang telah menunggu mereka sejak lama. Semoga di hari depan masih bisa mengapresiasi sesuatu yang baru dari mereka. Hail AK//47! ~ Riska Farasonalia  



Jumat, 06 Mei 2016

HMMM "Ketika Musik Menyampaikan Pesan Melalui Kode-Kode"



Ada banyak musisi yang memperlakukan musiknya sebagai penyampaian kode-kode. Biasanya mereka cenderung meinimalisir hal-hal tekstual dan kemudian mempersilahkan para apresiatornya untuk mencerna sendiri kode-kode tersebut. Yang kemudian menjadi tantangan tersendiri adalah, kode-kode tersebut harus mempunyai makna kuat sehingga apresiatornya akan menemukan ikatan batin tersendiri ketika mengapresiasinya. Dan ketika semakin banyak orang yang berpendapat bahwa pada banyak situasi, kata-kata sudah tidak mampu menampung makna, maka mereka menggantinya dengan kode-kode. Dan itu sah-sah saja ketika menyadari musik, adalah hal yang memang universal. Definisi tentang musik dan bagaimana memperlakukannya, sepenuhnya berada di tangan apresiator dan penciptanya.

Dan dari Semarang ada HMMM (Hipnotical Mysterious Magical Mantra), satu unit musik eksperimental yang memperlakukan karyanya dengan cara yang semacam. Teks hanyalah tempelan dalam prosentase yang sangat kecil, selebihnya kita akan sibuk melakukan tafsir berbagai macam kode-kode yang menyeruak dari segala bebunyian yang mereka hasilkan. Mereka sering mendokumentasikan penampilan live mereka dan kemudian mengemasnya dalam bentuk kemasan CD. Terbentuk sekitaran awal 2015, HMMM terdiri dari tiga individu yang publik Semarang sedikit banyak telah mengenal mereka. Ada Fredian Bintar yang sebelumnya adalah salah satu dari unit eksperimental noise Sistem Busuk Dari Dalam (SBDD) yang rilisannya sempat dicetak oleh sebuah label di Amerika. Lalu ada Riska Farasonalia, seorang perempuan yang aktif mengelola art brand project-nya : Riska!Riska! sekaligus drummer dari band fastcore politis feminist : Dead Alley. Terakhir ada Debby "Janet" Silvia yang seorang artworker dan eks-vokalis dari sebuah band cadas : SlowxFast.

Kalian pernah membayangkan seorang Shaman suku purba dalam keadaan trance lalu merapal doa mantra untuk sebuah pengharapan tertentu? Background perkusi tradisional dengan pola ketukan yang acak tapi tetap mempunyai pakem irama. Suasana magis yang terbangun, sering kali menghipnotis ketika mendengar atau melihatnya secara langsung. Begitulah HMMM memperlakukan perform live mereka di atas panggung.

Beberapa waktu lalu ketika pertama kali menikmati perform live mereka di Mukti Kafe kawasan pecinan Semarang, sempat berbincang lumayan lama dengan para personelnya. Bintar menjelaskan, bahwa HMMM memperlakukan penampilan live mereka berdasarkan konsep yang dirancang dan didiskusikan sedemikian rupa, sebagai acuan garis alur spontanitas. Iya, penampilan live mereka sepenuhnya berdiri dari pilar-pilar aksi musikal spontan yang terkonsep. Dan memang, sesuatu yang spontan tapi terkonsep, biasanya membuat sebuah karya menjadi maksimal.



Dalam penampilan live yang terdiri dari dua komposisi yang masing-masing mempunyai durasi lumayan panjang tersebut, saya lumayan terhenyak dengan nuansa yang terbangun oleh aksi mereka. Mereka benar-benar bertanggung jawab secara konseptual dan berbanding lurus dengan representasi nama mereka. Saya lumayan terhinoptis oleh mantra-mantra magis nan misterius yang mereka lontarkan dari berbagai alat bebunyian yang mereka usung. Janet yang mengeluarkan bunyi vokal mirip para shaman suku-suku tradisional yang sedang sibuk merapal mantra, Bintar yang walaupun sibuk menghasilkan bunyi dari piranti gitarnya terkadang tidak lupa membantu Riska yang konsentrasi penuh di belakang alat-alat perkusi. Ada beberapa hal tekstual yang terkadang terlempar dari suara Janet, walaupun dalam prosentase yang kecil dan repetitif, cukup menjelaskan kegelisahan apa yang mereka coba suarakan.

Karena penasaran, kemudian saya mendengarkan hasil rekaman live mereka yang saya dapat dari seorang teman. Saya pribadi sebenarnya minim referensi dalam mengapresiasi musik eksperimental noise seperti yang HMMM tampilkan dalam musik mereka. Beruntunglah saya bertemu dengan Latief, seorang sound engineer yang juga sering kali menjadi juru rekam dalam setiap penampilan live HMMM sendiri. Pria yang juga sedang merintis sebuah proyek audio zine ini sedikit banyak membantu saya mendapatkan referensi-referensi rilisan musik yang semacam.  Metode cut n' paste yang juga sering digunakan dalam seni kolase digunakan dalam part-part tertentu dalam lagu, juga penggunaan sampling suara yang diambil dari bunyi-bunyi yang ada dalam lingkungan keseharian. sebenarnya sebuah konsep musikal yang menarik apabila kita sedikit meluangkan waktu untuk menghayatinya, ditambah ketika sang band sendiri mempunyai pesan yang mereka anggap penting dan harus disampikan dalam alur kode-kode yang mereka suguhkan.


HMMM sendiri saat ini sedang meningkatkan intensitas perform mereka di panggung-panggung musik Semarang. Beberapa kali mengapresiasi, saya sendiri melihat adanya penguatan dalam hal konsep. Mereka menjadi lebih sering mengusung beberapa piranti yang mereka pikir lebih menguatkan pesan-pesan yang mereka sampaikan. Mulai dari pohon-pohon plastik, sampai aksi-aksi panggung yang sangat teatrikal. Dan terlepas bahwa tidak setiap orang bisa memahami dan mengapresiasi musik-musik yang minim teks, untuk ukuran Semarang, ada yang berani memainkan noise eksperimental dan bahkan cukup berhasil membangun signature musik mereka sendiri, adalah hal yang cukup patut untuk mendapatkan porsi apresiasi. Sayangnya, rilisan CD yang sangat terbatas membuat orang-orang yang penasaran harus memburu perform live jika ingin menikmati aksi mereka. Entah karena militansi akan konsep distribusi rilisan yang memang seperti itu atau karena hal lain, yang jelas HMMM telah siap memberikan warna tersendiri dalam kancah musik Semarang. Silahkan, sambut dan apresiasi rapalan mantra mereka. - Manusia Kera

Kamis, 05 Mei 2016

Resensi Buku : Bandar karya Zaky Yamani



Parlan mengambil sebatang rokok dari kamarnya, membuang bungkus rokoknya melalui kamar jendelanya. Di sekelilingnya, suasana kampung di pinggiran Bandung yang terpinggirkan. Gang Somad, perkampungan kumuh yang dihuni ratusan kepala keluarga yang terjebak dalam lorong gelap dan gang-gang sempit yang makin terbengkalai. Daerah yang menjadi ikon kemelaratan, kemiskinan, kriminal, dan masalah-masalah lainnya termasuk itu. Ya, itu, kampung yang dikuasai seorang bandar ganja dan narkotika, dosa dan darah telah mengalir, mengakar pada sejarah terbentuknya Gang Somad. Parlan yang bercita-cita untuk keluar dari kesengsaraan kampung itu dengan berkuliah dan menjadi seorang pengacara, malah dihadapi kenyataan bahwa keluarganya lah yang bertanggung jawab dibalik kekuasaan bisnis aram tersebut. Bisnis turun temurun yang mampu mengidupi kepala-kepala keluarga lain di kampung itu, untuk sekadar membeli rokok atau nasi bungkus untuk anak-anak mereka. Kemudian, Parlan, diceritakan oleh bapaknya, Bandar ternama, tokoh paling kelam yang mau tidak mau itula kenyataan yang harus keluarga itu terima.

Kurang lebih seperti itu gambaran yang novel ini ingin sampaikan pada bab permulaan. Ini pertama kalinya saya memberi review pada sebuah novel, setelah sebelumnya lebih fokus terhadap musik, namun ada sesuatu yang menarik yang ingin saya ulas pada novel berjudul “Bandar” karya seorang jurnalis asal Bandung, Zaky Yamani. Ini kali kedua saya membaca karangannya, setelah sebelumnya saya mengkhatamkan bukunya yang berjudul “Kehausan Di Ladang Air” yang ia tulis berdasarkan hasil investigasinya selama kurang lebih satu semester dalam misi penebusan Mochtar Lubis Award yang dianugerahkan kepada penulis tersebut. Novel ini merupakan karya ‘perdana’ seorang Zaky Yamani dalam bentuk novel fiksi, dan juga, kali ini ia menanggalkan sisi militansinya dengan menyepakati perilisan buku ini bersama penerbit Gramedia. Tapi itu tidak penting, saya menyukai karyanya dengan bahasa yang dengan orang-orang seperti saya dapat memahami ketimbang membaca novel-novel dengan rima dan gaya bahasa berbelit.

Seperti yang telah ditulis di atas, novel ini menceritakan tentang bagaimana kisah sebuah keluarga dapat bertahan menghadapi penggerusan zaman yang diakukan otoritas-otoritas, kemiskinan, dan kekerasan dalam konteks sebagai pengedar daun surgawi marijuana. Lantas dalam novel ini, yang pertama kali terbesit adalah konflik norma. Ya, benar saja. Tidak terlalu mengherankan untuk mengetahui respon atau tanggapan publik mengenai hal-hal tersebut, meski dalam cerita fiksi sekalipun. Dosa, harga diri, hukum, semua terangkum dalam cerita ini. Saya tidak ingin memberi sinopsis terlalu panjang, namun demi kelancaran tulisan berikutnya saya perlu menceritakan garis besar alur dalam novel ini.

Cita-cita Parlan untuk melanjutkan kuliah dan menjadi pengacara agar dapat keluar dari kesengsaraan gang Somad ditolak mentah-mentah oleh bapaknya, Gopar. Ia tidak ingin anaknya dicuci otak oleh pendidikan, apalagi politik dan hukum, yang ia asumsikan hanya dapat meracuni pemikirannya. Gopar ingin anaknya melanjutkan bisnis keluarganya yang telah dimulai sejak neneknya, ibu dari Gopar, Dewi, merintis bisnis ini dari skala mikro atas dasar supaya kebutuan hidup keluarganya tercukupi, terlebih, setelah beberapa kali pernikahannya gagal dan ditinggal suaminya, Dewi berusaha memutar otak demi bertahan hidup. Maka dimulailah tembok kerajaan itu dibangun, hingga menjadi sebuah bisnis besar di wilayah tengah daerah Bandung. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus. Bisnis yang telah meluas harus kembali mengalami tekanan-tekanan dan resiko dari luar. Persaingan yang ketat, aparat, dan oknum-oknum gelap yang meminta tebusan ‘keamanan’ telah digelontorkannya demi mempermulus hubungan politik dan bisnis antar kedua pihak tersebut. Sampai akhirnya Gopar tertangkap dan menjalani hukuman penjara. Dari cerita mengenai sepak terjang seorang bandar ganja, kita mesti bertanya, bagaimana semua itu bisa terjadi ?

Semua berawal dari seorang gadis bernama Dewi. Kemudian latar waktu akan berubah menjadi sekitaran tahun 1945, tidak lama setelah beberapa tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya Di bawah Bendera Revolusi, Soekarno. Saat itu, Indonesia yang baru seumur jagung, masih rentan akan gerakan-gerakan perlawanan dari kelompok separatis. Salah satunya yang terjadi di daerah tempat tinggal Dewi bersama orang tua dan 3 orang kakaknya. Dewi anak paling bontot, namun berbeda dengan ketiga kakaknya, hanya ia yang paling cantik. Konflik dimulai ketika sang bapak, Abdul Halim, berniat untuk menikah lagi dengan anak seorang tokoh agama, kyai sekaligus saudagar kaya, Kyai Bustaman. Aminah, gadis yang saat itu umurnya tak beda jauh dengan umur Dewi. Ia tidak percaya akan apa yang dilakukan bapaknya. Memukul, menghardik, dan membentak ibu yang Dewi sayangi.

Tokoh bapak dalam hati Dewi telah hancur, kini yang ia lihat hanya seorang lelaki najis yang dibutakan oleh harta dan nafsu birahi, terlebih, saat rencana pernikahanan bapaknya gagal karena suatu tragedi yang menyebabkan calon istri keduanya, Aminah, meninggal maka bapaknya mencari celah untuk tetap mendapat keuntungan dari Kyai Bustaman dengan menikahkan Dewi dengan ponakan Kyai Bustaman, Hidayat. Dewi merasa lebih hancur, ia belum siap menikahi pria yang tak ia kenal sebelumnya. Ia merasa harga dirinya telah diinjak dan dilanggar oleh adat dan otoritas agama melalui ‘orang tua’. Dewi merasa sebagai perempuan, ia pun berhak menentukan arah hidupnya sendiri, bukan bapaknya, ibunya, Kyai Bustaman, bahkan Tuhan.

Setelah terpaksa dinikahkan ia  pun kabur, menyusuri hutan, disana ia bertemu dengan kelompok pemberontak Darul Islam yang mana juga merawat mantan pengasuhnya Ahmad yang sedang terluka ketika membawa lari Aminah. Dewi pun melanjutkan perjalanannya, ia  ingin sekali ke Kota, ia ingin ke Tasikmalaya. Memulai hidup baru dengan pekerjaan dan keterampilan yang miliki. Namun naas, sesampainya di Kota ia malah menjadi korban eksploitasi dan human traficking, terpaksa melayani nafsu birahi lelaki hidung belang untuk bertahan hidup. Dari sana cerita mulai berawal, ia bertemu dengan mantan pengasunya, Ahmad kemudian melarikan diri ke sebuah wilayah bernama Gang Somad, disana ia mulai memperbaiki hidup dengan berjualan. Namun kesialan dan nasib telah menggusur orang-orang seperti Dewi dan Ahmad untuk mencukupi kebutuhannya. Ahmad terpaksa masuk penjara akibat tertangkap saat berusaha membobol rumah, ia pun tewas dipukuli penghuni tahanan karena muak dengan tingkah sok jagonya. Kemudian Dewi menikah dengan teman Ahmad, Wasid, yang juga meninggal akibat tertembak. Rupanya Wasid meninggalkan sebuah jejak, ia meninggalkan sebuah dokumen berisi surat-surat penting tentang pekerjaannya menjadi supir pengantar barang haram tersebut. Dari sana Dewi berinisiatif untuk meneruskan apa yang telah ditinggalkan suaminya demi mengurus ketiga anaknya yang semakin dewasa dan tumbuh menjadi jagoan kampung.

Dari sinopsis tersebut, kita banyak menggaris bawahi konsep-konsep feminisme, emansipasi perempuan, dan problematika seorang perempuan pada masa pergolakan Republik (meski juga demikian yang dialami sekarang). Atas dasar bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan terutama perut, sebuah perjuangan yang di representasikan tokoh seorang Dewi, mampu membuat kita mengerti akan penderitaan yang dialami sejak dalam lingkup keluarga. Pula, lingkungan yang tidak memadai, kondisi politik, serta ekonomi memaksa manusia harus berpikir cepat untuk melewati hari ini. Menjual ganja pun menjadi pilihan utama. Menurut interpretasi yang saya miliki, menjual ganja untuk memenuhi kebutuhan hidup sebuah keluarga pun mewujudkan kegagalan-kegagalan pemerintahan dalam mensejahterakan rakyatnya. Terbukti dengan apa yang terjadi saat ini bahwa “yang haram saja susah, apalagi yang halal ?” menjadi belenggu masyarakat khususnya dalam cerita novel ini. Alasan kemiskinan, kebutuhan, dan tidak tahu mau bagaimana lagi menghadapi kondisi hidup yang makin tak menentu ini menyebabkan sebagian  orang berpikir untuk tetap tinggal dalam lubang hitam kesengsaraannya, atau jika beruntung mungkin bakal mati.

Alur maju-mundur yang diberikan dalam novel ini membuat menarik novel tersebut. Gaya bahasa yang sederhana namun menguatkan tema feminisme sebagai konsep paling dominan di bab permulaan menjadi senjata utama. Namun jika ditarik dari keseluruhan, konsep awal, anti-klimaks, juga persoalan-persoalan yang terjadi berikutnya menjadi kurang relevan bahkan terkesan terlalu jauh dari konsep feminisme yang hampir diisi sepertiga novel tersebut, kemudian sisanya benar-benar menceritakan praktik seorang bandar meliputi persoalan operasionalnya. Nampaknya si penulis terlalu berkutat ingin menonjolkan Dewi sebagai lakon utama namun lupa akan materi utama novel ini. Mungkin akan lebih baik jika ada seri khusus yang mengangkat tema kesetaraan perempuan dan kesenjangannya dalam lingkungan. Setuju ? Di lain sisi, novel ini menawarkan sebuah pesan dimana tidak peduli dari manapun atau bagaimanapun kita terbentuk pada masa lalu, yang terpenting adalah bagaimana sikap kita untuk berusaha keluar dari kesengsaraan, kesukaran, pandangan buruk orang lain terhadap kita, mampukah kita menentukan jalan hidup kita sendiri ? Beranikah kita membuat pilihan ? Semua tergantung bagaimana kita mau menyikapi. (Afriyandi Wibisono)