Rabu, 15 Februari 2017

Kematian-Kematian Kecil di Sekitar Kita : Resensi Film "Istirahatlah Kata-Kata"

Kematian-Kematian Kecil di Sekitar Kita : Resensi Film "Istirahatlah Kata-Kata"
Oleh : Akhmad Dzikron Haikal


 ISTIRAHATLAH KATA-KATA
--------------------------------------------
istirahatlah kata-kata
jangan menyembur-nyembur
orang-orang bisu
kembalilah ke dalam rahim
segala tangis dan kebusukan
dalam sunyi yang mengiris
tempat orang-orang mengingkari
menahan ucapannya sendiri
tidurlah kata-kata
kita bangkit nanti
menghimpun tuntutan-tuntutan
yang miskin papa dan dihancurkan
nanti kita akan mengucapkan
bersama tindakan
bikin perhitungan
tak bisa lagi ditahan-tahan

Solo, sorogenen, 12 agustus 1988




Kalau dikontemplasi, puisi Wiji Thukul tersebut, secara eksplisit tengah mengisyaratkan kematian-kematian kecil di sekitar kita. Sebab terlalu banyak luka yang menganga di tubuh masyarakat kita saat ini, terlebih-lebih masyarakat yang tinggal di sekolahan. Kenapa demikian, karena masyarakat sekolah yang diharapkan mampu menghidupkan kehidupan seutuhnya, yang nantinya sebagai penyeimbang untuk mewujudkan bentuk keharmonisan, kini malah menjadi pesakitan lantaran dihantam luka setiap saat. Selain luka fisik yang didapati, tentunya ada juga luka non-fisik yang menyeret mereka kepada kematian-kematian kecil itu. Barangkali ada semacam kepasrahan yang terbalut oleh keputusasaan dan ketidakacuan terhadap tubuh yang luka. Hingga pada akhirnya tak ada jalan lain, kecuali menantinya. Ya, menanti kematian-kematian kecil ditengah-tengah kita.  

Mengambil istilah kematian-kematian kecil itu, saya korelasikan dengan seringnya kita mendengar beberapa kasus yang membunuh citra pendidikan negeri ini, dan pastinya banyak pula yang mendengar atau membaca berbagai inovasi dan pemikiran yang ditawarkan, untuk sekedar memberikan pertolongan pertama atau mengumumkan kematian tersebut. Namun, pada kenyataannya malah justru hal itu terkesan seolah-olah merencanakan suatu kematian. Bagaimana tidak, jika inovasi dan pemikiran tersebut pada suatu saat membawa dampak besar secara masif, akan tetapi belum terlihat dikehidupan yang sekarang, pastinya bisa ditebak reaksi masyarakat kita banyak yang tidak akan menerima alasan apapun terhadap dampak yang ditimbulkannya, sampai-sampai menjadi bahan nyinyiran dan cibiran dalam menyikapinya. Fenomena ini, tentu menjadi suatu kematian di tubuh pendidikan kita secara tidak langsung.

Pada hakikatnya maju dan berkualitasnya suatu pendidikan harus dihadapkan pada percobaan-percobaan yang menuntut sebuah kegagalan, dan dari kegagalan tersebut mampu menghadirkan harapan dari cita-cita pendidikan nasional itu sendiri. Bukan malah kegagalan dijadikan bahan hambatan dan sebuah luka yang menjadi cibiran bagi masa depan pendidikan kita. Seperti apapun bentuk luka itu, baik fisik maupun non-fisik, tak seharusnya didiamkan begitu saja. Luka yang tentunya harus diobati, dirawat, dan tentu saja sebagai pengingat sebuah peristiwa, seharusnya mampu membuat kita kuat dan berhati-hati, bukan sebaliknya. Namun, jika masih saja menganggap luka hanyalah sebuah malapetaka yang melanda, maka yang ada di dalam pikiran kita adalah kekecewaan, kesedihan, dan yang paling parah adalah rutukan. Kalau sudah begitu, maka istirahatkanlah kata-kata yang keluar dari mulut-mulut manusia.




Kematian-kematian kecil di bangku sekolah, sudah barang tentu terjadi karena masyarakat di dalamnya sudah saling acuh tak acuh, saling menyalahkan, saling menuntut, dan yang lebih parah adalah saling berebut jam untuk peningkatan ekonomi dari sebuah profesi. Maka tak pelak, jika fungsi dari pedidikan kita semakin melenceng dari fungsi  Pendidikan Nasional yang sebenarnya: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Marx, bahwasanya seorang pendidik adalah seseorang yang berpendidikan dan sudah dididik untuk sebuah tujuan mengubah keadaan manusia. Begitu juga dengan pendapat Lenin dan Stalin bahwa sekolah menjadi senjata yang tergantung pada siapa yang memegangnya. Artinya, keberhasilan seorang peserta didik sangat ditentukan oleh siapa yang mengajarnya di sekolah, dan pendidikan bukan lahan basah untuk merenggut keuntungan, melainkan sebagai instrumen membebaskan manusia dari belenggu dehumanisasi serta menempatkan manusia dalam esensi dan martabat kemanusiaannya yang sejati. Disamping itu, Abdul Khalid Boyan (2009) menjelaskan dalam pendidikan berbasis Marxis-Sosialis, tujuan (ideologi) pendidikan adalah membangun karakter (character building) manusia yang tercerahkan; suatu kondisi mental yang dibutuhkan untuk membangun suatu masyarakat yang berkarakter progresif, egaliter, demokratis, berkeadilan dan berpihak terhadap kaum-kaum tertindas (the oppressed).

Di era seperti ini tidak bisa dipungkiri lagi, sering kita mendengar para orang tua yang menyekolahkan anaknya disebabkan salah satu faktor agar kelak setelah lulus anaknya cepat bisa langsung mendapat kerja. Bukan karena tujuan utama yang ditawarkan dari suatu ideologi pendidikan sekolah. Hal semacam ini menyebabkan pendidikan terjerumus ke dalam pragmatisme yang membuat malapetaka besar bagi masa depan kemanusiaan, khususnya pada pola pikir manusia. Sebab, pragmatisme pendidikan akan melahirkan manusia-manusia yang tidak peka terhadap bobroknya realitas kemanusiaan dan kekuasaan. Pragmatisme pendidikan hanya mencetak generasi yang ingin cepat mendapatkan gelar dan memperoleh profesi yang bergengsi tanpa mengedepankan sisi keharmonisan hidup berdampingan. Jika sudah seperti itu, maka yang ada hanyalah kompetisi untuk berlomba-lomba mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang mengesampingkan sebuah nilai.





Munculnya lembaga-lembaga pendidikan seperti itu tidak lain merupakan bentuk hubungan terlarang antara dunia pendidikan dengan kepentingan kapitalis. Dalam hal ini lembaga pendidikan sekarang tidak lagi menjadi media transformasi pengetahuan dan nilai-nilai sosial yang mengedepankan sisi memanusiakan manusia,  melainkan telah menjadi sebuah lahan basah bagi para pengelola pendidikan untuk mengeruk keuntungan finansial. Karena pada kenyataannya tak jarang kita jumpai beberapa lembaga pendidikan yang terfokus memikirkan bagaimana sekolah bisa mendapatkan laba sebesar-besarnya dari peserta didik, dengan menjaring, merekrut, dan mengiming-imingi calon siswa baru dengan fasilitas dan program-program yang cukup menjanjikan di dalam sekolah. Namun pada realitasnya hal itu hanya sebuah jebakan untuk mendapatkan kouta siswa yang sebesar-besarnya. Tujuannya tidak lain agar sekolah tidak tutup dan bangkrut. Tak pelak, jika suatu saat lembaga pendidikan muncul sebagai rahim-rahim yang penuh luka yang melahirkan kaum-kaum terdidik yang bermoral terpasung dan pesakitan.

Dari permasalahan tersebut, kita diharapkan sadar, tentang kondisi pendidikan kita sekarang ini. Bahwa sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang berproses bagi anak didik dan ruang berbagi untuk para pendidik, harus ada upaya atau bahkan harus mampu menciptakan kebangkitan-kebangkitan dalam segala hal yang dibutuhkan masyarakat negeri ini, tidak hanya sumbangan-sumbangan pemikiran dan inovasi saja, melainkan harus berani mewujudkan dengan konsekuensi kegagalan-kegalan yang datang menghadang.
Paling tidak, lembaga pendidikan mampu mewujudkan tujuan pendidikan itu sendiri dan sanggup memberikan nyawa baru terkait kematian-kematian kecil yang sempat disinggung sebelumnya. Agar kelak generasi yang akan datang tidak menjadi generasi yang mudah saling sikut, saling membenci, dan mudah diprovokasi. Sebab kematian-kematian kecil itu juga hadir dalam penjelmaan bentuk informasi yang tumbuh dan berkembang dengan begitu cepat tanpa ada filter yang menyaringnya.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar