Minggu, 12 Maret 2017

Tentang Semarang, zine, kolektif dan alternatif.

Oleh : Annisa Rizkiana Rahmasari


Tulisan ini Berbicara tentang kota Semarang yang selalu mengingatkan saya pada dinamika kelompok didalamnya. Dalam hal ini, keberadaan kolektif dan support system yang terbangun dalam sebuah kota menjadi refleksi harian setiap orang yang pergi maupun tinggal.

Saya besar di Ungaran, sebuah kabupaten dengan jarak tempuh 50 menit dari kota Semarang. Ketika saya beranjak dewasa, dan seiring kebutuhan berjejaring yang semakin besar, pada tahun 2010 saya mengenal kolektif Hysteria. Disanalah, saya dan seorang kawan yang juga pegiat seni kolase, Riska Farasonalia membuat pameran pertama kami. Kami membuat sebuah kelompok kecil bernama Universum Collectivo, terinspirasi dari kesukaan saya dan Riska terhadap obyek antariksa, pameran tersebut bertujuan mengumpulkan teman-teman yang memiliki konsentrasi yang sama untuk terlibat dalam perhelatan seni bertema daur ulang. Riska telah terlebih dulu berkolase. Ia memanfaatkan botol tak terpakai dan kertas-kertas untuk dikaryakan kembali. Saya sendiri saat itu sedang bersemangat membuat boneka jari dari kertas-kertas bekas. Perkenalan kami kemudian berlanjut ke kelompok yang lebih luas. Saya mulai sering berkunjung ke acara musik dan pameran. Dari kultur punk, saya pun mengenal istilah media alternatif atau zine. Tahun itu pun menjadi kali pertama saya mengarsipkan karya saya secara mandiri.

Semarang memiliki pertarungan yang sengit dalam kaitannya dengan pengembangan jaringan, regenerasi, estafet budaya, maupun kepemilikan sumber daya manusia. Meskipun seiring waktu berjalan, saya belajar bahwa sesungguhnya hal yang sama dialami oleh kota lain juga. Terkadang persoalan ini hanya perkara romansa kota yang ditandai sebagai ikon kegiatan tertentu. Kami yang tinggal di Semarang, kala itu masih belum dapat menemukan hal apa yang paling mewakili kota ini. Semarang begitu berbeda dengan kawan-kawan yang lain, katanya. Sulit menghubungkan pemegang-pemegang simpul dalam masyarakat untuk terpadu dalam satu tujuan, membangun budaya berkota, yang seperti apa.

Tak terkecuali ketika melihat naik turun perkembangan media alternatif atau zine di kota Semarang. Kami pernah merasa, sulit untuk mengajak anak-anak muda bersemangat menulis atau pun membaca. Dan yang tinggal hanyalah segelintir orang yang terus bergerak tak peduli betapa kesepian diri mereka. 1 hingga 3 paling banyak. Yang lebih membuat heran adalah, setiap orang ini kadang mengelola atau mengerjakan agenda yang berat. Saya pernah bertanya kepada seorang kawan yang juga aktif dalam kegiatan mengarsip di web, “Ini kamu semua yang ngerjain?” – “Iya mbak, habis siapa lagi?”


Permasalahan yang sama pernah juga dialami oleh Hysteria, teman-teman lantas sungguh akrab dengan keluar masuknya orang-orang. Solusi seperti bekerja sukarela untuk sebuah gerakan kolektif mungkin dapat menjadi solusi, namun seberapa mampukah solusi ini menjawab kebutuhan yang lebih besar? – menularkan semangat berkarya, misalnya.

Ketika saya melakukan riset kecil tentang zine di Semarang, mayoritas penulisan datang dari gerakan bawah tanah. Lewat gigs dan beberapa titik nongkrong, zine yang mulanya hanya newsletter ini berkembang dengan signifikan. Ulasan acara musik, iklan distro, buku-buku, dan film yang direkomendasikan menjadi topik yang populer ditulis. Gaya uraiannya pun unik, kadang sekenanya, namun sering kali serius ala kelompok hip-hop underground terkenal kota Kembang. Disiplin, dan progresif. Seakan berhutang pada kultur ini, tanpa punk mungkin semangat membuat zine tidak akan semenarik sekarang.

Suatu kali pernah terlintas dipikiran seorang kawan,”Apa yang membuat kegiatan kami tidak dilakukan juga oleh kelompok lain?”

Di Semarang, teman-teman menjadi terbiasa bekerja sendiri. Kami tumbuh untuk memahami bahwa kekuatan mencipta harus terlebih dahulu kuat kedalam, bukan bergantung pada kelompok pertemanan alih-alih pemerintahan. Sebab selain terlampau sering kesepian, bila saya boleh menyiratkan demikian, sikap yang sedikit keras kepala ini membuat kami tidak lembek saat harus berproses dengan berbagai macam kepentingan. Namun kebiasan ini juga, seperti natural saja memiliki akibatnya karena pengkultusan seseorang maupun sebuah kelompok justru akan dengan sendirinya membatasi kesempatan mengestafetkan nilai-nilai yang hendak dibangun. Kerja apresiasi menjadi bias, karena disaat yang sama penonton-penonton baru antusias, namun tidak ingin melakukan hal yang serupa. Akhirnya beberapa orang berpindah dari kota ini, bukan karena membenci. Tapi lebih pada mencari sudut pandang lain. Seperti kata pepatah, “Gajah dipelupuk mata tak tampak.” Mereka pun mencoba mengaplikasikan hukum ini terhadap tempat kelahiran mereka.

Dalam dua tahun terakhir setelah melewati negosiasi dan koordinasi yang alot dengan stake / shareholder. Tempat-tempat baru kini mulai bermunculan di Semarang. Jalanan dibangun dengan rapi, beberapa bangunan bersejarah dikelola dengan baik, semacam dilahirkan kembali dan diberi arti baru. Anak-anak muda di kota juga berkesempatan mengikuti agenda kesenian yang cukup bergengsi baik didalam maupun luar negeri. Mereka yang saya kenal, entah kemudian bergerak sendiri maupun berkelompok ini telah melalui pergulatannya masing-masing. Sebab berkesenian seperti halnya ibadah, katakanlah doa. Ada pahala-pahala baik serupa ilmu, pemanfaatan, dan pengalaman yang lebih, justru ketika kita berhasil menciptakan keterbukaan antar generasi.





Selama 5 tahun terakhir, saya menghabiskan waktu di Semarang secara intens. Saya tidak tumbuh di rumah, saya tumbuh bersama teman-teman saya. Kami mengetahui jatuh bangun masing-masing. Diantara mereka ada yang secara tekun menumbuhkan sayap dan daun, namun beberapanya dengan sadar memutuskan berhenti. Diantara waktu-waktu kesulitan mencari lawan bicara dengan energi yang sama (yang kemudian hari saya tahu ini merupakan hal yang bodoh) saya akhirnya memutuskan untuk berpetualang sendiri, berpindah, melompat dari kebiasaan satu kelompok ke kelompok yang lain. Dengan alasan sederhana, saya ingin melihat apa yang mereka lihat.

Kesempatan berharga seperti berjejaring dan bertukar pengetahuan membawa kegiatan zine making pada skala yang lebih luas. Zine sebagai medium berpameran. Kini istilah media alternatif ini pun harus dipreteli. Agar nilai maupun artinya dapat diterima oleh kelompok yang lebih besar, kita harus menghilangkan istilah zine. Saya memakai penyebutan buku / majalah yang kita buat sendiri. Tentu dalam prosesnya, baik sebagai maupun bukan seniman, ada tantangan yang lebih besar yaitu bagaimana membuat semangat ini terhubung dengan keseharian orang lain baik yang anak maupun yang dewasa. Acap kali saya dan beberapa teman berpikir, apakah kegiatan yang kami buat ini betul-betul memberi manfaat bagi orang lain?

Kami tak pernah tahu. Namun dari apa yang saya yakini, apabila kita berniat baik maka kebaikan pun tak akan jauh dari kami.



YANG KOLEKTIF DAN ALTERNATIF

Pada satu kesempatan, saya pernah menghadiri sebuah lokakarya literatur alternatif yang diadakan di Semarang. Kala sesi tanya jawab, seorang kawan bertanya, “Dapatkah media alternatif menjadi yang mainstream ketika pada fungsinya ia telah mampu digunakan oleh banyak orang? Seperti zine menggantikan koran?”

Berbicara tentang alternatif, tentu akan lekat dengan definisi alternatif itu sendiri. Sebuah kegiatan yang pada praksisnya, tidak berada dalam jalur arus utama. Istilah ini kemudian melahirkan pilihan-pilihan media komunikasi dengan semangat DIY / DIWO* seperti zine, komik, pamflet, newsletter, video, musik, dll sebagai usaha untuk tetap exist dalam silang sengkarut budaya arus utama.

Yang menarik adalah, kita sering kali kesulitan menentukan pihak mana yang berada dalam arus utama dan pihak mana yang membuat pilihan. Namun dilihat dalam praktek penguasaan media, tentu yang menjadi mainstream adalah penguasa modal terbesar, dapat berupa swasta maupun negara, serta bertujuan untuk memperoleh keuntungan besar.

Fenomena tersebut akhirnya mematik lahirnya gerakan alternatif. Adalah cara-cara memperluas ruang hidup dimana keuntungan diraih dan dibagi dalam kelompok (bukan dimiliki perorangan), karya-karya kritik diciptakan, pengetahuan baru dimaksimalkan sedemikian rupa dari apa yang sudah ada, memperbanyak pilihan barang komplementer yang tepat guna serta sistem finansial tidak bergantung pada negara. Seiring kebudayaan bergerak semakin kompleks, demikian pula dalam pembagian apa-apa yang mainstream dan alternatif, lahirlah sebuah kelompok baru dalam masyarakat yang sering disebut hipster. Dimana kelompok ini sering kali bergerak pada kegiatan-kegiatan perlawanan, aman dalam kemampuan keuangan, seringkali timbul dan tenggelam, yang lewat merekalah pertemuan arus utama dan yang bukan arus utama dibiaskan. Pengetahuan kolaboratif yang ditawarkan oleh internet juga memegang peranan besar dalam pertemuan tersebut. Masing-masing fenomena media mengalami anomali, tidak lagi hitam-putih.




Gerakan sosial yang bertalian dengan kehidupan kolektif, sering memanfaatkan media alternatif baik cetak maupun digital dalam fungsi penyebaran informasi, propaganda, serta perluasan akses. Gerakan sosial, keberadaan kolektif, dan bagaimana media ada ditengah-tengah mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain meskipun konsep alternatif sendiri berubah seiring dengan dinamika kebudayaan paska modern yang kompleks. Alih-alih terikat konsep secara harfiah, apa yang alternatif kini diterjemahkan kembali oleh masing-masing anggota maupun kelompok secara praksis.

Beberapa teman yang saya wawancarai lebih memilih untuk menjadi cair dalam mengartikan apa yang alternatif bagi mereka, mulai bertolak dari apa yang ada, memaksimalkan fungsi barang substitusi, menjadi lebih kreatif, hingga menyesuaikan kebutuhan kelompok.

“Tergantung alternatif dari apa. Definisi menjadi problematis dan istilah-istilah itu menjadi sophisticated, kemudian baru kembali sebab ada fenomena yang selalu terbarukan. Bagi kami keberadaan media alternatif penting karena ada kebutuhan mediasi yang tidak terwakili media arus utama. Tulisan sendiri lebih sebagai penunjang, karena tiap kata yang ditulis dan mewakili gagasan sebenarnya tidak sepenuhnya akan diterima orang lain sesuai tafsir kita pada awalnya. Tapi sekurang-kurangnya dengan bikin media sendiri wacana menjadi lebih variatif dan punya kesempatan untuk mengayakan atau bahkan melawan representasi yg sudah umum. Istilah-istilah itu kita pakai sesuai kebutuhan sesuai dengan siapa kita ingin dipahami. (Adin | Propaganda Hysteria zine

Artivism and Tech - Art

Ketika berhadapan dengan penciptaan karya berbasis teknologi, alternatif diterjemahkan kembali dalam semangat hacking seperti menciptakan alat berbiaya murah yang fungsinya dapat dimaksimalkan. Saya berdiskusi dengan Iyok, seorang self taught programmer yang juga kontributor platform pembelajaran elektronik bernama COCOMAKE. Minimnya open source dan mahalnya alternatif lain seperti Makey Makey Go membuat ia dan beberapa developer memilih mengembangkan platformnya sendiri lewat kegiatan lokakarya dengan memaksimalkan microcontroller berbiaya murah yang mudah didapatkan dipasaran. Sebagai contoh, alat Arduino bisa berharga $20 sedangkan pilihan kreatif yang ditawarkan cocomake, bisa dibuat dengan biaya produksi hanya $2.

Aktivisme lewat penciptaan karya alternatif dalam tujuannya, mencoba memperluas distribusi pengetahuan bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses apa yang terberikan oleh arus utama. Tak terkecuali dalam proses zine making. Secara harfiah tentu istilah zine sangat tidak biasa. Zine berkembang mulai dari media perlawanan hingga menjelma menjadi karya seni dengan sentuhan estetik yang creatively absurd. Mereka (zine makers), terkadang membredeli istilah alternatif, meloncat langsung pada eksekusi karya, tidak peduli lagi pada apa yang yang bagus dan tidak dalam penciptaan karya seni maupun media cetak, zine makers merangkai definisi mereka sendiri bahkan ketika definisi itu sifatnya sangat personal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar