Senin, 27 Februari 2017

Mengunyah Kembali Semarang Sebagai Sebuah Riwayat

Mengunyah Kembali Semarang Sebagai Sebuah Riwayat
Sebuah resensi buku berjudul Remah-Remah Kisah Semarang karya Rukardi 
Oleh : Akhmad Dzikron Haikal


 “Perhatian! Kepada sekalian para tamu djika hendak pulang, batas waktu sampai djam 13.30, seliwatnja djam tsb. di atas dianggap 1 malam. II. Kami tidak menjediakan kamar untuk tamu jang bayar bulanan…” ~ (Remah-remah Kisah Semarang, hal 225). 

Siapa yang menyangka jika di Jalan Bangunharjo kawasan Kauman dulunya adalah kampung seribu penginapan. Daerah yang kita kenal sebagai salah satu bagian dari kawasan pasar Johar itu banyak sekali hotel yang berdiri di sana kala itu, dan salah satu buktinya adalah tata tertib yang berejaan Soewandi itu masih menempel di loket pembayaran Hotel Muslimin yang dibuat pada tahun 1960-an. 

Memang pada tahun tersebut, tentunya saya belum lahir, apalagi tinggal dan menetap di Kota Semarang. Jika dinominalkan dalam sebuah usia, baru sepuluh tahun saya mengenal dan hidup di kota Semarang. Ya, usia yang setara dengan anak kelas empat sekolah dasar. Usia yang belum begitu matang dalam menjalin sebuah hubungan, apalagi menjalin terlalu dalam dan intim. Jujur saja sampai detik ini saya belum mampu merasakan bahwa Semarang adalah bagian dari diri saya. Namun, tatkala ada yang berbicara tentang semarang dan riwayatnya, biasanya ada semacam perasaan aneh yang terlalu meluap-luap ketika diungkapkan. Terlepas dari status saya yang bukan asli penduduk semarang, rasa itu seakan menjelma sebagai kegelisahan yang tak bertuan semenjak merasakan kisah-kisah kearifan lokal tergilas oleh cerita urban yang menurut saya sedikit manja dan penuh keputus-asaan. 

Barangkali kegelisahan saya dan juga kegelisahan para manusia yang gelisah sedikit banyaknya sudah termanifestasikan kedalam buku Remah-remah Kisah Semarang karya Rukadi. Buku tentang kota Semarang serta sudut-sudut kisahnya ini, menjadi semacam suguhan renyah (kelethikan) ketika kita memperbincangkannya di teras rumah dengan secangkir kopi atau teh hangat untuk sekedar menyempurnakan suasana. Disamping itu, saya sependapat jika ada yang mengatakan jadikanlah masa lalu sebagai pelajaran. Namun sebaliknya, ketika pernyataan tersebut sudah diungkapkan, dan manakala sebuah pelajaran tidak mendasar pada masa lalu atau bahkan lebih tepatnya membiarkan masa lalu hanya tersimpan di bibir-bibir para pendahulu, maka tidak salah jika saya menyatakan lebih baik kita belajar untuk mengingat dan menghafal dulu, baru belajar dari masa lalu. 

Oleh karena itu kisah-kisah yang terliterasi dengan baik setidaknya banyak membantu untuk sekedar mengingatkan ketika semuanya mulai termakan usia. Jadi, benar apa yang tersurat dalam penggalan kata-kata bijak berikut ini “Pengetahuan serupa binatang ternak, dan catatan adalah alat untuk mengikatnya. Jika ternakmu tak ingin lepas, maka ikatlah.” (tentunya dalam konteks ini tidak sama dengan merenggut kebebasan binatang. Hehehe). 

Menikmati Remah-remah kisah semarang saya analogikan seperti menemukan sisa-sisa makanan yang masih layak dimakan, ibarat kata terlalu mubadzir jika tidak sekalian dikunyah. Sebab, bagaimanapun besar kecilnya bentuk makanan itu, toh pastinya masih menyisakan rasa di lidah. Begitu pula dengan buku ini, kalian pastinya diajak mengenal beberapa kisah yang akan menambah rasa pengetahuanmu mengenai kota semarang tempo dulu makin bertambah, dan terlalu mubadzir jika tidak dibaca. Lantas bukankah mubadzir itu tidak dianjurkan kepada manusia? 

Buku yang diterbitkan Pustaka Semarang 16 ini, mempunyai ketebalan 224 halaman, serta menyuguhkan 49 judul yang terbagi 29 untuk kisah-kisah historis dan 20 judul berkaitan dengan warna-warni kota semarang. Dapat dikatakan buku ini adalah semacam panduan untuk mengenal semarang seutuhnya. Sebab didalam isinya menyajikan berbagai hal yang ada di sudut-sudut semarang. Tidak bisa dipungkiri setelah membaca buku remah-remah semarag, saya makin tertarik untuk mengetahui kisah-kisah historis (foklor) yang ada di kota ini. Bahkan dari membaca buku tersebut secara tidak langsung saya ikut tergerak untuk meliterasi kisah-kisah yang ada di daerah saya. Salut kepada Mas Rukardi yang telah sukses mempengaruhi pola pikir saya dalam menyikapi proses “memunguti remah-remah kisah” yang terserak di mana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar